Peluang Diterima Kerja Saat Hamil

Istri kerabat saya sedang hamil 10 minggu saat dia melakukan wawancara kerja di Dinas Perhubungan DKI. Peluangnya diterima bekerja sangat besar karena suami dan kenalan suaminya juga bekerja di sana.

Kalau punya "orang dalam" mau dalam keadaan apapun, peluang kita diterima kerja sudah pasti besar.

Ada kejadian dimana kita melamar kerja di bulan Januari kemudian tidak ada kabar sampai kita mengira lamaran dan CV sudah ditolak mentah-mentah. Ternyata di bulan Juni kita dapat panggilan wawancara. Padahal selama Januari ke Juni itu kita sudah dilamar kekasih, menikah, kemudian hamil.

(workopp.com)

Kalau sudah begitu, apakah kita tetap datang ke job interview tersebut? Terserah aja. Kalau memutuskan datang, jujurlah kepada human resource bahwa kita sedang hamil. Tidak ada gunanya menutupi kehamilan demi dapat kerja. Enggak sepadan. Not worth it.

Lagipula, siapa tahu posisi atau jabatan yang kita lamar tidak butuh ketangkasan dan gerak cepat seperti wartawan atau sekretaris. Juga tidak butuh kerja shift seperti buruh pabrik. Dengan begitu peluang kita diterima kerja juga besar.

Andai kita ditolak karena kehamilan tersebut. Tidak perlu kecil hati. Banyak perusahaan tidak menerima (calon) karyawati yang sedang hamil karena pertimbangan efisiensi perusahaan dan efektivitas kerja karyawati yang hamil itu.

Berikut alasan perusahaan tidak mau menerima calon karyawati yang sedang hamil:

1. Enggan disalahkan bila terjadi sesuatu pada kesehatan karyawati hamil

Ibu hamil dianggap rentan punya masalah kesehatan, misal muntah-muntah, badan pegal, kaki kesemutan, dan lain-lain. Karena itu mereka tidak boleh duduk atau berdiri terlalu lama. Tekanan darah juga perlu dijaga jangan sampai terlalu rendah atau terlalu tinggi.

Bila karyawati sakit saat bekerja, dia akan dianggap kelelahan karena pekerjaannya. Pun andai terjadi keguguran, keguguran itu akan dianggap efek dari bekerja berlebihan.

Makanya perusahaan enggan disalahkan atau dituntut andai terjadi sesuatu pada karyawati baru yang diterima kerja saat sedang hamil.

Walau tidak semua ibu hamil rentan mengalami gangguan kesehatan, perusahaan menjaga agar tidak terjadi apa-apa pada ibu hamil yang bisa berefek negatif pada perusahaan.

2. Masa kerja dan cuti melahirkan

Umumnya, tunjangan penuh dan berbagai fasilitas perusahaan dapat dinikmati karyawan yang sudah punya masa kerja minimal satu tahun. 

Namun, sekarang sudah banyak perusahaan yang berbaik hati. Asal si karyawan sudah melewati 3 bulan masa percobaan, mereka sudah jadi karyawan tetap yang dapat hak sama dengan karyawan lama.

Kemudian, kalau menerima karyawati yang sedang hamil, perusahaan wajib membayar penuh gaji saat si karyawati cuti melahirkan selama 3 bulan. Plus, perusahaan harus memberi tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap sesuai UU Ketenagakerjaan.

Hak yang diterima karyawati dengan kewajibannya dianggap belum seimbang karena masa kerjanya belum sampai satu tahun. Ini salah satu alasan banyak perusahaan tidak menerima calon karyawati yang sedang hamil.

Cuti hamil dan melahirkan (maternity leave) di Indonesia secara resmi diberikan selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan, berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Namun, hampir semua ibu hamil tidak mengambil cuti 1,5 bulan sebelum melahirkan. Mereka pilih cuti melahirkan akumulatif selama 3 bulan supaya bisa bersama buah hatinya lebih lama.

Waktu saya bekerja di Singapore-based office, cuti melahirkan cuma 1 bulan saja. Boleh ambil cuti sampai 3 bulan, tapi yang 2 bulan statusnya unpaid leave alias cuti tidak dibayar alias gak dapat gaji. Mungkin karena itu perusahaan startup jadi mereka menghemat pengeluaran.

3. Posisi atau jabatan yang ditempati karyawati akan cepat kosong lagi

Perusahaan merekrut karyawan baru karena ada posisi atau jabatan yang butuh pekerja. 

Mempekerjakan karyawati yang sedang hamil berarti, dalam waktu relatif singkat, posisi itu akan kosong lagi karena dttinggal karyawati yang cuti melahirkan. Kemudian, perusahaan akan butuh orang lain untuk sementara mengisi posisi itu. 

Pergantian karyawan dalam kurun waktu singkat akan menghambat efektivitas kerja di seluruh departemen.

Bagaimana kalau kita kepepet butuh pekerjaan karena gaji suami tidak cukup?


Pertama, tetap jujur saat wawancara kerja tentang kehamilan tersebut. Bila ternyata perusahaan punya kebijakan tidak menerima karyawati yang sedang hamil, maka berlapang dadalah. Keecwa dan sakit hati akan mempengaruhi kesehatan janin yang sedang tumbuh di rahim.

Kedua, cari pekerjaan di tempat lain walau levelnya lebih rendah. Jadi pegawai honorer di tata usaha sekolah, misalnya. Walau gajinya kecil, tapi pegawai tata usaha menerima gaji dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS) jadi bisa terima gaji tiap bulan tanpa dirapel.

Ketiga, beiwirausaha. Misalnya jualan makanan ringan yang ditawarkan lewat WhatsApp, Telegram, Instagram, atau Facebook. Bisa juga jadi reseller baju, asinan, sepatu, atau apa saja yang bisa dijual dan dapat untung.

Keempat, sebutuh-butuhnya kita cari kerja, ingatlah bahwa mencari nafkah itu kewajiban suami. Suamilah yang harus cari jalan keluar bagaimana supaya istrinya yang sedang hamil istirahat santai di rumah alih-alih pontang-panting cari kerja demi dapat gaji.

***

Selagi kamu masih berusia dibawah 29 tahun, menurut saya, sih, fokus dulu pada kehamilan dan kelahiran. Setelah bayi berumur 6 bulan, baru cari kerja lagi. Kalau kita sudah punya pengalaman yang bagus di tempat sebelumnya, insyaallah tidak sulit dapat kerja dan berkarir di tempat baru.

0 komentar

Posting Komentar