Cerpen: Semangkuk Sup Hangat
Semangkuk Sup Hangat
Pengarang: Inong Islamiyati
Aku suka sekali sup buatan ibu. Ibuku pandai memasak dan masakan ibu yang sangat aku sukai adalah sup sayur spesial.
Aku ingat saat pertama kali makan sup spesial itu. Hari itu adalah hari kepergian ayah, aku menangis dalam selimut karena tidak percaya ayah telah pergi meninggalkan kami. Kakakku, Nara, berulang kali membujuk aku untuk makan, tapi aku tidak mau.
“Sudah, Nara, biar Ibu saja,” kata Ibu, “Nara tunggu di meja makan saja, ya."
Di atas meja sudah ada semangkuk sup sayur dengan tambahan makaroni dan sosis ayam. Hangat. Rasanya enak sekali. Aku sampai ingin menangis karena teringat Ayah sekaligus merasakan kelezatan yang penuh kasih sayang dari Ibu.
“Nayla tenang saja, ya. Ayah justru akan sedih kalau Nayla sedih. Makan yang banyak dan belajar yang rajin supaya Ayah bangga. Bagaimana supnya? Enak, kan?” tanya Ibu.
“Iya, Ibu, enak sekali.”
Ibu adalah orang yang berharga bagiku dan Kak Nara. Ibu menghidupi keluarga kami dengan berjualan kue keliling dan menjadi buruh cuci-setrika baju para tetangga.
Kami sebagai anak tentu tidak ingin mengecewakan Ibu. Berkat usaha keras ibu, Kak Nara berhasil lulus kuliah dan mendapat pekerjaan di BUMN terkenal. Kebetulan aku mendapat beasiswa untuk kuliah di kota yang sama dengan kantor Kak Nara bekerja.
Kami sering mengajak Ibu untuk tinggal bersama, tapi Ibu selalu menolak.
“Kalian saja yang tinggal di kota. Ibu ingin menjaga rumah peninggalan ayah kalian ini. Lagi pula Ibu lebih senang di desa,” ujar Ibu dengan nada penuh keyakinan.
Akhirnya kami pergi meninggalkan Ibu. Saat libur kuliah atau long weekend, aku selalu menyempatkan diri pulang ke rumah Ibu. Setiap kali pulang, aku selalu rindu sup buatan Ibu. Sup hangat yang menyemangati aku. Walaupun aku selalu berusaha membuat sup itu sendiri, cita rasanya tidak seenak buatan Ibu.
Empat tahun berlalu, aku membawa kabar gembira kalau aku mendapat pekerjaan di perusahaan keuangan di Jakarta. Aku tidak sabar memberi kejutan untuk Ibu. Maka setelah berkemas aku pulang kampung. Seperti biasa Ibu memeluk aku erat dan mencium pipiku.
“Ibu sehat?” tanyaku sambil menaruh berbagai oleh-oleh di atas meja makan.
“Alhamdulillah sehat, Nak. Kamu belum makan ya? Makan sup buatan ibu dulu, ya. Tetapi, maaf Nayla sayang, Ibu mau istirahat sebentar. Hari ini Ibu lelah sekali,” kata Ibu.
“Iya, Ibu, tidak apa-apa," jawabku.
Aku memperhatikan Ibu dari belakang. Tampak punggungnya sudah agak membungkuk. Aku memperhatikan sekeliling dan tampak kalau rumah ini kurang bersih.
Yang mengejutkan, sup spesial buatan Ibu ini terasa hambar. Mungkin Ibu benar-benar lelah, bahkan untuk memasak sup saja beliau kelelahan.
Aku baru menyadari Ibu semakin menua. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkan Ibu sendirian?
Seketika aku bimbang. Tetap mengambil pekerjaan di Jakarta atau kembali ke desa menemani Ibu. Ibu bilang Ayah pasti bangga kalau aku sukses, tapi kalau sukses itu diraih dengan membiarkan Ibu rasanya aku tidak sanggup.
Malam menjelang, Ibu yang sudah terbangun duduk bersamaku di ruang tamu.
“Kapan kamu wisuda, Nayla?”
“Minggu depan, Bu. Ibu bisa datang, kan?”
“Iya, Ibu akan datang. Ngomong-ngomong kamu nanti mau kerja apa, dengan nilaimu itu Ibu yakin kamu akan dapat pekerjaan bagus di kota.”
Aku menggeleng, “Nayla mau bekerja di sini saja, Ibu. Nayla mau bersama Ibu.”
“Kamu yakin,Nayla? Sayang, lho, nilaimu itu.”
“Bu, bagi Nayla pekerjaan manapun akan jadi yang terbaik bagi Nayla. Sekarang bagi Nayla yang penting adalah menjaga Ibu. Ibu sudah berjuang keras menghidupi Nayla dan Kak Nara. Biarkan Nayla sekarang yang merawat Ibu.”
Ibu memeluk aku dari samping. Hangat dan erat. Aku tidak menyesal menolak tawaran pekerjaan itu. Yang penting bagiku sekarang adalah menjaga Ibu. Karena Ibu telah memberikan aku kasih sayang yang hangat. Sehangat sup buatannya.
***
Inong Islamiyati tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan. Visinya saat ini adalah "life with a miracle".
Cerpen: Raden Mas
Semua orang Jawa tahu kalau ada yang punya nama depan Raden Mas berarti termasuk bangsawan. Raden Mas muda yang sedang duduk tepekur di halaman rumahnya ini keturunan keluarga keraton Solo dari garis ayahnya.
Ibunya kebetulan juga masih berdarah bangsawan Bali. Jadi, darah Raden Mas mungkin berwarna biru kental, bukan sekedar darah biru.Raden Mas memandangi bergantian pohon pepaya, mangga, dan rambutan sambil menghisap rokok lalu menghembuskan asapnya sampai asap itu memendar dan hilang.
Tetangga satu dusunnya ada yang ketiban rejeki dapat duit ratusan ribu dari hasil beli kupon berhadiah. Raden Mas kepingin juga, apalagi warungnya sepi terus. Pembeli setianya cuma dua keponakan istrinya yang rumahnya sepelemparan batu dari warungnya.
Warung kecil Raden Mas menjual alat tulis, rokok, dan sembako. Menyediakan pula aneka minuman dan mi instan untuk santap di tempat. Tapi tidak setiap hari ada yang beli. Jadi waktu ada tetangganya yang cuma modal dua puluh ribu dapat untung jadi tiga ratus ribu, Raden Mas kepingin juga.
