Hari Lahir Pancasila dan Generasi PMP yang Jungkir-Balik Menghapal Butir-butir Pancasila

Bersyukurlah generasi yang sekolah setelah orde baru tumbang. Kamu enggak harus merasakan jungkir-balik menghapal butir-butir Pancasila tiap ulangan di mata pelajaran PMP.

Bidang studi PMP adalah singkatan dari Pendidikan Moral Pancasila. Semua yang dipelajari di bidang studi PMP sebenarnya amat mulia karena mengajarkan kerukunan. Sangat cocok untuk bangsa Indonesia yang multiagama dan multisuku.

Buku pelajaran PMP masa 1980-an (duniasosial.id)

Sebenarnya bidang studi (iya, dulu namanya bidang studi sebelum ganti jadi mata pelajaran) PMP sudah diganti nama sejak 1994 jadi PPKn, singkatan dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. 

Kemudian, sejak dibuatnya UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional nama PPKn berubah jadi PKN atau Pendidikan Kewarganegaraan, tanpa embel-embel Pancasila.

Meski demikian, sampai tahun 2022 dimana sekolah kini memakai Kurikulum 2013, Pancasila masih diajarkan di buku teks Tema. Murid dan siswa juga wajib menghapal Pancasila, walau tidak lagi jungkir-balik menghapal 45 Butir-butir Pancasila.

Kok ada siswa ada murid? Apa bedanya siswa dan murid?

Murid dan Siswa


Murid berasal dari bahasa Arab yaitu muriidan yang artinya punya keinginan, berkehendak, dan punya minat yang amat kuat untuk mengetahui sesuatu.

Sementara itu, kata siswa berasal dari bahasa Jawa "wasis" yang artinya pintar atau pandai. Kata siswa adalah kebalikan dari kata wasis, maka itu arti siswa adalah tidak (belum) pandai.

Melihat asal kata dan artinya, saya berkesimpulan bahwa kata 'murid' lebih cocok disematkan pada remaja SMP dan SMA. Mereka sudah tahu apa yang jadi minatnya di sekolah dan punya keinginan untuk mengetahui banyak hal.

Sementara anak SD lebih pas disebut sebagai siswa karena mereka belum banyak mengerti sehingga belum pandai. Mereka lebih sering mencontoh dan mengikuti daripada berinisiatif punya minat terhadap banyak hal.

However, yang terjadi selama ini sebaliknya. Semua orang menyebut "siswa SMP atau siswa SMA" dan "murid SD". Padahal secara terminologi, pemakaian kata siswa lebih pas untuk pelajar SD dan kata murid untuk pelajar SMP dan SMA.

Itu tidak keliru juga, karena kalau kita lihat pada KBBI, arti siswa sama dengan murid, yaitu mereka yang bersekolah di SD-SMA.

Bila merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2003, siswa adalah bagian dari anggota masyarakat yang sedang berusaha untuk mengembangkan potensi melalui pendidikan dalam tingkatan, jalur, dan jenis tertentu.

Sekarang semua anak sekolah lebih sering disebut sebagai peserta didik daripada murid dan siswa. Istilah peserta didik mencakup mereka yang belajar di madrasah, pesantren dan seminari.

PMP dan Butir-butir Pancasila


Kalau kita baca betul-betul semua butir pada Pancasila, sebetulnya bagus karena mencerminkan keaslian watak masyarakat Indonesia yang sangat beretika dan jauh dari barbar. Pancasila sudah amat cocok dengan Indonesia yang multiagama dan multisuku sebelum ideologi khilafah mengobrak-abrik negara ini atas nama agama.

Sayangnya, siswa dan murid, juga guru, sangat skeptis pada PMP karena mereka melihat materi yang dimuat pada PMP tidak sesuai kenyataan yang mereka lihat dan alami sehari-hari.

Pada waktu itu amat lazim melihat orang korupsi. Pak RW korupsi bantuan sosial, Pak Lurah minta upeti, lahan ganti rugi tidak dibayar oleh oknum pejabat, makelar tanah nilep uang ganti rugi, dan aneka jenis korupsi lainnya.

Kalau ada orang yang jujur malah aneh dan sering dicibir karena dianggap sok suci. Betul, lho! Makanya kalau ada orang yang mau kembali ke zaman orba itu aneh banget! Zaman itu tatanan masyarakat amburadul. 

Well, tidak semua, sih. Warga di desa-desa masih guyub, gotong-royong, dan sangat rukun, walau bantuan untuk mereka sering disunat aparat, walau padi mereka sering dibeli tengkulak meski belum panen, menyebabkan harganya jadi super murah. 

Makanya gak aneh juga kalau banyak murid SMP dan SMA bikin contekan yang berisi Butir-butir Pancasila. Mereka bikin contekan karena sama sekali tidak ada niat meresapi seperti apa pengejawantahan dari falsafah negara tersebut.

Melihat fakta sehari-hari yang bertolak-belakang dengan Pancasila dan Butir-butirnya, akhirnya bikin orang ingin membuang Pancasila setelah Soeharto tumbang tahun 1998.

Walau secara resmi namanya PKn, tanpa Pancasila, nyatanya guru dan murid masih menyebutnya dengan PPKn. Pun di Kurikulum 2013 masih ada pelajaran tentang Pancasila. Siswa tetap harus hapal lima sila dan pengamalannya, walau tidak lagi harus menghapal Butir-butir Pancasila sampai jungkir balik seperti pelajar di era sebelum reformasi.

Namun demikian, masih banyak orang ingin mempertahankan Pancasila sebagai salah satu peninggalan founding father. Pancasila juga sudah pas jadi cerminan masyarakat Indonesia yang sesungguhnya. Kalau pada zaman orde baru Pancasila cuma jadi alat propaganda, bukan Pancasilanya yang salah, melainkan penguasanya yang barbar.

Begitu kira-kira kaum penyelamat Pancasila beragumen. Jadi, Pancasila selamat, tapi sebagian orang merasa kini mereka berdarah-darah mempertahankan ideologi bangsa ditengah maraknya keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara dengan syariat Islam.

Indonesia tidak perlu jadi negara khilafah karena Pancasila sudah mencakup keseimbangan hambluminallah dan habluminannas sebagai Islam yang rahmatan lil alamin. Indonesia dan Pancasila itu sendiri sudah Islami. 


Pancasila
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Hari Lahir Pancasila tiap 1 Juni tidak harus diperingati dengan memaksa guru dan pelajar upacara di sekolah, melainkan membangun kesadaran kalau Pancasila itu rangkuman dari kebiasaan sehari-hari masyarakat Indonesia, apapun agama dan sukunya.

Tiada bangsa lain yang cocok punya ideologi seperti Pancasila selain Indonesia karena Pancasila dibuat dari keseharian orang Indonesia, oleh orang Indonesia, dan untuk bangsa Indonesia.

0 komentar

Posting Komentar