Alasan Tahun Ajaran Dimulai Juli Bukan Januari

Alasan Tahun Ajaran Dimulai Juli Bukan Januari

Kenapa tahun ajaran baru dimulai Juli bukan Januari? Karena Juli itu musim kemarau sedangkan Januari musim hujan. 

Lha, alasannya, kok, aneh banget?! Iya, itu alasan yang dibilang oleh Mendikbud periode 1978-1983 Daoed Joesoef (baca: Daud Yusuf).

Sebelum 1978 tahun ajaran baru dimulai Januari dan berakhir Desember. Baru beberapa bulan menjabat Mendikbud Daoed memundurkan tahun ajaran baru dari Januari ke Juli. Perubahan itu tertuang dalam UU Nomor 0211/U/1978 yang mengatur tentang dimulainya tahun ajaran pada Juli dan berakhir di bulan Juni tahun berikutnya.

Pemunduran tahun ajaran baru itu menuai penolakan, salah satunya dari Mendagri Prof. Soenarjo dan Gubernur DKI Ali Sadikin. Mereka bilang jangan sampai anak sekolah dijadikan kelinci percobaan dengan mengubah sistem pendidikan.

Mendikbud Daoed Joesoef beranggapan kalau tahun ajaran baru di Januari menyulitkan, karena:

1. Kontras dengan akhir tutup buku anggaran sehingga sulit menyusun anggaran pendidikan jika tahun ajaran baru dimulai Januari.

2. Kebanyakan sekolah di luar negeri dimulai Juni. Mendikbud Daoed Joesoef ingin anak-anak Indonesia melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Maka tahun ajaran baru perlu diubah supaya sesuai dengan tahun ajaran baru di luar negeri.

3. Desember adalah puncak curah musim hujan. Kalau tahun ajaran berakhir di Desember, maka anak-anak tidak bisa menikmati liburannya karena terganggu hujan. 

Mendikbud ingin anak-anak menikmati masa liburannya di bulan Juni dengan bermain di tanah lapang, sawah, ladang, dan kegiatan luar ruang lainnya.

Mendikbud Daoed benar. Juni sudah masuk musim kemarau dan anak-anak di desa biasa main layangan di sawah, lapangan, atau pantai. Kalau liburan sekolahnya saat puncak musim hujan, mereka tidak bisa main dan cuma lebih banyak di rumah.

Libur Puasa Sebulan Dihapus


Kontroversi Mendikbud Daoed masih ada. Beliau menghapus libur sebulan penuh di bulan Ramadan. Beliau beralasan bulan puasa adalah bulan ibadah dan sekolah termasuk ibadah jadi tidak perlu diliburkan selama bulan puasa.

Beliau juga bilang kalau libur sekolah sebulan saat Ramadan itu peninggalan penjajah Belanda untuk meninabobokan orang Indonesia. Kalau libur sekolah selama sebulan penuh, anak-anak muslim jadi tertinggal intelektualitasnya dan yang rugi kita sendiri, bukan Belanda. Begitu kira-kira yang dikatakan Mendikbud Daoed Joesoef dalam memoar Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran.

Bagi Menteri Daoed, belajar saat puasa itu sesuai dengan perintah pertama Allah pada umat manusia, iqra yang artinya “bacalah”. Anak-anak Indonesia mesti belajar lebih keras untuk mengejar mutu intelektual yang lebih bagus.

Kebijakan ini ditentang oleh MUI yang mengatakan bahwa libur sekolah selama Ramadan bukan penilnggalan kolonial, tapi kebiasaan di masyarakat yang memang ada sejak jaman kolonial.

Libur Puasa Sebulan Masa Penjajahan 


Pada waktu itu, penasehat bumiputera Dr. N. Andriani berpendapat pemerintah Belanda tidak boleh mencabut "hak Islam" pada pribumi. Makanya anak-anak muslim harus diberi kebebasan dalam beribadah. Urusan sekolah dan hal-hal duniawi tidak boleh menghalangi peribadahan itu.

Maka pemerintah kolonial membuat keputusan meliburkan sekolah selama 39 hari selama puasa dan Idulfitri. Para pekerja kemudian pengin juga libur seperti anak sekolah. Mereka lalu ambil cuti menjelang lebaran.

Karena banyaknya pegawai pemerintahan dan swasta yang cuti, kantor-kantor lalu tutup. Pemerintah Belanda tidak bisa apa-apa karena melarang libur lebaran bisa berakibat rakyat memberontak.

Suratkabar kemudian ikut libur juga beberapa hari menjelang lebaran. Mereka terbit lagi sebelum lebaran untuk mengumumkan bahwa besok Idulfitri tiba. Orang Belanda menyebut lebaran atau Idulfitri dengan Tahun Baru Pribumi.

Kebijakan Daoed Joesoef menghapus libur puasa sebulan penuh bertahan sampai tahun 1999, setahun setelah reformasi. Di masa pemerintahannya yang hanya 21 bulan (1999-2001) Gus Dur meliburkan kembali sekolah selama bulan puasa.

Namun, tidak bertahan lama, libur selama bulan puasa dihapus lagi di pemerintahan Megawati Soekarnoputri sampai sekarang. Di masa ini, anak sekolah menikmati libur puasa hanya di tiga hari pertama Ramadan dan sepekan sebelum Idulfitri.

Meski begitu, sekolah Islam swasta dan madrasah biasanya memberi libur puasa dan lebaran lebih lama kepada peserta didiknya dibanding sekolah negeri.

Tahun Ajaran Dimulai Juli Berakhir Juni

 

Kebijakan Daoed Joesoef yang menggeser tahun ajaran baru dari Januari ke Juli bertahan sampai sekarang.