Kala menikmati bulan madu bersama istrinya, Raden Mas berbangga hati karena tidak keluar duit seperak pun waktu menikah. Mas kawin dibeli istrinya, seserahan disediakan ibu tirinya, katering dan sewa macam-macam untuk pesta diadakan oleh kakak dan adik istrinya.
Raden Mas juga bangga karena hampir semua keluarga mertuanya kagum padanya yang ningrat. Lebih kagum lagi pada kemampuannya mengobati orang yang kena ilmu hitam.
Sayangnya, sekarang orang yang berobat padanya sudah tidak ada. Semua orang punya BPJS dan yang tidak punya pun memilih ke puskesmas atau mantri.
Meski yakin keluarga mertuanya masih kagum padanya dan mau melayani hajat hidupnya, tapi Raden Mas merasa perlu punya duit dari hasil usaha sendiri. Warung yang dia punya ini modal dari duit istrinya.
Maka pergilah Raden Mas ke orang yang menjual kupon berhadiah. Dibelinya empat kupon seharga empat puluh ribu yang uangnya diambil dari laci warung. Kalau tembus dia yakin bakal dapat lima ratus rib.
Sepulangnya dari beli kupon berhadiah, Raden Mas duduk tekun di warungnya. Dia merapalkan doa-doa dengan maksud supaya kupon yang dibelinya menang hadiah.
Rapalan demi rapalan meluncur deras dari bibirnya. Sampai istrinya pulang dari kantor pun dia masih merapal. Raden Mas berhenti merapal karena lapar. Dilahapnya udang goreng tepung beserta nasi panas yang disiapkan istrinya. Lalu kembali dia merapal doa-doa sampai tengah malam.
Hari yang dinanti pun tiba.
Raden Mas berjalan cepat-cepat ke rumah penjual kupon berhadiah yang kebetulan masih satu dusun dengannya. Di sana sudah ada lima orang yang juga menanti peruntungan.
Benar saja. Rapalan doa-doanya jitu!
Raden Mas menang besar. Keempat kuponnya dapat hadiah dan ternyata dia bukan hanya dapat lima ratus ribu, tapi satu juta rupiah!
Girang betul Raden Mas sampai diajaknya lima orang yang ada dirumah penjual kupon itu minum kopi dan makan mi rebus di warungnya saat itu juga.
Namun, Raden Mas merasakan keanehan ketika sampai di warungnya. Dia memanggil pembantunya. Ditanyanya dalam bahasa Jawa ngoko dimana motornya kepada mbok pembantunya itu.
Pembantunya menjawab berulang-kali, "Nyuwun pangapunten, kulo wau nembe isah-isah piring wonten wingkeng, mboten midanget wonten swara motor," dengan wajah pucat takut kena damprat.
Raden Mas tambah mangkel campur lemas setelah mengetahui bahwa lima slop rokok dan dua renceng kopi instan di warungnya ikut lenyap. Mbok pembantu menangis sambil minta ampun sejadi-jadinya karena takut dituduh atau dianggap sekongkol dengan pencurinya.
Perasaan Raden Mas campur aduk. Dia sepenuhnya lupa pada duit satu juta rupiah yang menggembung di saku celana pendeknya.
Raden Mas duduk tepekur di halaman rumahnya sembari menunggu istrinya pulang kerja. Istrinya harus diberitahu bahwa motor yang dicicil dari gaji istrinya itu hilang digondol maling.
Cerpen: Bunga Tidur Bersama Morgan
Mengingat banyak kata kunci (keyword) "cerpen romantis" yang datang ke emperbaca.com, maka untuk memenuhi "hasrat" warganet yang menggemari cerita romantis, emperbaca.com tuliskan cerpen berjudul Bunga Tidur Bersama Morgan.
Dijamin sambil baca hatimu juga ikut berbunga-bunga. Cerpen ini bukan cerita Islami, juga bukan kisah cinta ala Korea dan Barat, jadi selamat menikmati!
Lita mematut diri didepan cermin untuk memastikan celana panjang twillnya yang berwarna khaki cocok dipadukan dengan kaos lengan panjang hijau. Lita sengaja menggerai rambutnya yang sebahu tanpa ikat rambut atau bandana supaya lebih santai untuk berangkat ke workshop pengembangan diri yang bernama The New You.
Nama yang konyol, sekonyol workshop itu sendiri. Lita tidak butuh dirinya jadi baru atau sesuatu yang baru untuk mengubah hidupnya. Hidupnya sudah nyaman dan enak dinikmati. Mengapa harus jadi new me?
"Lita! Sudah siap, belum?" Sudah waktunya berangkat!" panggil Mia dari bawah tangga.
"Ya, sebentar," jawab Lita. Karena benar-benar tidak suka dengan workshop yang konyol itu, Lita hampir lupa kalau Mia menginap di rumahnya. Mialah yang memaksanya ikut.
Kata Mia, Lita terlalu kaku sampai tidak pernah naksir-naksiran dengan laki-laki sepanjang usianya yang sudah 21 tahun. Itu karena Lita baperan, menurut Mia, jadi perlu ikut workshop untuk mengubah cara pandangnya terhadap dunia. Bah!
Lita menyeret kopernya turun dari kamar dengan enggan. Dia menemui Mia di ujung tangga. Pipi sepupunya yang kuliah satu kampus dengannya itu tampak berkilat-kilat dibaluri shimmer senada dengan warna kerudung peraknya.
"Kau dandan?" tanya Lita.
Mia melewati Lita menuju ruang tamu sambil melenggang centil. "Iya, cantik, kan?" katanya sambil mengibaskan rok yang dibalas Lita dengan gelengan kepala.
"Buat apa dandan cuma buat workshop?"
"Buat menunjukkan kepribadianku yang cantik," jawab Mia yang lalu ikut menyeret kopernya dari ruang tamu ke carpot. Koper Mia lebih besar dari koper kabin Lita sehingga dia agak kesulitan mengangkatnya untuk dimasukkan ke bagasi mobil.
Setelah pamit kepada orang tua Lita, dua gadis itu berangkat ke wisma milik Kemenakertrans di Lembang, tempat workshop diselenggarakan.
