Terpenjara di Sekolah

Sekolah dasar swasta di Jakarta saya ketahui jam belajarnya sampai jam tiga atau empat sore lalu dilanjutkan dengan ekstrakulikuler sampai jam lima sore. Sabtu dan Minggu mereka libur. Pun demikian dengan beberapa sekolah negeri.

Sementara itu, di Amerika Serikat, yes USA, jam belajar SMP – SMA rata-rata mulai 07.30 dan berakhir pada 13.30 lalu dilanjutkan ekstrakulikuler sesuai minat siswa. Ada lima belas menit yang disediakan sekolah untuk jam istirahat pertama dan tigapuluh menit untuk istirahat makan siang. Ketika jam mata pelajaran berakhir ada istirahat lima menit sebelum memulai mata pelajaran berikutnya.

Lho, kok membandingkannya dengan Amerika sih? Jauh banget! Yaaa, orang kita kan masih Amerika-minded, apa-apa yang datang dari Amerika dianggap wow. Jadi sekalian saja perbandingannya dengan Amerika Serikat.

Karena sekarang saya tinggal di Magelang, bukan Amerika, maka kita lihat sekolah di sini. Semua sekolah, swasta dan negeri, punya jam belajar sampai Sabtu.  Pada SD – SMP Islam favorit (favorit ya, bukan unggulan), jam belajar mulai 7.00 sampai 15.30 WIB dari Senin – Sabtu. Resminya jam belajar sampai pukul dua siang lalu lanjut dengan materi agama Islam dan ekstrakulikuler. Jam belajar seperti ini cocok untuk anak yang kedua orangtuanya bekerja full time. Tapi buat saya, yang lebih mementingkan kecerdasan otak daripada nilai akademik, jam belajar seperti itu sungguh menyiksa anak.

Memang di sekolah mereka diajarkan banyak hal, kegiatan ekstrakulikulernyapun beragam dari hafizd Alquran, robotik, sampai mata pelajaran olimpiade MIPA.

Bagus sekali, bukan? Agama pintar, mata pelajaran umumpun pandai.

However, kegiatan anak hanya berkisar di sekolah dan bergaulnya dengan teman yang itu – itu saja. Apabila anak – anak saya minat dengan, misal, bermain piano atau biola atau olahraga lain yang tidak ada dalam ekstrakulikuler, bagaimana menyalurkannya? Jam belajar di sekolah sudah tidak memungkinkan mereka untuk berkegiatan di luar sekolah dan mengenal orang lain selain lingkup sekolah. Belum lagi kalau mereka harus mengerjakan PR, berarti jam belajar mereka bertambah. Kreativitas mereka hanya berdasarkan apa yang diatur oleh sekolah.

Kenyataan lain adalah, banyak ilmu yang dipelajari di sekolah kurang berpengaruh pada dunia kerja atau wirausaha.

Bila kurikulum pendidikan diubah dengan orientasi kekinian yang mengutamakan stimulasi bakat dan minat anak, mungkin saja jam belajar yang gila – gilaan itu berguna. Tapi itu tidak mungkin. Mustahil dalam satu lingkungan sekolah untuk mengakomodir satu persatu minat dan bakat anak didik yang jumlahnya ratusan. Maka solusinya adalah perpendek jam belajar di sekolah dan biarkan anak dengan bimbingan orangtuanya mengeksplorasi bakat dan minat mereka di tempat yang sesuai.

Coba lihat jam belajar di Amerika tadi. Itu negara maju tapi kenapa jam belajar di sekolahnya tidak segila di Indonesia? Itupun sekarang ini ada gerakan untuk memundurkan jam sekolah menjadi lebih siang (dengan jam pulang yang tidak berubah) agar anak – anak sekolah punya waktu tidur malam yang cukup.

Tapi, kenapa orangtuanya harus capek – capek membimbing dan mengajari anak lagi, kan sudah bayar ke sekolah?

Simple, itu anak kita, pendidikan anak terutama ada pada orangtuanya. Saat mereka bayi, balita, dan sebelum memasuki usia sekolah anak – anak lebih dulu bergaul dan berinteraksi dengan orangtuanya di rumah. Kecuali si orangtua super-duper sibuk dan hanya menyerahkan si anak kepada pengasuh berbayar, itu lain soal.

Anak cerdas dan pintar itu bukan diukur dari seberapa bagus nilai rapor mereka, tapi bagaimana mereka paham apa yang sedang mereka kerjakan ketika melakukan sesuatu.
Anak soleh juga bukan diukur dari berapa banyak hapalan Alquran mereka, tapi bagaimana mereka menghormati orang lain dan memperlakukan orang lain secara proporsional.

1 komentar


EmoticonEmoticon