Karena tahun ajaran baru dimulai Juli maka di Desember anak-anak sedang libur semesteran dan mereka bisa menikmati libur bertepatan dengan orang tua mereka libur Natal dan tahun baru.

Piala Itu Ternyata Bukan untuk Anak Berprestasi, Berkarakter, Elok, dan Terpercaya

Piala Itu Ternyata Bukan untuk Anak Berprestasi, Berkarakter, Elok, dan Terpercaya

Sewaktu wisuda (12/6) kemarin saya harap-harap cemas yang akhirnya berujung pada penguatan bahwa dunia ini memang tidak adil. 

Keadilan hanya didapat setelah kiamat dalam bentuk surga dan neraka, begitu kata orang.

Cemas karena di undangan wisuda tertulis jadwal penghargaan kepada peserta didik dengan nilai Asesmen Sumatif Akhir Jenjang (ASAJ) Terbaik. Harap-harap karena anak saya sejak kelas 4 selalu meraih nilai tertinggi di kelas. Dia juga tidak pernah berulah dan selalu disiplin.

Kalau badan masih bisa jalan dan duduk, sesakit apa pun dia tetap pergi sekolah. Di saat teman-teman hadrohnya memilih tidak berangkat karena kelelahan pascalomba, dia tetap berangkat dan oleh gurunya disebut sebagai murid teladan.

Sayangnya, nilai ASAJ anak saya yang ganteng, putih, pinter, jago futsal, dan jago main keyboard itu memang cuma dua yang dapat nilai 100, yaitu Matematika dan IPA. Namun, dia meraih nilai rata-rata UCO (ujicoba) ASAJ tertinggi di kelasnya dan dapat peringkat 1.

Nilai, karakter, kedisiplinan, dan kerajinan dialah yang lantas membuat saya berharap kalau sekolah tidak menggelar penghargaan untuk peraih nilai ASAJ tertinggi, melainkan kepada anak yang berprestasi dilihat dari nilai rapornya selama 5 semester berturut-turut.

Ternyata, apa yang tertulis di undangan memang tidak keliru. Penghargaan berupa piala yang diumumkan di depan peserta dan orang tua wisudawan itu untuk peserta didik yang nilai ASAJ-nya tertinggi.

Jelas mengecewakan. Gimana gak kecewa kalau 2 dari 3 anak dari kelas 6A yang dapat penghargaan, dua di antaranya cuma bagus di nilai ASAJ-nya saja. Kepandaian akademik dua anak itu sehari-harinya biasa saja dan nilai rapornya pun sejak kelas 4 juga cuma ada di 8 besar, bukan 3 besar.

Kecewa berat dan sakit hati karena merasa sekolah tidak adil tambah saya rasakan karena peringkat pertama diraih oleh anak lelaki yang beberapa kali ketahuan membawa vape dan mencontek saat ASAJ!

Waktu mencontek dia bukannya kepergok oleh guru sekolah sendiri, melainkan oleh guru dari sekolah lain yang kebetulan sedang mengawasi di SD anak saya. Emangnya yang gitu gak malu-maluin, ya?

Bukannya harusnya ada sanksi atau apa, kek, buat orang tua anak itu atau si anak sendiri. Andai sekolah memberi penghargaan kepada siswa terbaik dari prestasi dan karakternya selama sekolah, pasti anak yang berhaklah yang dapat penghargaan. Bukan anak yang sering bawa vape dan ketahuan mencontek!

Sebelum peringkat pertama diumumkan, teman-teman kelas anak saya bahkan sudah berteriak-teriak menyebut namanya sebagai peraih peringkat pertama. Itu membuktikan dia memang sudah dikenal sebagai anak berprestasi.

Bukan cuma pandai di akademik. Dia pernah ikut futsal sebagai penjaga gawang dan dapat juara 3 sekabupaten bersama tim sekolahnya. Juga jadi keyboardis di grup hadroh sekolah dan juara 3 sekabupaten juga.

Kurang berprestasi apa, coba? Kenapa sekolah malah mempertimbangkan nilai ASAJ tertinggi untuk diberi piala dan diumumkan di wisuda. Padahal itu cuma satu ujian saja. Ujian itu juga bukan ujian yang susah karena sudah ada ujian ujicoba yang soal-soalnya cuma dibolak-balik saja.

Nilai rapor dan penghargaan memang bukan segalanya, tapi itu jadi penyemangat anak karena dia merasa prestasi, kedisplinan, dan karakter baiknya dihargai.

Pada akhirnya anak saya dipanggil ke atas panggung berjejer bersama anak-anak peraih nilai 100 di ASAJ untuk menerima buket uang senilai Rp100rb. Lumayan buat pelipur lara dia, tapi tidak untuk saya. 

Saya sudah telanjur kecewa berat dengan sekolah sampai lupa bersyukur anak saya dapat nilai 100 di dua mata pelajaran tersulit bagi anak-anak Indonesia - Matematika dan IPA.

Lima Jenis Bullying Menurut UNICEF

Lima Jenis Bullying Menurut UNICEF

Generasi jaman dulu sering main ledek-ledekan dengan memanggil teman memakai nama bapaknya. Pun meledek fisik dengan kata item, cebol, ceking, gendut, dan lain sebagainya yang menjurus ledekan fisik. Begitu kata orang-orang jadul.

Dulu ledekan-ledekan dianggap biasa, tidak ada anak yang sampai depresi apalagi bunuh diri segala. Tahu dari mana kita kalau jaman dulu tidak ada yang depresi diledek terus-terusan begitu?

