Tidak ada sekolah yang gratis. Bukan salah pemerintah karena peserta didik di sekolah negeri sudah tidak dipungut SPP (sumbangan pembiayaan pendidikan) seperti halnya sekolah swasta.
Sekolah swasta, bahkan madrasah swasta pun sekarang sudah dapat bantuan operasional sekolah bernama BOS Afirmasi yang diambil dari amanat UU sebesar 20 persen dari APBN.
However, dana BOS sering tidak cukup bagi sekolah unggulan dan sekolah penggerak. Mereka kesulitan memenuhi seluruh kebutuhannya hanya dengan mengandalkan BOS. Makanya mereka minta dana kepada komite sekolah untuk membayar pelatih ekstrakurikuler, pengadaan komputer, atau merenovasi toilet.
Nanti, komite sekolah yang akan memungut sumbangan dari wali peserta didik. Soal sumbangan ini yang sering tidak dimengerti orang tua dan wali.
Mereka menganggap sekolah negeri sudah dibiayai pemerintah jadi orang tua tidak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun.
Maka ketika komite minta sumbangan untuk keperluan sekolah yang tidak cukup dibiayai dari BOS, para orang tua ini keberatan.
Mereka beralasan sudah mengeluarkan banyak uang untuk buku teks, buku tulis, alat tulis, seragam, sepatu dan kaus kakinya, juga untuk jajan anak.
Buku Sekolah Versus Jalan-jalan
Sering saya melihat orang tua yang paling getol mengajak orang lain
untuk kongkow-kongkow, jalan-jalan, dan makan-makan adalah juga orang pertama yang menolak sumbangan yang diminta komite sekolah.
Bukan cuma sumbangan komite, buku teks yang diminta wali kelas pun bisa ditolak mentah-mentah dengan alasan mahal. Padahal, itu bukan buku ajaran terlarang, melainkan buku pengetahuan yang kalau dibaca dapat membuat anak jadi pintar.
Karena banyak protes dari orang tua, akhirnya tidak
semua kelas memakai buku teks pendamping buku Tematik. Kelas yang sudah sepakat soal buku
pendamping pun dipangkas jadi 2-3 mata pelajaran saja.
Soal buku Modul/LKS saja masih banyak orang tua keberatan membelinya. Padahal, Modul dan LKS itu tidak mahal karena tipis sekali. Fungsinya juga cuma latihan soal untuk mengasah sejauh mana para siswa menyerap materi dari buku Tema.
Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka
Buku Tema dan Modul atau LKS adalah produk dari Kurikulum 2013 (K13). Sebanyak 2500 sekolah di Indonesia sudah diarahkan untuk menggunakan Kurikulum Merdeka di kelas 1 dan 4.
Kelas lain masih menggunakan K13 yang disesuaikan dengan kebutuhan sekolah. Artinya, jika sekolah itu perlu buku pendamping, terutama sekolah unggulan yang juga sekolah penggerak, maka sebenarnya orang tua tidak boleh menolak jika diminta membeli buku pendamping.
Pada K13, keterlibatan orang tua tidak secara eksplisit diatur dalam peraturan menteri, tapi berupa peran dalam mendukung pendidikan anak di sekolah dan luar sekolah, termasuk menyediakan bila guru membutuhkan LKS/Modul atau buku pendamping yang diperlukan.
Fasilitas Sekolah
Padahal sekolah unggulan dan sekolah penggerak harus punya faslitas (mendekati) lengkap karena mereka "dituntut" oleh pemda dan masyarakat untuk selalu berprestasi. Bagaimana menciptakan peserta didik yang berprestasi kalau sekolahnya tidak punya fasilitas?
Pada pelajaran seni musik, misalnya, semua peserta didik akan mengenal alat musik gitar, keyboard, angklung, gendang sampai kolintang yang ada di sekolahnya. Siswa cuma bisa membayangkan melihat dan memainkan, tanpa menyentuh, kalau sekolahnya tidak punya fasilitas alat musik.
Orang tua yang anaknya tidak masuk 10 besar peringkat akademik kelas atau tidak pernah menang lomba apapun pasti bangga juga kalau orang mengenal anaknya sebagai siswa di sekolah (yang sudah dikenal) unggulan.
Pendidikan dan Investasi Masa Depan Anak
Sekolah adalah salah satu bentuk investasi yang kita berikan untuk anak. Kelak, jika anak berhasil menyerap banyak pendidikan di sekolah, dia akan jadi orang yang mudah diterima kerja, bahkan di bidang yang tidak sesuai latar pendidikannya.
Pun, dia punya bekal akademik yang baik jika ingin berwirausaha. Bukan cuma modal uang, modal nama besar orang tua, apalagi modal dengkul.
Lalu, saat jeda semester pasca penilaian tengah dan akhir semester, klub
orang tua yang gemar jalan-jalan, tapi menolak bayar sumbangan komite
itu kembali mengajak orang tua di kelas anaknya untuk hura-hura, haha-hihi di tempat liburan.
Disamping orang tua yang seperti itu, saya juga beberapa kali bertemu orang tua kalangan ekonomi pas-pasan yang demi apapun kebutuhan sekolah anaknya, dia rela tidak beli beras. Buat mereka yang penting semua buku anaknya terbeli, makan urusan nomor dua.
Untuk orang tua yang menomorsatukan pendidikan anak, saya angkat topi dan berdoa semoga Anda dilancarkan rejeki, panjang umur, dan sehat selalu. Aamiin!
0 komentar
Posting Komentar