Sejarah Cina Dalam Dada Wanita


Diresensi oleh : Adi Toha

Judul : Big Breast and Wide Hips
Pengarang : Mo Yan
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penyunting : Anton Kurnia
Penerbit : Serambi Ilmu Semesta
Terbit : Maret, 2011
Kolasi : 15 x 23 cm; 752 halaman

Mo Yan adalah nama pena dari Guan Moye, penulis kelahiran Gaomi, propinsi Shandong, Cina, tahun 1955. Mo Yan, dalam bahasa Cina berarti “jangan bicara.” Dia dikenal sebagai salah satu penulis terkenal Cina yang karyanya paling banyak dilarang juga dibajak diantara semua penulis Cina. Guan Moye mengaku bahwa dirinya menggunakan nama pena Mo Yan untuk mengingatkan bahwa dia tidak boleh bicara terlalu banyak. Hal ini mungkin berkaitan dengan politik Cina yang membatasi kebebasan berpendapat warganya.


Pada beberapa novelnya Mo Yan banyak memasukkan unsur sejarah yang dibingkai dalam potret kehidupan masyarakat kelas bawah yang hidup pada hiruk-pikuk revolusi politik, industri dan kebudayaan Cina. Dalam ketidakbicaraannya Mo Yan telah menulis beberapa novel yang  mendapat pengakuan luas dari berbagai kalangan. Kenzaburo Oe, pemenang penghargaan nobel sastra 1994, dengan yakin mengatakan, “Saya akan memilih Mo Yan sebagai pemenang Hadiah Nobel Sastra jika saya diminta menjadi juri.”

Mo Yan mulai dikenal lewat novel keduanya yang berjudul Red Sorghum. Novel ini kemudian diangkat ke layar lebar dengan sutradara Zhang Yimou dan dimainkan oleh Gong Li pada 1987. Novel sekaligus film itu akhirnya melambungkan nama Mo Yan didunia sastra dan Zhang Yimou didunia film. Film tersebut mendapat penghargaan pada Festival Film Berlin (1988) dan Festival Film Montreal (1988). Red Sorghum berkisah tentang kehidupan tiga generasi sebuah keluarga dalam masa perang melawan Jepang pada 1937-1945.

Sedangkan novel ini, Big Breast and Wide Hips, adalah novel yang paling dijagokan Mo Yan. “Kalau mau, Anda boleh melewatkan novel-novel saya yang lain, tetapi Anda wajib membaca Big Breast and Wide Hips. Dalam novel ini saya menulis tentang sejarah, perang, politik, kelaparan, agama, cinta, dan seks,” demikian kata Mo Yan.
Novel ini pertama kali ditulis dalam bahasa Cina dan terbit pada 1996. Selanjutnya diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dan terbitkan pada 2004. Sekarang novel ini sudah terbit dalam Bahasa Indonesia.

Big Breast Wide Hips berkisah tentang pasang surut keluarga Shangguan—yang memiliki sembilan anakm diantaranya delapan perempuan dan satu laki-laki. Keluarga Cina itu hidup ditengah pasang surut revolusi politik dalam negeri dan perang dengan Jepang.

Big Breast and Wide Hips dapat dikatakan menjadi sebuah perayaan keperkasaan, kesabaran, dan kemenangan seorang perempuan dalam sebuah dunia yang didominasi oleh laki-laki.
Novel ini berkisah tentang Shangguan Lu atau Xuan’er, yang mulanya sangat diharapkan oleh paman dan bibinya akan mendapatkan suami yang terhormat, namun akhirnya menikah dengan seorang pandai besi.

Karena lama tidak memiliki keturunan Xuan’er mendapat perlakuan kasar dari ibu mertuanya karena dirinya dianggap tidak berguna. Tidak terima dengan perlakuan yang diterima keponakannya, paman dan bibi Xuan’er ingin membuktikan bahwa tidak ada yang salah dengan Xuan’er, melainkan justru suami Xuan’er, Shangguan Shouxi, yang mandul. Maka dimulailah petualangan Xuan’er dengan beberapa lelaki yang akhirnya menghasilkan delapan anak perempuan.