Arus Informasi Dulu dan Sekarang

 

Zaman generasi 1980-2000, teknologi sudah ada, tapi perkembangan internet di Indonesia belum luas seperti sekarang. Jadi informasi yang diterima generasi masa itu tidak sederas sekarang.

Dulu cuma orang dari kalangan berduit yang bisa mengakses apa pun dari internet karena langganan internet mahal. Paket data dari smartphone juga mahalnya minta ampun dibanding sekarang.

Jadi, arus informasi tidak deras membanjiri generasi 1980-2000. Arus informasi pada masa itu butuh waktu dan datang bertahap untuk sampai ke tangan kita. Contohnya koran. Semua berita dalam koran (suratkabar) sejatinya adalah berita dari peristiwa yang terjadi kemarin. 

Namun, kita tidak menganggapnya basi karena hanya informasi itulah yang kita butuhkan. Orang yang butuh berita dunia wanita akan mencari sumber dari situs atau tabloid wanita. Remaja yang butuh update tentang dunianya akan mencari majalah atau website khusus remaja.

Dengan begitu, informasi yang kita terima hanya informasi yang betul-betul kita perlukan. Otak kita kemudian memproses informasi itu secara bertahap sebelum diserap kedalam memori. Setelah terserap, kita lalu memahami informasi itu secara menyeluruh.

Proses dari menerima sampai menyerap informasi itu tidak kita dapat di era internet seperti sekarang ini. Makanya orang yang hidup di masa sekarang lebih gampang stres dan depresi, bukan cuma anak dan remaja.

Akses internet yang mudah dan murah menyebabkan arus informasi tidak terbendung. Kita dapat semua informasi yang tidak kita butuhkan. Belum sempat otak mencerna dan memahami satu informasi, datang informasi yang lain lagi. Begitu seterusnya sampai kita tidak lagi bisa membedakan mana informasi yang benar dan tidak.

Itulah salah satu yang menyebabkan anak-anak sekarang gampang stres dan mentalnya goyah ketika menerima ledekan dari temannya. Itu cuma salah satu, ya. Sebab lainnya karena zaman berubah.

Jadi, kalau dikatakan mental anak sekarang tidak sekuat dulu itu tidak tepat karena pola pikir dan pola hidup anak sekarang berbeda. Mental anak sekarang digunakan untuk hal-hal kreatif, bukan untuk menerima ledekan apalagi hinaan.

Itulah mengapa ledekan dan candaan yang tidak bikin sakit hati generasi jadul, besar pengaruhnya bagi kesehatan mental anak-anak sekarang.

Berkenaan dengan itu UNICEF telah memberi panduan mana saja yang termasuk bullying-disebut juga dengan perundungan atau penindasan dalam kehidupan sehari-hari.

 1. Perundungan Fisik (physical bullying)

Jenis perundungan ini paling gampang dikenali karena berhubungan dengan fisik seperti memukul, menampar, menendang, dan perkelahian yang dilakukan terus-menerus oleh satu orang kepada yang lainnya.

Mencuri dan merusak barang milik orang lain juga termasuk dalam physical bullying karena merugikan si pemilik barang.

Anak yang sering dicubit dan dijewer oleh orangtua, guru, atau anggota keluarga yang lain artinya anak itu telah mengalami bullying dan harus ditangani supaya mentalnya tidak terganggu.

2. Perundungan Verbal (verbal bullying)
 
Termasuk dalam perundungan verbal adalah mengejek, menjelek-jelekkan, mengancam, dan memberi label kepada seseorang dengan mengatainya si jelek, si bodoh, si sipit, dan lain sebagainya. 

Meledek seseorang dengan sebutan si pintar, si kaya, si tinggi dll yang bertujuan menyindir dan merendahkannya juga termasuk dalam perundungan verbal meski kata-kata itu termasuk kata positif.

Memanggil seseorang dengan nama bapak/ibunya termasuk dalam perundungan verbal kalau ditujukan untuk menghina atau meledeknya.

Sering tidak kita sadari, perundungan verbal juga sering dilakukan orangtua kepada anaknya, entah mereka sadar atau tidak. 

Ada anak yang hampir tiap hari dipanggil dengan sebutan gendut, buntet, ireng, dan sebutan negatif lain. Padahal apa susahnya memanggil anak dengan sebutan yang baik dan penuh pujian, toh itu darah daging si orang tua sendiri, kan.

3. Perundungan Sosial (social bullying)

Perundungan sosial terjadi saat seseorang mengucilkan, merusak nama baik orang lain, dan menjauhkannya dari lingkungan sosial.

Kita mengucilkan seseorang hanya karena dia jelek, miskin, atau bahkan karena terlalu cakep dan pintar, itu termasuk perundungan. 

Pun kalau kita memfitnah orang lain karena iri, dengki, atau dendam, itu juga termasuk perundungan sosial. Mengucilkan seseorang hanya karena dia berbeda juga bagian dari social bullying.

4. Perundungan Psikologis (psychological bullying)

Perundungan psikologis adalah jenis penindasan mental yang dilakukan dengan sengaja dan jahat untuk menyakiti dan mengintimidasi seseorang melalui gerak tubuh, mimik wajah, dan komentar sinis.

Gerak tubuh dan mimik wajah yang termasuk perundungan adalah yang dilakukan berulangkali untuk menghina dan menyakiti seperti melengos, melotot, mendengus, dan

Sama seperti gerak tubuh dan mimik wajah, komentar sinis yang termasuk perundungan juga yang dilakukan berulangkali seperti sindiran dan perkataan negatif yang diucapkan terus-menerus.

