E-Voting yang Belum Penting

Beberapa waktu lalu sejumlah pihak diantaranya Hamdan Zoelva (Hakim Mahkamah Konstitusi), Ganjar Pranowo (Wakil Ketua Komisi II DPR), Abdul Azis (Anggota KPU), Bambang Eka Cahya Widodo (Anggota Bawaslu), Hammam Riza (Direktur Pusat Teknologi Informasi BPPT), dan Peter Erben (Country Director IFES Indonesia), menggulirkan kembali wacana electronic voting atau E-Voting untuk pemilihan umum.

E-Voting diyakini akan menghemat biaya karena tidak perlu mencetak surat suara, penghitungan suara lebih cepat, dan sederhana.

Ah, benarkah se-simple itu pelaksanaan E-Voting? Bagaimana dengan hacker dan cracker yang nanti akan masuk ke sistem Pemilu E-Voting dan mengacak-acaknya? Indonesia punya banyak hacker dan cracker lho! Bahkan dulu pernah hacker dari Indonesia masuk ke sistem keamanan FBI di Amerika sana.
Kemudian bagaimana kalau E-Voting dimanfaatkan pihak tertentu untuk curang dan memanipulasi sistem supaya kelompoknya menang? Pada Pemilu 2009 lalu yang "hanya" menggunakan E-Counting, kecurangan penghitungan diduga terjadi untuk memenangan pasangan calon presiden tertentu. Penghitungan manual diyakini relatif bebas kecurangan meskipun makan waktu lama.


Meskipun secara kasat mata E-Voting memberi kemudahan, tapi belum tentu aman. Calon tertentu bisa membayar konsultan teknologi informasi dari luar negeri untuk  "mengobrak-abrik" sistem E-Voting dan memenangkan diri atau kelompoknya -tanpa ketahuan dan tak bisa dijerat melanggar Pemilu.

Lalu, infrastruktur untuk membangun E-Voting pasti sangat mahal lho!  Ada perangkat elektronik dan koneksi internet yang harus disiapkan. Saya kurang paham perangkat apa saja, yang jelas, secara sederhana, kalau kita mau berlangganan internet di rumah kita harus mendaftar ke internet provider untuk disediakan jasa koneksi internet. Kita juga butuh modem (harganya bisa jutaan), dan software yang dipasang di komputer untuk menangkal virus dan malware yang kerap datang ketika kita berselancar di internet.

Kalau kita akan memasang internet di kantor, peralatan yang diperlukan lebih banyak lagi karena butuh yang namanya router, jaringan local area network,  hub, biaya langganan internet yang lebih mahal dibanding pelanggan rumahan, dan tentu harus mempekerjakan orang untuk mengurus jaringan komputer dan internet.

Melihat hal itu kalau kita mau menggunakan E-Voting untuk Pemilu pasti lah besaarrr sekali biayanya. Bukan cuma biaya infrastruktur tapi biaya sosialisasi. Yang harus diperhatikan Indonesia ini wilayahnya sangat luasss, semua wilayah harus dapat infrastruktur dan sosialisasi yang sama, bukan cuma di wilayah tertentu saja.

Lalu, YANG PALING PENTING, untuk melaksanakan E-Voting rakyat Indonesia harus melek teknologi dulu. Bagaimana memungut suara secara E-Voting kalau rakyat tidak tahu bagaimana cara memberi suaranya? Banyak rakyat Indonesia yang makan saja masih susah, apalagi memakai internet. Kalaupun  ada klaim Indonesia adalah pengguna Facebook terbesar ke-7 di dunia, itu bukan tolok ukur rakyat melek teknologi. Di Indonesia, satu orang bisa punya lebih dari 3 akun Facebook, plus seorang ibu sering membikinkan akun untuk anaknya tak peduli anak itu baru berumur 6 bulan.

Dan, nyaris saya lupa, Indonesia sebelumnya harus lebih dulu menyusun undang-undang Pemilu yang baru tentang sistem Pemilu E-Voting ini. Tahu sendirilah undang-undang di negeri ini bisa dibuat sesuai kepentingan tertentu tergantung isi kocek untuk membayar anggota DPR.

Dan pada akhirnya sebelum rakyat dicekoki oleh teknologi alangkah bahagianya kalau mereka disejahterakan dulu. Murahkan harga bahan pokok,  mudahkan mereka berobat ke fasilitas kesehatan, gratiskan sekolah negeri,  sediakan lapangan kerja, dan benahi data kependudukan, dalam arti 1 orang cuma bisa punya 1 NIK. Kalau rakyat kenyang, sehat, dan pandai mereka pasti akan mudah menerima teknologi sepanjang hal itu berguna untuk mereka.

Jadi, kalian para tokoh yang merasa pintar dan pandai, tolong hentikan melempar wacana yang masih jauh dari realita.

0 komentar

Posting Komentar