Dari hubungan dengan pamannya sendiri Xuan’er melahirkan Laidi dan Zhaodi. Dari pedagang itik keliling, dia melahirkan Lingdi. Melalui seorang dokter herbal lahirlah Xiangdi. Terlahir dari seorang jagal anjing dia hadirlah Pandi. Sementara anaknya yang bernama Niandi lahir dari seorang biarawan, Qiudi –anaknya yang lain– lahir dari hasil perkosaan empat tentara disertir. Kemudian berturut-turut lahir Yunu dan Jintong dari seorang pastor misionaris Swedia. Jintong satu-satunya anak lelaki. Dialah yang menjadi narator dari novel ini.     

Sebagai satu-satunya anak laki-laki, Jintong mendapat perlakuan istimewa dari ibu dan kakak-kakaknya. Jintong kecil diceritakan memiliki kelainan berupa obsesi yang berlebihan terhadap payudara  ibunya. Dia tidak pernah memberi kesempatan kepada saudara kembarnya untuk menyusu. Bahkan sampai berumur tujuh tahun satu-satunya yang masuk melalui mulutnya adalah susu ibunya. Jintong akhirnya menjadi pengamat yang peka terhadap payudara.

Menjadi ibu dari delapan anak perempuan dan satu anak lelaki yang memiliki kelainan memang sangat tidak mudah, apalagi dalam situasi politik yang tidak menentu selain ancaman perang juga kekerasan dan kelaparan. Namun  tidak membuat Xuan’er patah semangat. Kegigihan Xuan’er terlihat dari kehidupan anak-anak gadisnya menjadi kekasih atau istri dari para lelaki yang memiliki peran penting di kota Gaomi. Para kekasih dan suami anak-anak perempuan Xuan’er datang dari berbagai latar. Dari bandit, tentara, pemberontak, pejabat kota, pilot Amerika, sampai pendukung dan penentang revolusi.

Mo Yan mengolah peristiwa, kekerasan, dan tragedi yang terjadi diseputar keluarga Xuan’er apa adanya, tanpa bermaksud untuk membenarkan atau pun menyalahkan. Pada beberapa bagian, Mo Yan bahkan cenderung sarkastik dalam balutan selimut satir dan humor gelap.
Mitos bahwa seorang anak yang lahir di waktu istimewa akan menjadi seorang lelaki yang istimewa pula, dipatahkan oleh Mo Yan lewat nasib Jintong. Di antara semua lelaki yang berada dikeluarga Xuan’er, Jintonglah yang paling tidak berguna. Dia adalah sosok yang bisa dibilang pengecut dan pecundang, seorang psikosis akut yang terobsesi oleh payudara perempuan namun bukanlah don juan yang pandai merayu wanita. Hanya nasib baik dan keberuntunganlah yang pada akhirnya membuat Jintong berhasil merasakan ‘surga’, menyentuh dan dikelilingi ratusan payudara wanita. Dia menjadi Pangeran Salju dalam sebuah perayaan festival yang membuatnya bisa menyentuh ratusan payudara wanita demi memberkati payudara dan susu para wanita itu. Kelak dia menjadi pemimpin perusahaan produsen bra.

Sejarah Cina dibungkus dalam sejarah sebuah keluarga, itulah barangkali gambaran umum dari novel tebal ini. Berisi harapan-harapan, mimpi-mimpi, perjuangan dan kemelut keluarga dengan sosok seorang Ibu yang tangguh dan anak-anak yang tidak pantang menyerah menghadapi penderitaan—terkecuali Jintong. Tidak berlebihan jika Mo Yan menggadang-gadang novel sebagai jagoannya. Intensitasnya dalam membangun karakter tokoh-tokohnya, membuat karakter dalam novel ini kuat dan mengesankan.