Butuh lebih dari tiga jam perjalanan dari Jakarta karena Mia menolak Lita mengemudikan sedannya. Lita bisa membahayakan nyawa karena selalu ngebut, sementara Lita menganggap Mia terlalu lambat, padahal transmisi matic sangat mudah dikendarai daripada manual.
Wisma itu bersih. Meskipun belum ramai, sudah ada serombongan mahasiswa berjaket almamater krem yang sedang memilih kamar. Mia dan Lita menempati kamar paling pojok yang menghadap ke arah kolam ikan besar.
"Kamar mandinya tidak ada toilet?! Lalu di mana kita harus kencing dan buang air besar?!" Lita terperanjat setengah geram mengingat dia sering bangun tengah malam untuk buang air kecil.
Mia mengangkat bahu, "Mungkin di luar ada toilet," katanya sambil mengeluarkan isi koper untuk dirapikan ke dalam lemari.
Lita keluar kamar. Tidak ada petunjuk atau papan yang menunjukkan letak toilet.
"Mas, toiletnya sebelah mana, ya?" tanya Lita pada seseorang berkaus seragam biru yang dia kenali sebagai panitia workshop.
Lelaki berseragam biru itu menunjukkan arah toilet yang terletak di belakang aula pertemuan.
Kenapa toiletnya jauh banget, Lita mengumpat dalam hati. Tiba-tiba matanya membelalak dan mulutnya memekikkan sebuah kata, "Morgan?!"
Lelaki berkaus biru itu membalas, "Ya? Ada yang bisa dibantu?"
"Kamu petugas workshop?""
Lelaki yang dipanggil Morgan itu mengangguk, menunjukkan ID Card didadanya yang bertuliskan nama "Morgan" diatas kata "Panitia".
Lita ingin bertanya lagi, tapi kandung kemihnya hampir bocor. Dia lari ke arah yang ditunjukkan Morgan untuk menuntaskan hajatnya.
Beruntung bagi Lita yang tidak perlu mencari keberadaan Morgan selepasnya ke toilet. Lelaki itu berada sendirian di aula sedang mengetikkan sesuatu di laptop.
"Morgan," panggil Lita setengah ragu setengah penasaran, "Boleh saya tanya sesuatu?"
Morgan tersenyum, "Gimana rasanya punya nama yang sama dengan eks personil boyband SMASH?" Morgan seolah membaca pikiran Lita. Dia berdiri, bersedekap, kemudian tertawa. "Aneh, ya?"
"Err..." Lita bingung harus menimpali atau tidak karena yang ditanya sudah tahu apa yang akan ditanya. Bukan cuma namanya, kok bisa, sih, wajahnya juga mirip banget, batin Lita.
"Kenapa bisa jadi panitia workshop?"
"Kenapa tidak?" Morgan duduk lagi dan melanjutkan urusan pada laptopnya. Lita ingin pamit kembali ke kamarnya, tapi Morgan keburu menanyainya.
"Namamu siapa?" tanyanya sembari mengurutkan daftar hadir.
Lita menjawab namanya dengan lengkap kemudian menyebut nama lengkap Mia.
"Punya pacar?"
"Heeh...?!" Lita terperanjat ditanyai perkara pribadi macam itu oleh orang tak dikenal yang nama dan wajahnya mirip selebriti.
Morgan kembali tersenyum melihat Lita yang salah tingkah.
“Kalau Mia itu siapa?"
"Sepupu."
"Lebaran kemarin pulang kampung?"
Lita menggeleng, "Tidak punya punya kampung," merasa dirinya mulai santai dan ingin terus ngobrol dengan Morgan. "Kamu pulang kampung?"
“Enggak, mama-papaku yang kesini, ke Bandung,” jawabnya singkat.
"Mama-papamu tinggal di mana?"
"Singkawang."
Lita membelalak lagi, "Kok sama kayak Morgan SMASH?!"
"Aku juga Morgan."
Lita jadi bingung sekaligus gugup. Dia terus-terusan meyakinkan dirinya kalau ini bukan prank dan tidak ada kamera dipasang diam-diam untuk merekam reaksinya bertemu dengan orang yang mirip Morgan. Jangan-jangan dia Morgan betulan yang pura-pura jadi orang lain untuk acara jahil di YouTube.
Mata Lita jelalatan mencari kemungkinan letak kamera disembunyikan.
“Kita selfie, yuk! Mana handhonemu?” Lita masih gugup dan tidak menyadari permintaan Morgan. Morgan harus minta dua kali kepada Lita untuk mengambil ponselnya.
"Di kamar, aku tidak bawa HP."
"Ya sudah, pakai handphoneku saja," kata Morgan mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
“Sini, Lita. Smile!” Morgan menyorongkan tubuhnya agar lebih dekat ke Lita.
Lita mendekat dan berdiri di samping kiri Morgan sampai dia menyadari bahwa Morgan ternyata tidak setinggi yang dia kira.
Cerpen: Pejuang Alas Kaki
Pejuang Alas Kaki
Karangan Ayunda Christina
Helai demi helai daun jati berjatuhan menimpa kaki Ratri yang tidak beralas. Anak kecil itu tertawa tertahan melihat kakinya sendiri. Butiran-butiran pasir tanah menyempil diantara kuku-kukunya yang berantakan. Lembaran uang seribu-dua ribu yang dia kumpulkan dari hasil memandu-parkir kendaraan lapangan Pasar Buah dekat rumahnya belum juga cukup untuk membeli alas kaki yang dia inginkan.
Ratri tetap bersabar. Dia tidak sendiri. Ida, tukang semir sepatu yang biasa mangkal di Pasar Buah pun rela bertahan dengan sandal jepit yang sudah putus. Ida mengaitkan sandal itu dengan peniti dan bertahan tidak membeli yang baru demi membeli sepatu yang diinginkannya di Pasar Besar dekat terminal.
Layaknya anak-anak miskin lainnya, mereka terkadang ingin memakai sesuatu yang bagus seperti yang dipakai orang kaya.
Hari sudah menjelang malam dan azan maghrib berkumandang sahut-menyahut dari berbagai penjuru. Namun, parkiran belum juga ramai, malahan lebih banyak pejalan kaki yang datang. Ratri belum berhasil membeli sandal impian yang dia lihat di etalase toko Pasar Besar di lantai dua.