5. Perundungan Dunia Maya (cyberbullying)

Cyberbullying adalah penindasan yang dilakukan lewat semua perangkat elektronik yang terhubung ke internet.

Penindasan dunia maya dapat terjadi melalui pesan teks, media sosial, aplikasi, atau forum online. Pelaku cyberbullying melakukannya dengan cara mem-posting atau pengiriman konten berbahaya, termasuk pesan dan foto, serta berbagi informasi pribadi yang membuat seseorang terhina.

Penelitian yang dilakukan oleh Cyberbullying Research Center menunjukkan 15% anak usia 9-12 dan 37% anak usia 13-17 tahun pernah mengalami cyberbullying dalam hidup mereka.  

Pelaku cyberbullying kecil kemungkinannya untuk tertangkap karena sifatnya yang online dalam artian bersembunyi dalam jaringan internet.

Hampir semua orang sekarang memakai ponsel, tablet, laptop, dan komputer setiap hari setiap saat yang membuat kita mudah jadi korban cyberbullying. Tambahan lagi seringnya kita memposting foto dan video di internet bikin kita tambah rentan dimanipulasi untuk jadi korban penindasan dunia maya.

***

Lima jenis bullying diatas adalah versi UNICEF untuk melindungi anak-anak kita dari perundungan. 

Mengenali lima jenis perundungan yang rentan dialami anak, bisa membantu kita memberi pengertian pada mereka dan menyiapkan fondasi bagi mereka menghadapi perundungan di sekolah, di lingkungan rumah, atau di lingkungan pertemanan lainnya.

Keuntungan Menyekolahkan Anak di Sekolah Negeri

Keuntungan Menyekolahkan Anak di Sekolah Negeri

Sekolah negeri, terutama yang dulunya berstatus unggulan, selalu diincar oleh banyak siswa dan orang tua sebagai tempat belajar. Alasannya karena mutu sekolah yang unggul akan membuat para siswa jadi unggul juga.

Betulkah? Secara langsung, iya. Sekolah unggulan biasanya menerapkan cara belajar dan peraturan yang lebih disiplin. Misal, sekolah tidak akan meliburkan siswa kalau tidak ada hal yang sangat mendesak.

Guru-guru di sekolah unggulan, terutama yang berusia muda, juga menerapkan cara mengajar yang lebih bervariasi sehingga siswa lebih cepat mengerti.

Dari Mana Datangnya Istilah Sekolah Unggulan?

Lalu dari mana sekolah negeri dapat predikat unggulan? Dari Kemdikbudristek dan pemerintah daerah setempat. Kemdikbudristek lewat BANSM (Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah) memberikan nilai akreditasi kepada sekolah.

Kalau sekolah itu sudah menyempurnakan 8 Standar Pendidikan Nasional (SPN) maka sekolah itu bisa dapat akreditasi A. Nilai Akreditasi A dimulai dari 91-100. Makin tinggi nilai akreditasi sekolah, makin unggul sekolah itu karena menghasilkan lulusan yang tinggi nilai akademiknya sekaligus berbudi karakter Pancasila.

Sementara itu, pemerintah daerah menetapkan sebuah sekolah di wilayahnya sebagai sekolah unggul berdasarkan prestasi akademik dan nonakademik, serta nilai yang dihasilkan lulusannya.

Namun, predikat sekolah unggul tidak lagi dipakai sejak diberlakukannya Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi dan disusul dengan Kurikulum Merdeka.

Berikut Keuntungan Menyekolahkan Anak di Sekolah Negeri.

1. Terbiasa dengan Keberagaman 

Keberagaman merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Negeri kita tercinta punya ribuan suku asli dan enam agama yang diakui negara selain dari ratusan aliran kepercayaan asli Nusantara.

Menurut laman indonesia.go.id kita punya 1.340 suku dengan suku terbesar adalah suku Jawa yang banyaknya 41% dari total populasi.

Sementara itu, negara kita mengakui 187 aliran kepercayaan dan penganutnya (disebut dengan penghayat kepercayaan) berhak mencantumkan nama kepercayaan mereka di KTP (Kartu Tanda Penduduk).

Keberagaman suku dan agama cuma dapat kita temukan di sekolah negeri karena sekolah ini menerima siswa dari agama dan suku apa pun. Lain halnya dengan sekolah dari yayasan agama yang siswanya identik dengan satu agama saja.

2. Menghargai Perbedaan

Anak sekolah negeri yang terbiasa dengan keberagaman akan menghargai perbedaan. Mereka paham kalau perbedaan itu bukanlah sumber perpecahan, melainkan persatuan.

Mereka juga punya tenggang rasa yang lebih besar dari anak yang tidak terbiasa dengan keberagaman. Ini karena mereka selalu melihat persamaan di setiap perbedaan.

Misal, walau si Fulan beragama Islam dan temannya Kristen, Fulan akan melihat persamaan di antara mereka, yaitu sama-sama siswa sekolah A, sama-sama orang Jawa, sama-sama Indonesia, atau kesamaan lain yang membuat mereka selalu ingin berada dalam keadaan rukun.

3. Biaya Sangat Terjangkau

Sekolah negeri tidak memungut biaya bulanan kepada orang tua atau yang kita kenal dengan SPP (Sumbangan Pembiayaan Pembangunan). Jadi pendidikannya semua gratis.

Komite Sekolah hanya menggalang sumbangan dari orang tua untuk membiayai ekstrakurikuler yang tidak cukup dibiayai oleh dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan kegiatan lain seperti outing class, pameran seni, gelar karya, maupun acara wasana warsa (tutup tahun).

