Cerpen: Pejuang Alas Kaki
Pejuang Alas Kaki
Karangan Ayunda Christina
Helai demi helai daun jati berjatuhan menimpa kaki Ratri yang tidak beralas. Anak kecil itu tertawa tertahan melihat kakinya sendiri. Butiran-butiran pasir tanah menyempil diantara kuku-kukunya yang berantakan. Lembaran uang seribu-dua ribu yang dia kumpulkan dari hasil memandu-parkir kendaraan lapangan Pasar Buah dekat rumahnya belum juga cukup untuk membeli alas kaki yang dia inginkan.
Ratri tetap bersabar. Dia tidak sendiri. Ida, tukang semir sepatu yang biasa mangkal di Pasar Buah pun rela bertahan dengan sandal jepit yang sudah putus. Ida mengaitkan sandal itu dengan peniti dan bertahan tidak membeli yang baru demi membeli sepatu yang diinginkannya di Pasar Besar dekat terminal.
Layaknya anak-anak miskin lainnya, mereka terkadang ingin memakai sesuatu yang bagus seperti yang dipakai orang kaya.
Hari sudah menjelang malam dan azan maghrib berkumandang sahut-menyahut dari berbagai penjuru. Namun, parkiran belum juga ramai, malahan lebih banyak pejalan kaki yang datang. Ratri belum berhasil membeli sandal impian yang dia lihat di etalase toko Pasar Besar di lantai dua.
Dalam benak kanak-kanak Ratri yang terbiasa menahan keinginan yang tak tersalurkan, belum tersampainya punya sandal adalah sebuah kewajaran dalam hidupnya.
Ratri tetap bersyukur karena diberi tubuh yang sehat dan kuat untuk bekerja dari pagi sampai malam, walau tanpa makan siang.
Dengan langkah lemas, Ida datang menghampiri Ratri yang tengah merapikan sambil menghitung uang yang diterimanya hari itu. Ida tidak langsung menyapa, ia menunggu Ratri beres menghitung uangnya agar tidak salah hitung. Ida hanya berdeham sedikit, memberi tanda bahwa dia ada disitu.
Ratri menoleh sebentar lalu menghitung lagi uangnya. Sambil menunggu Ratri, Ida memperbaiki peniti yang hampir terlepas dari sandal jepitnya. Keadaan sandal Ida semakin memprihatinkan. Mata Ida berkaca-kaca meratapi nasib kakinya yang tampak jelek.
“Langsung pulang?” tanya Ratri memandangi langit gelap.
“Aku pulang besok pagi, uangku belum cukup, siapa tahu nanti malam banyak yang pengajian di Masjid Gede," jawab Ida.
“Kamu mau ngemis?!”
“Mau markir kayak kamu, kamu mau ikut enggak? Nemenin aku," ujar Ida lagi.
Ratri terdiam dan mulai memikirkan tawaran memarkir kendaraan rombongan ibu-ibu yang biasanya ramai mengaji di Masjid Akbar dekat pasar.
Masjid Akbar lebih sering disebut Masjid Gede oleh orang-orang sekitar pasar karena luas dan besar. Tiap malam Jumat sering digunakan oleh ibu-ibu pengajian yang datang dari berbagai daerah, untuk mendengar tausiah atau kajian agama. Jumlahnya tidak menentu, kadang banyak kadang sedikit, tapi cukup bagi Ratri dan Ida untuk menambah penghasilan.
Mereka sudah tidak lagi mementingkan rawannya malam bagi anak perempuan. Impian mereka lebih besar dari ketakutan. Bahkan rasa lapar tidak mereka hiraukan hingga hilang dengan sendirinya. Di benak mereka hanyalah alas kaki yang akan membuat penampilan mereka sedikit naik derajat.
Dengan kedua tangannya yang mungil, Ratri menggenggam tangan Ida yang tak kalah mungil.
“Ya, aku ikut," Ratri menerima tawaran Ida.
Mereka bergegas ke masjid.
“Kamu mau ikut menginap di mesjid, enggak?” tanya Ida lagi yang dijawab Ratri dengan anggukkan riang.
Ida menarik tangan Ratri sambil berlari cepat ke arah masjid.
Ratri mulai merasa lemas dan berpikir untuk mengemis sebentar demi mengisi perutnya yang sedang menjerit.
Sementara Ida membantu tukang parkir di jalan keluar masjid, Ratri yang sudah sangat kelaparan menghampiri beberapa jamaah yang baru selesai salat Maghrib. Tidak berapa lama, Ratri selesai dan menemui Ratri sedang berada di samping seorang ibu berkerudung merah.
“Ratri?!”
Ratri kagok karena merasa tidak enak terpergok sedang minta uang.
“Maaf, Da, aku lapar. Aku enggak mau pakai uang ini, nanti enggak bisa beli sandal yang di pasar itu. Aku terpaksa ngemis dulu, cuma buat makan sekarang kok.”
Ratri menghitung hasil minta-mintanya, lalu membaca daftar menu warung mi ayam yang tertempel di pohon jati tempat Ida bersandar.
Ida hanya memperhatikan gerak-gerik Ratri yang memang terlihat sangat kelaparan.
Ratri menghitung lagi jumlah uang yang ada digenggaman tangannya.
“Aku kelaparan, Da, kamu ada uang buat makan? Kalau enggak ada aku traktir. Mas-mas di masjid hari ini baik-baik, ada yang ngasih lima ribu! Kita makan mi ayam, yuk!”