Dalam benak kanak-kanak Ratri yang terbiasa menahan keinginan yang tak tersalurkan, belum tersampainya punya sandal adalah sebuah kewajaran dalam hidupnya.
Ratri tetap bersyukur karena diberi tubuh yang sehat dan kuat untuk bekerja dari pagi sampai malam, walau tanpa makan siang.
Dengan langkah lemas, Ida datang menghampiri Ratri yang tengah merapikan sambil menghitung uang yang diterimanya hari itu. Ida tidak langsung menyapa, ia menunggu Ratri beres menghitung uangnya agar tidak salah hitung. Ida hanya berdeham sedikit, memberi tanda bahwa dia ada disitu.
Ratri menoleh sebentar lalu menghitung lagi uangnya. Sambil menunggu Ratri, Ida memperbaiki peniti yang hampir terlepas dari sandal jepitnya. Keadaan sandal Ida semakin memprihatinkan. Mata Ida berkaca-kaca meratapi nasib kakinya yang tampak jelek.
“Langsung pulang?” tanya Ratri memandangi langit gelap.
“Aku pulang besok pagi, uangku belum cukup, siapa tahu nanti malam banyak yang pengajian di Masjid Gede," jawab Ida.
“Kamu mau ngemis?!”
“Mau markir kayak kamu, kamu mau ikut enggak? Nemenin aku," ujar Ida lagi.
Ratri terdiam dan mulai memikirkan tawaran memarkir kendaraan rombongan ibu-ibu yang biasanya ramai mengaji di Masjid Akbar dekat pasar.
Masjid Akbar lebih sering disebut Masjid Gede oleh orang-orang sekitar pasar karena luas dan besar. Tiap malam Jumat sering digunakan oleh ibu-ibu pengajian yang datang dari berbagai daerah, untuk mendengar tausiah atau kajian agama. Jumlahnya tidak menentu, kadang banyak kadang sedikit, tapi cukup bagi Ratri dan Ida untuk menambah penghasilan.
Mereka sudah tidak lagi mementingkan rawannya malam bagi anak perempuan. Impian mereka lebih besar dari ketakutan. Bahkan rasa lapar tidak mereka hiraukan hingga hilang dengan sendirinya. Di benak mereka hanyalah alas kaki yang akan membuat penampilan mereka sedikit naik derajat.
Dengan kedua tangannya yang mungil, Ratri menggenggam tangan Ida yang tak kalah mungil.
“Ya, aku ikut," Ratri menerima tawaran Ida.
Mereka bergegas ke masjid.
“Kamu mau ikut menginap di mesjid, enggak?” tanya Ida lagi yang dijawab Ratri dengan anggukkan riang.
Ida menarik tangan Ratri sambil berlari cepat ke arah masjid.
Ratri mulai merasa lemas dan berpikir untuk mengemis sebentar demi mengisi perutnya yang sedang menjerit.
Sementara Ida membantu tukang parkir di jalan keluar masjid, Ratri yang sudah sangat kelaparan menghampiri beberapa jamaah yang baru selesai salat Maghrib. Tidak berapa lama, Ratri selesai dan menemui Ratri sedang berada di samping seorang ibu berkerudung merah.
“Ratri?!”
Ratri kagok karena merasa tidak enak terpergok sedang minta uang.
“Maaf, Da, aku lapar. Aku enggak mau pakai uang ini, nanti enggak bisa beli sandal yang di pasar itu. Aku terpaksa ngemis dulu, cuma buat makan sekarang kok.”
Ratri menghitung hasil minta-mintanya, lalu membaca daftar menu warung mi ayam yang tertempel di pohon jati tempat Ida bersandar.
Ida hanya memperhatikan gerak-gerik Ratri yang memang terlihat sangat kelaparan.
Ratri menghitung lagi jumlah uang yang ada digenggaman tangannya.
“Aku kelaparan, Da, kamu ada uang buat makan? Kalau enggak ada aku traktir. Mas-mas di masjid hari ini baik-baik, ada yang ngasih lima ribu! Kita makan mi ayam, yuk!”
Ida menelan ludah saat ditawari mi ayam. Takbisa berkata-kata karena terharu mendapat tawaran makan gratis mie ayam yang terkenal enak di daerah mereka bekerja, yang biasa hanya dipandanginya saja sambil mengucap istighfar, kini bisa Ida makan dengan cuma-cuma.
Dengan langkah pasti, Ratri menarik tangan Ida menuju warung mi ayam impian yang sudah sejak lama ditandai dalam hati.
“Kita harus makan enak sesekali, Da, kita sudah bekerja keras.”
Ratri menggenggam tangan Ida keras-keras, meyakinkan Ida bahwa makan enak adalah hak bagi mereka berdua.
“Iya, hidup kita selama ini susah ya, Tri…”
Ratri mendekati penjual mi ayam di luar warung yang sedang memasukkan potongan dadu daging ayam berbumbu ke dalam mangkuk besar yang tersembul dua bakso besar di dalamnya.
Ratri tidak bisa lagi menahan gejolaknya untuk melahap apa yang dilihatnya. Mata Ratri jelalatan mencari daftar harga seperti yang dia lihat di pohon tadi karena dia lupa berapa harga semangkuk mi ayam bakso. Dalam hati Ratri yakin jika dalam menu tadi, harga termahal seharga lima belas ribu.
Ratri menghitung cepat untuk membelikan Ida. Andai uangya kurang, terpaksa Ratri akan ambil dari uang tabungan sandal impiannya. Dia sudah berjanji mentraktir sahabatnya untuk makan enak bersama.
“Yang seperti itu dua ya, Pak," tunjuk Ratri ke arah mangkuk mi ayam yang barusan dibuat si penjual.
Ratri malu untuk menanyakan harga, sedari tadi pengunjung lain hanya memesan tanpa menanyakan harga lebih dulu.
Malam semakin dingin. Ratri memesan segelas teh hangat. Entah berapa harga minuman di warung mi ayam ini. Menu yang dilihat di pohon tadi tidak menampilkan harga minuman.
Ratri membuat kepalan tangan dengan isyarat orang minum kepada Ida, pertanda menanyakan Ida mau minum apa.
“Yang anget-anget saja, aku kedinginan," ujar Ida.
“Mau teh atau jeruk?”
“Terserah, samain kamu, saja.”
“Pak, pesan satu jeruk anget, satu teh anget.”
“Kok beda-beda?” tanya Ida.