Related: Tugas Pengurus Komite Sekolah Sesuai Permendikbud

Biaya yang dikeluarkan untuk membiayai semua kegiatan itu juga sangat terjangkau karena ditanggung secara gotong-royong oleh sesama orangtua/wali siswa. Intinya, biaya di sekolah negeri sangat terjangkau karena milik pemerintah dan tidak berorientasi keuntungan.

4. Reputasi Pintar

Reputasi sekolah negeri sebagai sekolah yang menghasilkan lulusan pandai dari dulu masih terjaga sampai sekarang.

Anak yang belajar di sekolah negeri yang berlabel unggulan akan dapat poin lebih saat dia melamat kerja dibanding dengan anak yang di sekolah swasta, kecuali swasta itu ternama seperti Pelita Harapan, Bina Nusantara, dan beberapa sekolah Kristen/Katolik ternama.

Dengan begitu seorang anak akan dikenal sebagai anak pandai kalau dari SD-SMA dia belajar di sekolah negeri sekaligus melanjutkan ke universitas ternama yang memberlakukan seleksi ketat pula.

Siapa yang Meminati Sekolah Negeri?

Orang-orang kelas menengah ke bawah memilih sekolah negeri karena alasan biaya yang sangat terjangkau. Sedangkan orang kaya memilih sekolah negeri (yang unggulan) karena alasan prestise.

Walau berbeda alasan, tapi orang kaya dan menengah ke bawah punya pandangan sama bahwa lingkungan belajar di sekolah negeri bisa membuat anak-anak mereka punya disiplin, karakter yang baik, dan kemampuan akademis yang lebih tinggi dari sekolah swasta.

Related: Empat Jenis Pola Asuh yang Membentuk Karakter Anak

Beda di kota besar yang cenderung menyekolahkan anak di yayasan berbasis agama seperti sekolah Islam, sekolah Katolik, atau sekolah Kristen, masyarakat yang tinggal di luar kota besar (apa pun agamanya) masih memandang sekolah negeri sebagai sekolah terbaik untuk anak-anak mereka. 

Anak-anak yang SD-nya di swasta pasti meminati SMP negeri. Begitu juga dengan orangtua yang anaknya di SMP swasta setelah lulus pasti berhasrat memasukkan anak mereka ke SMA negeri.

Delapan Gangguan Tumbuh Kembang Anak yang Bisa Dikendalikan tapi Takbisa Disembuhkan

Delapan Gangguan Tumbuh Kembang Anak yang Bisa Dikendalikan tapi Takbisa Disembuhkan

Tidak ada orang tua yang ingin anaknya sakit atau kena gangguan tumbuh kembang. Anak yang menderita gangguan tumbuh kembang biasanya terlahir dengan kelainan pada syarat atau fisiknya. Bisa karena faktor genetik saat terjadinya embrio dikandungan, pola hidup orang tuanya, lingkungan tempat tinggal, atau hal lain yang diluar kuasa manusia.

Delapan jenis gangguan tumbuh kembang anak ini patut jadi pengetahuan kita supaya kita lebih bersyukur kalau anak atau saudara kita tidak mengalami satu diantaranya.

1. Autisme

 

Autisme punya istilah medis Autism Spectrum Disorder (ASD) atau Autism Spectrum Condition (ASC). 

Penyebab autisme diduga sebagian besar diwariskan secara genetik dan dari faktor lingkungan.

Anak yang menderita autisme punya gangguan pada perkembangan sarafnya sehingga dia mengalami kesulitan berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Mereka juga sering mengulang-ulang gerakan atau tidak tertarik melakukan aktivitas apa pun.

Pada beberapa kasus anak dengan autisme juga mengidap epilepsi, disabilitas intelektual, dan hiperaktif.

Autisme tidak bisa disembuhkan, tapi anak yang mengidapnya harus diterapi untuk membuatnya mandiri, berperilaku, dan berkomunikasi seperti anak normal.

2. Celebral Palsy

 

Celebral palsy atau disebut juga dengan movement diorder (ganguan gerak), adalah gangguan yang memengaruhi gerakan, keseimbangan, dan postur tubuh. Kondisi ini disebabkan oleh kerusakan atau perkembangan abnormal pada otak yang mengatur fungsi otot. 

Gangguan ini biasanya terjadi sebelum, saat, atau sesudah kelahiran. Gejalanya bervariasi mulai dari kesulitan berbicara, makan, berjalan, hingga kelumpuhan. Cerebral palsy tidak bisa disembuhkan, tapi anak yang menderitanya bisa mendapat kualitas hidup dengan terapi fisik, terapi wicara, terapi okupasi, dan terapi hidrol air.

3. Down Syndrome

 

Down syndrome lebih kita kenal sebagai keterbelakangan mental yang disebabkan kelainan genetik yang terjadi saat pembelahan sel. Saat pembelahan sel abnormal menghasilkan salinan kromosom 21 secara penuh atau sebagian.

Tingkat keparahan down syndrome berbeda tiap anak, tapi sama-sama menyebabkan kecatatan intelektual seumur hidup dan keterlambatan perkembangan.

Anak dengan down syndrom sering juga mengalami masalah jantung dan pencernaan karena kelainan genetik yang dimilikinya.

4. Stunting

 

Stunting atau stunted growth (pertumbuhan terhambat) adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dapat dilihat dari kurangnya tinggi badan sesuai usia. 

Stunting disebabkan oleh ibu hamil yang kurang gizi sehingga melahirkan anak yang kurang nutrisi. Bisa juga disebabkan karena kurang gizi parah dan infeksi berulangkali yang diderita anak saat masih balita.

