Widget HTML #1

Anti-apresiasi dan Tall Poppy Syndrome

Jaman sudah berada pada titik di mana orang yang meraih prestasi dan sukses di bidang yang dikuasainya justru dikritik, direndahkan, bahkan dijauhi supaya tidak terlihat lebih unggul dibanding yang lain.

Itulah fenomena sosial yang dinamakan tall poppy syndrome.

Anti-apresiasi dan Tall Poppy Syndrome

Asal-usul Istilah Tall Poppy Syndrome

Alkisah, di abad ke-6 SM (Sebelum Masehi), raja ke-7 Romawi yang bernama Lucius Tarquinius Superbus meminta anaknya untuk memotong kepala bunga poppy yang tumbuh paling tinggi di kebun. Tindakan ini melambangkan bahwa orang-orang yang menonjol atau berkuasa harus “dipangkas” agar tidak mengancam kesetaraan.

Istilah memotong kepala poppy kemudian populer di Australia dan Selandia Baru pada awal abad ke-20 atau di tahun 1900-an. 

Tall poppy syndrome sangat populer di dua negara itu karena budaya egalitarian (kesetaraan) di sana kental. Orang yang terlalu menonjol dianggap mengganggu keseimbangan dan kesetaraan. 

Di Australia orang sukses bisa dipuji lewat penghargaan (Tall Poppy Awards), tapi di sisi lain mereka juga dicemooh karena dianggap sombong atau too big for their boots (terlalu besar untuk sepatu mereka) alias dianggap terlalu percaya diri. 

Di Selandia Baru bahkan ada ungkapan tidak resmi yang berbunyi jangan merasa istimewa, yang mencerminkan sikap skeptis terhadap orang yang terlalu menonjol.

Apa orang Australia dan Selandia Baru berarti iri dan tidak suka ada orang menonjol

Mereka menghargai kesuksesan, tapi dalam budaya egalitarian mereka, ada kecenderungan untuk “memangkas” orang yang dianggap terlalu menonjol supaya tetap setara dengan yang lain.

Sisi Negatif Tall Poppy Syndrome

Meski menekankan kesetaraan, tall poppy syndrome punya banyak sisi negatif, terutama karena menekan orang yang berprestasi dan menciptakan budaya yang kurang sehat. 

1. Dampak Negatif Bagi Individu

Masyarakat yang menerapkan tall poppy syndrome secara langsung menurunkan rasa percaya diri pada orang yang sukses. Orang yang berprestasi, meraih penghargaan, dapat hadiah, menang pertandingan dsb dibuat merasa bersalah atas pencapaiannya. 

Maka tidak heran kalau seseorang akhirnya enggan menunjukkan kemampuan atau kreativitasnya karena takut dikritik.

Studi psikologi di University of Canterbury menunjukkan bahwa tall poppy syndrome dapat menurunkan motivasi, produktivitas, dan kepuasan kerja.

Lalu, karena sering dikritik dan dianggap sombong saat meraih prestasi, meski dia gak nyombongin diri, orang yang berprestasi akan merasa terasing dari lingkungannya dan mengalami tekanan batin. Lama-lama banyak orang akhirnya kehilangan semangat untuk berkembang karena prestasi tidak lagi dianggap sebagai hal positif.

2. Dampak Negatif Bagi Masyarakat 

Dampak negatif tall poppy syndrome bagi masyarakat adalah terciptanya budaya anti-apresiasi yang melemahkan inovasi, menurunkan kualitas kepemimpinan, dan menghambat perkembangan sosial karena semua orang diarahkan untuk biasa-biasa saja.

Hal ini pada akhirnya menghilangkan kesempatan untuk mendapat pemimpin potensial. Orang yang berprestasi sering dipangkas atau dijauhi, padahal mereka bisa menjadi agen perubahan, pendidik, atau pemimpin yang membawa kemajuan.

Tall poppy syndrome juga memupuk rasa iri, gosip, dan sabotase menjadi norma, menciptakan suasana tidak sehat di komunitas dan organisasi. 

Laman Very Well Mind menyebut bahwa perempuan dan kelompok minoritas lebih sering menjadi sasaran tall poppy syndrome yang lalu memperburuk diskriminasi.

Budaya Apresiasi Vs Tall Poppy Syndrome

Budaya apresiasi banyak diterapkan di masyarakat dan organisasi yang menekankan rasa syukur, penghargaan, dan dukungan terhadap keberhasilan individu maupun kelompok. Ada beberapa tempat yang menjunjung tinggi apresiasi terhadap individu, di antaranya:

1. Afrika Selatan

Di banyak komunitas Afrika, khususnya Afrika Selatan, filosofi Ubuntu (aku ada karena kita ada) menekankan bahwa keberhasilan individu adalah keberhasilan bersama. Budaya ini mendorong apresiasi kolektif dan rasa syukur terhadap kontribusi setiap orang.

2. Jepang

Apresiasi ditunjukkan lewat kebiasaan sehari-hari, seperti sopan santun dalam makan (misalnya mengucapkan itadakimasu sebelum makan) dan penghormatan terhadap orang lain. Budaya ini menekankan rasa terima kasih sebagai bagian dari keseharian.

3. Maori di Selandia Baru

Meski mayoritas orang di Selandia Baru (kulit putih) menerapkan prinsip egaliter, tapi suku asli sana, yaitu Maori menerapkan budaya apresiasi tinggi. Salah satunya diungkapkan dengan tradisi hongi (salam dengan menyentuhkan hidung) sebagai bentuk penghargaan dan penerimaan, menekankan hubungan manusia yang saling menghormati.

4. Act of Service 

Banyak perusahaan multinasional menerapkan employee recognition programs untuk membangun motivasi. Misalnya, di Thailand dan Turki, bentuk apresiasi yang paling dihargai adalah acts of service (bantuan nyata), sementara di Tiongkok dan Brasil lebih menekankan kata-kata afirmasi 

Budaya Apresiasi dan Ambivalensi

Budaya apresiasi di Indonesia punya akar yang kuat, tapi praktiknya sering terjebak dalam ambivalensi. Akar budaya apresiasi di negeri kita sering terlihat dari kegiatan gotong royong kerja bakti, syukuran/doa bersama/selametan untuk merayakan keberhasilan anggota keluarga, atau dalam budaya yang lebih modern disebut dengan makan-makan.

Secara psikologis, Tall Poppy Syndrome merugikan masyarakat karena mengikis budaya apresiasi, melemahkan inovasi, dan menyingkirkan individu berpotensi tinggi. Alih-alih menjadi komunitas yang mendukung, masyarakat bisa terjebak dalam sikap iri dan sinis yang justru menghambat kemajuan bersama. 

Masyarakat yang menerapkan tall poppy syndrome menganggap diri mereka tidak membenci kesuksesan, melainkan menerapkan ambivalensi, yaitu menghargai sekaligus mengawasi kesuksesan seseorang supaya tidak melampaui batas.

***

Bunga poppy jarang tumbuh dan dikembangkan di Indonesia karena iklim tropis kurang cocok untuk poppy. Secara global bunga poppy dikenal sebagai bunga yang melambangkan pengingat, pengorbanan, dan keindahan alam.  

Posting Komentar untuk "Anti-apresiasi dan Tall Poppy Syndrome"