“Enggak apa-apa, aku juga bingung mau pesan apa. Nanti kita saling icip minuman saja.”
Setelah lima menit menunggu, dua mangkuk mi ayam datang dengan aroma gurih kaldu menguar di hidung Ratri dan Ida..
“Makasih, ya, Pak,” ucap Ratri lembut, menirukan gaya mbak-mbak cantik yang duduk di seberang mejanya.
Ida masih takpercaya dengan apa yang dilihatnya di depan mata. Perlahan diambilnya mangkuk miliknya. Dihirupnya kepulan uap panas mi yang menari-nari didepan hidungnya, lalu secepat kilat dia menyambar mi, bakso, dan daging ayam, lalu memasukkan ke dalam mulut dalam satu suapan.
Rasa bahagia tak terkira bagi Ida kala bisa menyantap mi ayam lezat dengan cuma-cuma. Bibirnya tak lagi pucat, malahan kini sedikit berminyak.
“Alhamdulillh, makasih, ya, Tri.”
Ratri membuka dompet usangnya yang ditimpali oleh Ida, “Tri, kalau enggak cukup nanti aku tambahin.”
Ratri sedikit gengsi dibantu Ida. Dia sudah menyiapkan uang untuk menambah andai uangnya kurang.
“Tenang, aku sudah hitung, kok, enggak usah dipikirin," ucap Ratri lagi.
Sambil meletakkan gelas jeruk panas yang tinggal setengah ke atas meja, Ratri memperhatikan pelanggan yang sedang membayar di meja kasir. Dari apa yang dia dengar, total pembayarannya sekitar dua puluh delapan ribu.
Mas yang itu pesannya mi ayam bakso sama es jeruk enam belas ribu. Kita berdua enggak pakai es mungkin enggak sampai tiga puluh ribu, pikir Ratri.
Dua yatim piatu itu kini mendatangi meja kasir dengan langkah bangga.
“Dua puluh delapan ribu, Mbak," kata bapak penjaga kasir
“Ini, Pak,” Ratri menyerahkan uang pas kepadanya.
“Alhamdulillah, ya, Tri, kamu dapat rezeki hari ini buat kita makan enak,” kata Ida yang membuat Ratri tersenyum bangga.
“Kita harus berdoa dan berusaha terus, Da. Semoga besok kita bisa beli sandal dan makan enak.”
Lega rasanya Ratri bisa memanjakan perutnya.
“Kita ke masjid, yuk!” ajak Ida tidak sabar menunggu kedatangan ibu-ibu pengajian.
Pucuk dicinta ulam tiba, serombongan ibu-ibu berseragam hijau dengan empat mobil datang memasuki masjid.
Ratri mulai menyiapkan wadah uang dari kain perca yang dijahit seadanya menyerupai kantong belanja ukuran kecil. Bersama Ida dia membantu tukang parkir masjid merapikan motor-motor di tempat parkir. Mereka lalu menunggu ibu-ibu pengajian pulang mengambil motor dan membayar mereka.
Sambil menunggu, Ida berkata kepada Ratri, "Kalau aku sudah beli sepatu, aku cari uang buat traktir kamu makan di situ,” Telunjuk kecilnya menunjuk brosur makanan yang bertuliskan ‘Gratis bakmi goreng untuk kaum dhuafa.’
Cerpen: Orang Ketiga
Orang Ketiga
Karangan Ramli Lahaping
Perasaan Joni gamang setelah melewati ambang pintu rumahnya. Sebagai seorang sopir penumpang antarkota, ia mesti meninggalkan Rita, istrinya, untuk selalu melintasi jalan yang panjang demi mencari rezeki. Tetapi lagi-lagi, niatnya terberai oleh maksud yang terselubung. Hatinya sudah pasti untuk Rita, tapi ia pun rindu dengan Lia.
Joni merasa bersalah telah memperturut nafsunya dengan Lia, padahal Rita selalu penuh kasih sayang disisinya. Bahkan sesaat yang lalu, sebelum Joni berangkat menyopir, Rita tak lupa menyajikan hidangan kesukannya dan menyiapkan pakaian yang wangi untuknya.
"Ada masalah apa, Pak? Aku lihat belakangan, Bapak tampak kurang bersemangat," singgung Rita, ketika mereka tengah makan siang satu jam yang lalu.
Demi menyamarkan kekalutannya, Joni menggeleng dan tersenyum singkat. "Tidak ada apa-apa, Bu. Aku hanya kecewa, sebab akhir-akhir ini, penumpang masih minim," kilahnya untuk menutupi kebohongan yang ia hembuskan selama ini.
Penumpang yang sedikit ia dalihkan menjadi sebab tidak lagi bisa memberikan uang banyak kepada Rita, meski
senyatanya, itu karena Joni menyisihkan penghasilannya untuk sang kekasih gelap.
Rita tersenyum lembut menampakkan kesabarannya, "Ah, Bapak. Jangan risaukan soal rezeki. Syukuri saja yang ada. Apalagi, uang belanja yang Bapak berikan kepadaku selama ini sudah sangat cukup untuk kebutuhan kita berdua. Bapak lihat sendiri, kan, kalau kita masih bisa makan dengan sajian yang lengkap."
Joni lalu tertawa pendek. Ia kembali merasa berhasil menyembunyikan pengkhianatannya. Hingga akhirnya, sesaat berselang, ia balik bertanya untuk menunjukkan perhatiannya, "Selama ini, Ibu tidak apa-apa kalau aku tinggal pergi, kan?”
Joni lantas berdeham, “Apalagi, besok pagi, kalau penumpang yang mendaftar kepadaku hanya satu-dua orang, mungkin aku akan kembali menginap di kota, di rumah temanku."
Seketika Rita tergelak gemas.
"Ya, tidak apa-apa lah, Pak. Memang sebaiknya Bapak membatalkan
perjalanan kalau penumpang hanya satu-dua orang, ketimbang rugi ongkos bahan
bakar."
Seolah meragu, Joni kemudian mendengkus. "Tetapi Ibu benar-benar, kan, kalau selama ini, memang tak ada persoalan pelik yang Ibu hadapi saat sedang sendiri? Aku kadang cemas kalau ada orang yang menjahati Ibu selama aku pergi."
Rita tampak terheran atas kekhawatiran Joni. "Tidak ada apa-apa, Pak. Jangan berpikiran macam-macam. Aku aman-aman saja, kok, di sini."