Lembaga kesehatan dunia (WHO/World Health Organization) menetapkan ciri stunting dengan kurangnya tinggi badan anak dibawah dua devian dari Child Growth Standards yang ditetapkan WHO.

Cara menentukan apakah tinggi badan anak masuk termasuk normal atau tidak adalah dengan memeriksanya di KMS (Kartu Menuju Sehat) yang diisi oleh petugas Posyandu/Puskesmas yang memeriksa anak kita.

Related: Anak Diganggu Teman di Kelas dan Cara Orangtua Bersikap

Anak yang terindikasi stunting bisa ditangani dan tumbuh normal kalau usianya masih dibawah lima tahun. Pengobatan akan lebih manjur kalau usia anak masih dibawah dua tahun. Kalau tidak ditangani, stunting bisa mengakibatkan gangguan perkembangan otak, sering sakit dan kena infeksi, juga rentan kena diabetes dan sakit jantung saat anak dewasa.

5. ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)

 

ADHD adalah gangguan pada gelombang otak yang membuat anak susah fokus, hiperaktif, mudah lupa apa yang dilakukannya, dan berperilaku impulsif. Perilaku impulsif adalah sikap spontan dan tiba-tiba yang dilakukan tanpa memikirkan akibatnya.

Penyakit yang termasuk gangguan mental ini diduga karena faktor lingkungan saat bayi dalam kandungan seperti terpapar narkotika, alkohol, dan zat beracun lainnya. ADHD umumnya terlihat sejak anak berusia 3 tahun.

ADHD tidak bisa disembuhkan sepenuhnya, tapi dapat dikendalikan dengan psikoterapi (obat-obatan) untuk meredakan gejala dan membantu anak untuk fokus guna belajar membaca, menulis, berhitung, dan bermain.

Sekilas, anak autis dengan anak ADHD terlihat sama karena keduanya susah fokus dan terlihat banyak bergerak. Namun anak dengan autisme hanya melakukan kegiatan atau gerakan yang itu-itu saja berulangkali, sedangkan anak ADHD bergerak tanpa henti kemana saja dan melakukan apa saja.

6. APD (Auditory Processing Disorder)

 

atau gangguan pemrosesan pendengaran adalah kondisi ketika seseorang mengalami kesulitan memahami suara, termasuk kata-kata yang diucapkan.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Auditory Processing Disorder", Klik untuk baca: https://health.kompas.com/penyakit/read/2022/02/24/090000568/auditory-processing-disorder.


Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6

Auditory Processing Disorder adalah gangguan pemrosesan pendengaran yang mana anak kesulitan memahami suara termasuk suaranya sendiri.

Hal ini terjadi karena otak kesulitan memahami suara secara normal. Gejalanya sudah terlihat sejak usia anak-anak yang diduga karena pengaruh gen keluarga, keracunan timbal saat dalam kandungan, kelahiran prematur, penyakit sistem saraf, atau cedera kepala.

Anak yang menderita APD tidak punya masalah pendengaran seperti tuli atau kerusakan gendang telinga. Hanya saja saraf dalam otak mereka sulit memproses suara menjadi informasi sebagaimana otak orang normal.

Makanya gangguan ini tidak bisa disembuhkan, tapi bisa diatasi dengan terapi untuk meningkatkan pendengaran dan konsentrasi. Anak pengidap APD juga harus menggunakan alat bantu pendengaran yang terhubung dengan mikrofon ke arah guru selama belajar di kelas.

7. Gangguan Belajar (Learning Disorder)


Learning diorder atau gangguan belajar berbeda dengan down syndrome yang pengidapnya punya kecerdasannya dibawah rata-rata.

Pada Gangguan Belajar otak tidak bisa memproses informasi yang didengar telinga, dilihat mata, dan dirasakan indera lainnya. Jadi apa yang dilihat, diucapkan, dan didengar anak berbeda dengan apa yang diterimanya.

Beberapa Gangguan Belajar atau learning disorder yang umum diderita adalah:

  • Disleksia: Kesulitan dalam membaca dan memahami kata atau kalimat yang ditulis. Orang dengan disleksia sering salah membaca, mengeja, atau mengartikan huruf, kata, atau kalimat.
  • Disgrafia: Kesulitan dalam menulis dan mengekspresikan pikiran atau ide dalam bentuk tulisan. Orang dengan disgrafia sering salah menulis, mengatur spasi, atau menyusun kalimat.
  • Diskalkulia: Kesulitan dalam berhitung dan memahami konsep matematika. Orang dengan diskalkulia sering salah menghitung, mengingat rumus, atau memecahkan masalah matematika.
  • Dispraksia: Kesulitan dalam melakukan gerakan motorik halus atau kasar. Orang dengan dispraksia sering kaku, canggung, atau tidak terampil dalam bergerak, berbicara, atau bermain.
  • Disfasia: Kesulitan dalam berbicara dan memahami bahasa lisan. Orang dengan disfasia sering salah mengucapkan, mengartikan, atau menyusun kata atau kalimat.
Learning disorder tidak bisa disembuhkan sepenuhnya, tapi bisa diperbaiki dengan bantuan yang tepat sesuai kondisi anak.

8. Conduct Disorder (Gangguan Perilaku)

 

Anak yang kerap berulah dengan melanggar norma sosial, agama, budaya, dan masyarakat secara berulang adalah ciri pengidap Conduct Disorder atau Gangguan Perilaku.

Anak atau remaja yang mengalami conduct disorder biasanya menunjukkan perilaku seperti berbohong, mencuri, merusak, mengintimidasi, berkelahi, menyakiti manusia atau hewan, bolos sekolah, kabur dari rumah, atau melakukan tindakan seksual yang tidak pantas.