Ida menelan ludah saat ditawari mi ayam. Takbisa berkata-kata karena terharu mendapat tawaran makan gratis mie ayam yang terkenal enak di daerah mereka bekerja, yang biasa hanya dipandanginya saja sambil mengucap istighfar, kini bisa Ida makan dengan cuma-cuma.
Dengan langkah pasti, Ratri menarik tangan Ida menuju warung mi ayam impian yang sudah sejak lama ditandai dalam hati.
“Kita harus makan enak sesekali, Da, kita sudah bekerja keras.”
Ratri menggenggam tangan Ida keras-keras, meyakinkan Ida bahwa makan enak adalah hak bagi mereka berdua.
“Iya, hidup kita selama ini susah ya, Tri…”
Ratri mendekati penjual mi ayam di luar warung yang sedang memasukkan potongan dadu daging ayam berbumbu ke dalam mangkuk besar yang tersembul dua bakso besar di dalamnya.
Ratri tidak bisa lagi menahan gejolaknya untuk melahap apa yang dilihatnya. Mata Ratri jelalatan mencari daftar harga seperti yang dia lihat di pohon tadi karena dia lupa berapa harga semangkuk mi ayam bakso. Dalam hati Ratri yakin jika dalam menu tadi, harga termahal seharga lima belas ribu.
Ratri menghitung cepat untuk membelikan Ida. Andai uangya kurang, terpaksa Ratri akan ambil dari uang tabungan sandal impiannya. Dia sudah berjanji mentraktir sahabatnya untuk makan enak bersama.
“Yang seperti itu dua ya, Pak," tunjuk Ratri ke arah mangkuk mi ayam yang barusan dibuat si penjual.
Ratri malu untuk menanyakan harga, sedari tadi pengunjung lain hanya memesan tanpa menanyakan harga lebih dulu.
Malam semakin dingin. Ratri memesan segelas teh hangat. Entah berapa harga minuman di warung mi ayam ini. Menu yang dilihat di pohon tadi tidak menampilkan harga minuman.
Ratri membuat kepalan tangan dengan isyarat orang minum kepada Ida, pertanda menanyakan Ida mau minum apa.
“Yang anget-anget saja, aku kedinginan," ujar Ida.
“Mau teh atau jeruk?”
“Terserah, samain kamu, saja.”
“Pak, pesan satu jeruk anget, satu teh anget.”
“Kok beda-beda?” tanya Ida.
“Enggak apa-apa, aku juga bingung mau pesan apa. Nanti kita saling icip minuman saja.”
Setelah lima menit menunggu, dua mangkuk mi ayam datang dengan aroma gurih kaldu menguar di hidung Ratri dan Ida..
“Makasih, ya, Pak,” ucap Ratri lembut, menirukan gaya mbak-mbak cantik yang duduk di seberang mejanya.
Ida masih takpercaya dengan apa yang dilihatnya di depan mata. Perlahan diambilnya mangkuk miliknya. Dihirupnya kepulan uap panas mi yang menari-nari didepan hidungnya, lalu secepat kilat dia menyambar mi, bakso, dan daging ayam, lalu memasukkan ke dalam mulut dalam satu suapan.
Rasa bahagia tak terkira bagi Ida kala bisa menyantap mi ayam lezat dengan cuma-cuma. Bibirnya tak lagi pucat, malahan kini sedikit berminyak.
“Alhamdulillh, makasih, ya, Tri.”
Ratri membuka dompet usangnya yang ditimpali oleh Ida, “Tri, kalau enggak cukup nanti aku tambahin.”
Ratri sedikit gengsi dibantu Ida. Dia sudah menyiapkan uang untuk menambah andai uangnya kurang.
“Tenang, aku sudah hitung, kok, enggak usah dipikirin," ucap Ratri lagi.
Sambil meletakkan gelas jeruk panas yang tinggal setengah ke atas meja, Ratri memperhatikan pelanggan yang sedang membayar di meja kasir. Dari apa yang dia dengar, total pembayarannya sekitar dua puluh delapan ribu.
Mas yang itu pesannya mi ayam bakso sama es jeruk enam belas ribu. Kita berdua enggak pakai es mungkin enggak sampai tiga puluh ribu, pikir Ratri.
Dua yatim piatu itu kini mendatangi meja kasir dengan langkah bangga.
“Dua puluh delapan ribu, Mbak," kata bapak penjaga kasir
“Ini, Pak,” Ratri menyerahkan uang pas kepadanya.
“Alhamdulillah, ya, Tri, kamu dapat rezeki hari ini buat kita makan enak,” kata Ida yang membuat Ratri tersenyum bangga.
“Kita harus berdoa dan berusaha terus, Da. Semoga besok kita bisa beli sandal dan makan enak.”
Lega rasanya Ratri bisa memanjakan perutnya.
“Kita ke masjid, yuk!” ajak Ida tidak sabar menunggu kedatangan ibu-ibu pengajian.
Pucuk dicinta ulam tiba, serombongan ibu-ibu berseragam hijau dengan empat mobil datang memasuki masjid.
Ratri mulai menyiapkan wadah uang dari kain perca yang dijahit seadanya menyerupai kantong belanja ukuran kecil. Bersama Ida dia membantu tukang parkir masjid merapikan motor-motor di tempat parkir. Mereka lalu menunggu ibu-ibu pengajian pulang mengambil motor dan membayar mereka.
Sambil menunggu, Ida berkata kepada Ratri, "Kalau aku sudah beli sepatu, aku cari uang buat traktir kamu makan di situ,” Telunjuk kecilnya menunjuk brosur makanan yang bertuliskan ‘Gratis bakmi goreng untuk kaum dhuafa.’