Joni lantas mengembuskan napas panjang. "Ya, syukurlah. Tetapi, kalau ada apa-apa, Ibu jangan sungkan meminta bantuan ke tetangga. Aku yakin, Pak Dino dan istrinya tidak akan segan untuk menolong."
"Iya, Pak," tanggap Rita.
Joni merasa tenang dan untuk beberapa lama mereka meneruskan bersantap dengan lahap hingga Joni pamit dan berangkat bekerja.
Akhirnya, kini, atas cintanya kepada Rita, Joni kelabakan menyikapi aksi pengkhianatannya. Ia bingung menanggulangi risiko kalau perselingkuhannya terbongkar di waktu mendatang.
Apalagi, sebulan yang lalu, Rita mengatakan bahwa ia tengah mengandung setelah sekian lama mereka menanti. Karena itu, Joni sangat waswas kalau rumah tangganya hancur.
Namun, persoalan Joni malah makin pelik. Pasalnya, Lia, yang merupakan orang tua tunggal beranak satu itu, telah tahu bahwa Joni yang mengaku duda ternyata masih beristri.
Lia mendesak Joni untuk menceraikan Rita. Kalau tidak, Lia mengancam akan membongkar hubungan mereka. Lia bahkan siap untuk menanggung risikonya sendiri tanpa Joni.
Perasaan dan pikiran Joni jadi kacau balau. Bagaimanapun, permainan asmaranya dengan Lia yang sudah berlangsung selama enam bulan ini memang sudah jauh.
Dua bulan yang lalu, Joni menikahi Lia tanpa melalui prosedur hukum perkawinan negara. Joni buntu tidak dapat menemukan jalan keluar. Ia terus bergelut dengan kebingungannya.
Kini, Joni hanya merutuki dirinya yang terpedaya kecantikan Lia sejak pertama berjumpa.
Ia menyesal telah menumpangkan Lia yang menyetopnya di tengah jalan. Ia menyesal mengobrol hangat dengan Lia setelah penumpangnya yang lain sudah turun. Ia menyesal meminta nomor telepon Lia hingga mereka terus berkomunikasi menuju hubungan yang kebablasan.
Sesal Joni atas hubungan gelapnya dengan Lia makin menjadi kala membayangkan Rita yang selalu teguh menjaga tali pernikahan mereka.
Joni tidak pernah menemukan satu bukti pun yang bisa ia percaya bahwa Rita punya niat untuk main asmara dengan lelaki lain.
Namun sebagai suami, Joni sempat juga mencurigai Rita pada bulan-bulan lalu. Setelah pulang menyopir dari kota, ia sempat menemukan sarung yang tak pernah ia lihat sebelumnya di kamar mereka.
Ada pula korek gas yang bukan kepunyaan Joni di dapur mereka, atau puntung rokok yang tidak semerek dengan rokoknya di asbak ruang tamu mereka. Namun, setelah Joni bertanya, Rita memberi keterangan yang masuk akal bahwa benda-benda itu merupakan kepunyaan adik dan kakaknya yang memang kerap mampir bahkan menginap.
Kepercayaan Joni pada keterangan Rita kemudian diperkuat oleh kesaksian Pak Dino dan istrinya. Pada momen kala Joni tengah dilanda kecemburuan, ia telah bertanya kepada pasangan suami-istri samping rumahnya tersebut kalau-kalau ada orang asing yang bertamu ke rumahnya saat ia pergi menyopir.
Kedua orang itu membenarkan keterangan Rita bahwa yang biasa bertamu hanyalah kakak dan adik Rita yang merupakan ipar Joni sendiri.
"Istrimu itu orang baik, Jon. Kau beruntung punya istri sepertinya. Ia perempuan sabar dan setia," kata Pak Dino, tujuh bulan yang lalu, ketika Joni mengungkapkan kecurigaannya.
Joni merasa lega mendengar keterangan Pak Dino. Ia kemudian melontarkan kekecewaan, "Tetapi sayang, aku takjuga mendapat keturunan darinya. Ia belum hamil. Padahal, aku sangat ingin punya anak."
Pak Dino lantas tergelak pendek. "Soal anak itu rezeki. Kalau kalian tetap berusaha, aku yakin, suatu saat kalian akan dapat juga. Apalagi, aku lihat istrimu masih sangat kuat," tuturnya setengah bercanda dengan nada dan ekspresi yang menggoda.
Joni tertawa.
Demikianlah memang. Joni menilai kalau satu-satunya kekurangan Rita adalah ketidakampuannya mengandung anak. Tetapi, satu cela itu akhirnya pupus juga setelah sebulan yang lalu Rita bilang tengah hamil. Karena itu, Joni sungguh menyesal mengkhianati Rita yang sekian lama menjadi sosok istri setia dan sempurna untuknya.
Atas keadaan itu, Joni tak tahu lagi cara yang tepat untuk menanggulangi permainan asmaranya dengan Lia. Ia merasa telah jatuh ke dalam lubang kerumitan.
Ia hanya terus menyembunyikan hubungan rahasianya dengan Lia. Ia tetap berusaha mengulur waktu selama mungkin untuk mempertahankan ikatan pernikahannya dengan Rita, entah sampai kapan.
Akibat kepelikan itu Joni dilanda kekalutan kala tengah menyopir. Ia menjelajahi jalan raya dengan perasaan kacau untuk kemudian menjemput tiga orang langganannya.
Joni menghentikan kendaraannya ketika menyadari kalau ponselnya tertinggal. Ia takut kalau Lia meneleponnya dan Rita yang menjawab. Api asmaranya dengan Lia akan terbongkar. Karena itulah, Joni lekas berbalik ke rumahnya.
Joni menggulung jalanan dengan laju yang amat cepat. Ia ingin segera mengambil ponsel sebelum yang ia takutkan benar-benar terjadi. Setelah sekian waktu, ditengah perasaan tegangnya, ia tiba di rumahnya. Joni masuk dengan langkah buru-buru menjurus ke kamarnya. Ia yakin kalau ponselnya ada di kantong jaketnya yang tergantung di balik pintu kamar.
Bagai disambar petir Joni pun terperanjat menyaksikan kenyataan di depannya. Ia menjumpai Rita bersama Pak Dino dalam keadaan hampir tak berpakaian.