Faktor psikologis diduga jadi faktor anak mengalami gangguan perilaku seperti keluarga tidak harmonis, mengalami tekanan pergaulan, stress, merasa rendah diri, dan terpengaruh lingkungan sekitar.

Gejala umum conduct disorder dapat bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, dan tingkat keparahan gangguan, diantaranya:

  • Agresif terhadap manusia dan hewan seperti menggertak, mengancam, atau mengintimidasi orang lain, berkelahi, menggunakan senjata, melakukan kekerasan seksual, menyiksa atau membunuh hewan.
  • Merusak properti dengan sengaja merusak fasilitas umum, membakar atau meledakkan barang milik orang lain, merusak barang milik diri sendiri atau orang lain.
  • Menipu dan mencuri seperti sering berbohong, mencuri barang di toko, merampok, atau memeras orang lain.
  • Melanggar norma sosial: sering bolos sekolah, keluyuran tengah malam, kabur dari rumah, dan melakukan tindakan seksual yang tidak pantas untuk usianya.
Gangguan Perilaku dapat diobati dengan terapi perilaku kognitif, terapi keluarga, terapi kelompok, terapi perilaku positif, dan obat-obatan (misalnya stimulan, antidepresan, atau antipsikotik). 
 

Berbagai gangguan tumbuh kembang anak itu bisa diketahui sejak dini dengan pengamatan dari orang tua kepada buah hatinya. Dengan begitu efek buruk dari gangguan itu bisa ditekan dan diminimalisir. Hidup anak pun bisa seperti anak normal dan siap menghadapi masa depannya secara mandiri. 

 
Empat Jenis Pola Asuh yang Membentuk Karakter Anak

Empat Jenis Pola Asuh yang Membentuk Karakter Anak

Anak mendapat pendidikan pertama kali dari orang tuanya. Sejak didalam kandungan dia sudah mengenali suara ayah-ibunya atau keluarganya yang lain. Dia juga menyerap kata dan kalimat penyejuk hati yang diucapkan orang tuanya. Pun mendengar bila di tempat tinggalnya sering terlontar makian dan serapah. 

4 jenis pola asuh yang membentuk karakter anak

Saat anak masuk sekolah, pendidikan yang diberikan orang tuanya tidak boleh berhenti, justru saling melengkapi dengan yang diajarkan di sekolah. Sekolah mengajarkan ilmu pengetahuan, orang tua mengajarkan budi pekerti, agama, dan pengetahuan lain yang tidak diajarkan di sekolah.

Meski setiap orang tua sayang pada anaknya, tapi ilmu psikologi menemukan adanya pola asuh otoriter yang ternyata tidak mempedulikan perasaan dan pikiran anak. 

Asal Muasal Pembagian Gaya Pengasuhan


Perkembangan pola asuh pertama kali dicetuskan oleh psikolog perkembangan bernama Diana Baumrind dari University of California di tahun 1960-an.

Diana kemudian mendeskripsikan tiga gaya pengasuhan berdasarkan penelitiannya terhadap anak-anak usia prasekolah. Tiga gaya pengasuhan itu adalah authoritarian, authoritative, dan permissive.

Beberapa tahun setelahnya di tahun 1983 Maccoby dan Martin memperkenalkan gaya pengasuhan yang keempat, yaitu uninvolved parenting. Maccoby dan Martin juga melakukan penelitian pada pola asuh orang dan hubungannya dengan perilaku dan sikapanak ketika remaja.

Merka menemukan uninvolved parenting setelah memperluas tipologi (pengelompokkan berdasarkan tipe atau jenis) dari tiga gaya pengasuhan yang telah dideskripsikan oleh Diana Baumrind.

Berikut empat pola asuh yang diterapkan orang tua ke anak-anak mereka.

1. Pola Asuh Otoriter (Authoritarian Parenting)

 

Authoritarian parenting disebut juga dengan pola asuh otoriter. Otoriter berarti berkuasa sendiri atau sewenang-wenang, Jadi dalam authoritarian parenting, orang tua memberikan larangan dan batasan yang ketat untuk anak.

Anak tidak boleh membantah apa yang dikatakan orang tua, bahkan bila anak mengungkapkan pendapat dan isi hatinya, orang tua akan mencapnya sebagai pemberontak dan tukang melawan.

Alasan Orang Tua Menerapkan Pola Asuh Otoriter

Berikut alasan kenapa orang tua menerapkan pola asuh otoriter terhadap anak.

1. Masih terbawa zaman penjajahan dimana yang muda harus tunduk pada tua apalagi yang berkuasa.

2. Belum mengenal pola asuh selain "anak harus nurut apa kata orang tua" karena menganggap orang tua lebih punya banyak pengalaman hidup dibanding anak.

3. Merasa paling tahu yang dibutuhkan anak karena telah membesarkan anak sejak lahir.

4,. Merasa punya kuasa terhadap anak karena merasa si anak darah daging sendiri maka semua perkataan dan tindakan orang tua harus diikuti.

5. Keinginan masa kecil orang tua tidak tercapai dan ingin anak mencapai apa yang tidak bisa mereka raih. 

Generasi Baby Boomer (kelahiran 1946-1964) dan Gen X awal (kelahiran 1965-1972) merupakan generasi yang paling menerapkan pola asuh otoriter ini. Contoh pola asuh otoriter paling nyata yang diterapkan Baby Boomer dan Gen X awal, misalnya, anak-anak dilarang makan lebih dulu sebelum ayah mereka makan. 