Joni mematung selama beberapa detik dan mendadak kelimpungan taktahu harus berkata dan berbuat apa. Joni membanting pintu dan pergi. Ia sampai pada keyakinan bahwa keputusannya perihal pernikahannya dengan Rita dan kelanjutan hubungannya dengan Lia akan tepat.
*****
Ramli Lahaping, lahir di Gandang Batu, Kabupaten Luwu dan saat ini tinggal di Kota Makassar.
Instagram @ramlilahaping
Cerpen: Hujan di Kereta Malam
Doni memasukkan kedua tangannya ke saku jaket untuk menghalau dingin. Sejak subuh hujan terus-terusan mengguyur bumi, membuat cuaca mendingin. Doni sampai harus minta pengemudi taksi online yang ditumpanginya tadi untuk mengecilkan AC.
Sekarang kereta Taksaka Malam sudah berjalan makin jauh dari Gambir sejak Doni menaikinya tiga jam lalu. Masih empat jam lagi sebelum sampai di Stasiun Tugu.
Pendingin ruangan dirasakan Doni juga makin dingin, memaksa dia menarik resleting jaketnya sampai leher.
Doni memesan makanan dari restorasi menggunakan aplikasi WhatsApp. Dia berharap segelas teh panas dan nasi goreng bisa mengusir dingin lalu membuatnya lelap sepanjang perjalanan. Untungnya kursi di sebelah Doni kosong, jadi dia yakin akan bisa tidur tanpa terganggu teman seperjalanan yang mengajak ngobrol.
Nasi goreng datang, tapi belum sempat Doni menyuapnya ke mulut, seorang gadis berbaju putih mendadak duduk di kursi sebelah.
"Siapa, nih," Doni membatin tidak senang karena kedatangan orang tidak dikenal. Dia menyuap nasi gorengnya lalu menoleh ingin tahu siapa yang tiba-tiba duduk di sampingnya.
Perempuan berbaju putih lengan panjang itu tersenyum pada Doni. Doni membalas dengan anggukan sambil mengunyah.
"Maaf, Mas, saya numpang duduk disini sebentar, ya. Tempat duduk saya berisik ada rombongan bapak-bapak mengobrol keras," katanya.
"Anda dari gerbong mana?" tanya Doni.
"Belakang restorasi."
"Ohh." Doni melanjutkan makan sambil berharap gadis itu hanya beberapa menit saja menumpang di kursinya.
"Mas dari mana?"
Doni menoleh, "Saya?"
Perempuan itu mengangguk.
"Dari Jakarta mau ke Jogja," jawabnya setelah meneguk susu yang kehangatannya sudah lenyap dilibas dinginnya penyejuk kereta.
"Orang Jogja atau orang Jakarta?"
"Jakarta."
"Pergi sendirian?
"Iya."
"Ke Jogja mau dinas atau liburan?"
Doni menoleh lagi untuk melihat dengan jelas rupa perempuan yang menurutnya terlalu cerewet mengganggunya makan.
Perempuan itu menunduk, tahu diri bahwa dia mengganggu. Doni mendadak iba melihat perubahan sikap si perempuan yang mendadak menarik diri.
"Mau makan?" Doni menawarkan makanan alih-alih menegur seperti yang awalnya dia niatkan. Wajah perempuan itu agak pucat, membuat Doni makin kasihan.
"Atau teh panas? Saya pesankan teh panas atau coklat panas?"
Perempuan itu menggeleng lagi dan mengucapkan terima kasih.
"Silakan teruskan lagi makannya, Mas," sahut si perempuan.
Doni menghabiskan nasi goreng dan teh panasnya pelan-pelan. Dalam hatinya dia bertanya kenapa si perempuan tidak membawa tas tenteng atau telepon seluler atau buku bacaan untuk mengusir bosan di kereta.
Udara dingin seketika menerpa tubuh Doni. Kenapa AC kereta bisa sedingin kutub, keterlaluan! gumam Doni agak geram karena dinginnya sudah tidak bisa ditoleransi tubuhnya yang hampir gemetar kedinginan.
"Mas kedinginan?" tanya si perempuan lembut dan ramah. Bibir tipisnya yang pucat menyungging manis.
Doni gengsi untuk menjawab dia kedinginan, jadi dia menggeleng yakin.
"Mas sudah berkeluarga?"
Doni menjawab belum dan dia yakin telah melihat si perempuan berbaju putih lengan panjang itu mendesah lega.
Ke Jogja untuk liburan atau dinas?" tanya perempuan itu lagi.
"Dua-duanya, ada koordinasi dengan cabang untuk pergantian kepala kantor mereka yang baru. Setelah itu liburan sebentar nonton sendratari," jawab Doni sambil tangannya sibuk memesan coklat panas di nomor Whatsapp restorasi.
"Kalau begitu sekalian main ke rumah saya, ya, Mas."
Doni jengah.
"Anda saya pesankan teh panas, ya? Anda seperti sedang tidak enak badan, " tawar Doni yang langsung memesan lagi lewat Whatsapp, teh panas untuk si perempuan dan coklat panas untuknya.
"Mas, mau, ya, main ke rumah saya," pinta si perempuan. Dipegangnya tangan Doni supaya Doni setuju.
Doni merinding. Tangan perempuan ini dingin sekali, batin Doni, kenapa dia tidak pakai baju pelapis. Kemerindingan Doni bertambah karena dia grogi disentuh perempuan yang bukan mahramnya.
“Mas namanya siapa?"
"Doni."
"Saya Masita. Mas Doni main ke rumah saya, ya. Saya tinggal sendirian, pengin kumpul lagi dengan bapak dan ibu.”
“Memang bapak-ibumu tinggal di lain kota?
Masita tertunduk lesu.
Bulu kuduk Doni tiba-tiba berdiri diterpa hembusan angin dingin di tengkuknya. Benar-benar kereta sialan, umpat Doni. Sudah tiga kali Doni naik Taksaka Malam, tapi baru kali ini AC-nya seperti freezer.
“Catat alamat saya ya, Mas,” bisik Masita. Doni kaget karena Masita berbisik sangat dekat ke telinganya. Doni tidak berani menolah, kuatir wajahnya mengenai wajah Masita. Masita kembali tegak di kursinya dan tersenyum.
"Pedukuhan Sariasri…”
“Sebentar saya catat dulu,” Doni mengambil telepon seluler dan membuka aplikasi notes, “Pedukuhan Sariasri, terus?”