Related: Love Language Orang Tua untuk Hubungan Berkualitas

Alasan lain orang tua menerapkan pola asuh otoriter karena mereka punya trauma masa kecil atau gangguan mental yang tidak disadari, misal gangguan stres, gangguan kecemasan sosial, bipolar, atau gangguan mental lain yang berimbas pada pola asuh.

Psychology Today menyebut bahwa pola asuh otoriter sering disertai dengan kekerasan terhadap anak dalam bentuk bentakan, ledekan, dan makian. Orang tua juga mudah melabeli anak dengan macam-macam sebutan negatif tiap mereka merasa anak tidak menuruti perintah dengan benar.

2. Pola Asuh Otoritatif/Demokratis (Authoritative Parenting)

 

Orang tua yang menerapkan pola asuh otoritatif adalah orang tua yang hangat, penuh kasih sayang, selalu mendukung, tapi juga menetapkan batasan dan disiplin pada anak.

Mereka selalu memberikan bimbingan dan mendorong supaya anak-anak mampu mandiri dan berpikir sendiri. Karena selalu berdiskusi dan bertanya pada anak sebelum mengambil keputusan tentang aktivitas, kebutuhan, dan apa yang diinginkan si anak, maka gaya pengasuhan orotitatif sering disebut sebagai pola asuh demokratis.

Ilustrasi: Very Well Mind

Saat anak memutuskan ingin melakukan suatu hal untuk mengisi waktu, mengembangkan bakat dan minat atau untuk meraih cita-citanya, orang tua akan mendukung dengan memberi bimbingan dan dorongan sesuai usia anak.

Orang tua otoritatif juga memilih untuk memberi penjelasan dan pemahaman pada anak sebelum anak berbuat negatif atau melakukan hal yang dilarang oleh norma agama dan sosial. 

Memarahi anak adalah pilihan terakhir bagi orang tua otoritatif. Kalaupun terpaksa memarahi dan memberi hukuman mereka akan memberi alasan dan penjelasan kenapa mereka marah dan memberi hukuman..

3. Pola Asuh Terbuka (Permissive Parenting)

 

Permissive atau permisif artinya terbuka atau membolehkan. Orang tua yang permisif sangat sayang dan sabar pada anaknya karena itu mereka akan memberikan apa yang diinginkan anak tanpa bertanya dan memikirkan manfaat dan risikonya untuk anak.

Selain itu orang tua  permisif juga sangat sedikit memberi bimbingan, aturan, dan tidak pernah menerapkan disiplin pada anak karena tidak ingin anak marah, kecewa, dan menganggap orang tuanya kejam. 

Ilustrasi: Very Well Mind

Orang tua permisif menganggap kebahagiaan anak adalah kebahagiaan mereka juga maka keinginan anak akan sebisanya mereka penuhi.

Para peneliti menemukan kalau anak yang dibesarkan dengan pola asuh permisif cenderung tidak disiplin, manja, kurang empati, banyak menuntut, dan mementingkan diri sendiri.

Namun orang tua yang menerapkan pola asuh permisif punya alasan melakukannya karena:

  1. Ingin memberi kebebasan pada anak.
  2. Membebaskan anak berkreasi dengan kreativitasnya sendiri.
  3. Tidak ingin dianggap sebagai orang tua oleh anak, melainkan teman.
  4. Semua hal adalah kesempatan belajar buat anak sehingga tidak perlu memikirkan risiko dan keselamatan anak.

4. Uninvolved Parenting (Pola Asuh Abai)


Uninvolved parenting sering disebut juga sebagai neglected parenting atau pola asuh abai. Gaya pengasuhan ini disematkan pada orang tua yang cuek apakah anaknya sudah makan, salat, mengerjakan PR, istirahat, dan segala kebutuhan dasar yang diperlukan anak.

Bisa dibilang gaya pengasuhan abai ini kontroversial karena anak dibiarkan tumbuh dan mengurus dirinya sendiri. Mereka bahkan mengambil keputusan untuk dirinya sendiri tanpa keterlibatan orang tua yang membimbingnya.

Uninvolved parenting terjadi karena orang tua sibuk bekerja dan menyerahkan pengasuhan pada keluarga terdekat mereka. Namun keluarga dekat ternyata juga sibuk atau tidak mengerti bagaimana cara mengasuh anak.

Anak yang dibesarkan dengan pola asuh abai ini kalau sudah punya anak akan cenderung mengabaikan anak mereka juga. Sebabnya karena mereka hanya mengenal pola asuh ini dan sudah terbiasa sehingga tidak ingin lagi menjalani pola asuh lainnya, terutama authoritative parenting yang dinilai melelahkan.

***

Orang tua bisa saja mengubah pola asuh mereka selagi anak masih dibawah umur dan belum remaja (12 tahun kebawah). Misal yang tadinya menerapkan pola asuh otoriter pelan-pelan mengubahnya menjadi demokratis.

Perubahan pola asuh ketika anak sudah remaja tidak akan berpengaruh terhadap karakter dan perilaku anak karena masa optimal anak menyerap apa yang mereka dapat ada di usia 12 tahun kebawah saat fungsi kognitifnya masih berkembang.

Fungsi kognitif anak baru terbentuk matang saat usianya mencapai 13 tahun. Maka sebelum anak mencapai usia remaja, orang tua bisa mengoptimalkan pendidikan agama, bermusik, olahraga, seni, atau keterampilan lain yang disukai anak.

Pada masa sebelm remaja ini pula pembentukan karakter dan budi pekerti pada anak harus ditanamkan sungguh-sungguh supaya mereka kelak tidak jadi orang begajulan yang terpapar hal-hal negatif.