Pramugari datang membawa teh dan coklat panas.
Masita menyebut alamat lengkap beserta nama kedua orang tuanya. Supaya lebih gampang mencari kalau pakai nama orang tua, kata Masita.
Setelah menaruh telepon selulernya di saku, Doni menyeruput coklat panasnya. Doni menguap lalu matanya terasa berat. Perut kenyang memang selalu bikin ngantuk.
Doni mendengar Masita berbisik lagi di telinganya. “Kalau mengantuk tidur saja, Mas. Saya juga mau pulang. Terima kasih banyak, Mas Doni."
Doni ingin berkata bahwa bila mau Masita boleh duduk di sini sampai Jogja, tapi matanya terlalu berat sampai-sampai kesadarannya punah. Dia jatuh lelap.
Matahari belum memancarkan semburatnya di Stasiun Tugu pukul 04.30. Doni membuka resleting jaketnya dan bangun dari kursinya untuk mengambil tas di bagasi rak atas. Dia yakin kalau tidurnya sangat nyenyak karena tidak menyadari dirinya sudah sampai di Jogja secepat itu.
Selasa sampai Rabu Doni disibukkan oleh pergantian kepala cabang kantornya yang sudah masuk pensiun, tapi belum punya pengganti. Doni juga harus mencari tahu kenapa turnover di cabang itu paling tinggi diantara cabang lain.
Kepala keuangan cabang Jogja menawarkan kunjungan ke beberapa tempat wisata dan kuliner, tapi ditolak Doni. Dia cuma ingin menonton sendratari Ramayana yang sudah ada di jadwalnya sejak semula.
Kamis malam setelah menonton sendratari di Candi Prambanan, Doni teringat pada Masita. Dikeluarkannya telepon seluler untuk mencari lagi alamat rumah Masita. Setelah bertanya kepada staf kantor cabang dimana lokasi tempat Dukuh Sariasri berada, Doni memutuskan berkunjung ke rumah Masita keesokan harinya.
Karena tidak ingin membuat repot orang di kantor cabang, Doni pergi sendiri dengan memesan mobil sewaan dari hotel. Jarak dari Hotel Arjuna, tempatnya menginap, ke rumah Masita ternyata hanya 25 kilometer. Lebih dekat dari
Mudah juga mencari rumah orang tua Masita. Doni langsung diantar sampai ke pintu rumah.
Ruang tamu orang tua Masita masih berantakan dengan separuh ruangannya tergelar karpet biru. Sebagian lagi dipenuhi tumpukan sampah bekas kotak snack. Kursi-kursi plastik masih tertumpuk di pekarangan, belum dikembalikan ke masjid.
"Mas Doni terakhir ketemu Masita kapan?" tanya ibu Masita sembari menyorongkan teh manis dan penganan di piring kecil ke hadapan Doni.
Doni menceritakan pertemuannya dengan Masita di kereta Senin malam lalu. Selama bercerita, Doni berharap Masita keluar menemuinya. Ibunya tidak bilang kalau Masita sedang kerja atau keluar rumah, berarti Masita ada di rumah, kan.
Masita tidak juga menampakkan batang hidungnya.
Pak Samat, bapak Masita, bergabung sambil membawa bingkai foto kecil dan menunjukkannya pada Doni.
"Mas Doni ketemu dengan Masita yang ini?"
Apa maksudnya dengan Masita yang ini, "Iya, Pak. Memang kenapa?"
Itulah masa dimana Doni merasakan kekagetan yang teramat sangat seumur hidupnya. Kamis malam tadi orang tua Masita mengadakan tahlilan untuk memindahkan makam Masita ke tempat yang baru. Tanah pekuburan tempat Masita bersemayam akan dijadikan jalan tol sehingga semua jasad harus dipindah.
“Makamnya kami pindah ke Desa Semulyo. Kami sudah beli tanah dan rumah di sana karena rumah ini juga termasuk yang kena proyek tol. Makam Masita besok akan dipindah ke pekuburan yang ada di sana," cerita Pak Samat.
"Sudah berapa tahun Masita meninggal, Pak?" tanya Doni.
"Baru seratus hari. Malam Jumat kemarin bareng waktunya kami tahlilan untuk seratus hari almarhumah dengan prosesi pindah makamnya.
Doni mengingat-ingat berita yang pernah dibacanya tentang munculnya orang kaya baru dari pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol Semarang-Jogja di Sleman. Ternyata jalan tol itu juga melewati tempat tinggal Masita di Magelang.
Ibu Masita menawarkan bila Doni ingin mengunjungi makam Masita yang langsung diiyakan olehnya.
Makam Masita belum diberi nisan. Hanya ada tonggak kayu bertuliskan nama Masita binti Samat Suraji sebagai penanda bahwa di bagian itu terdapat kepala si mayit. Taburan bunga-bunga mawar segar memenuhi pusaranya yang menguarkan wangi harum samar-samar.
Doni membacakan surah yasin di makam Masita dan bacaan-bacaan tahlil. Tubuh Doni tiba-tiba terasa dingin, tengkuknya seperti dihinggapi bulu-bulu halus yang membuatnya merinding. Persis seperti yang dirasakannya di kereta.
“Selamat tinggal, Masita," ucap Doni sambil memegang tonggak kayu di makam Masita. "Senang bisa mengenalmu. Semoga kau tenang. Saya pamit dulu, ya, Masita."
Cerita Anak Jenaka: Kisah si Warna-warni
(Pengarang: Fathan Zafran Arkana)
Di Dusun Kramat ada yang unik, yaitu pasar Jumat Pahing yang diadakan setiap 35 hari sekali. Di sana saya dan adik membeli tiga ekor ayam. Satu warnanya kuning, satu merah, dan hijau. Kami merawat ayam tersebut dengan baik dan penuh kasih sayang.
Ayam tersebut dikasih makan tiga kali sehari dan dijemur di matahari setiap hari serta diganti kardusnya jika sudah kotor. Ayam tersebut hanya mau makan sentrat karena masih kecil. Ayahku juga memberi vitamin dan tolak angin cair supaya ayam warna-warni itu tidak mudah sakit.
Kak, ayamnya keluar dari kandang!” kata adik.
“Sebentar, nanti saya taruh ke kandang lagi,” kataku.
Ayam kami memang lincah sampai sering keluar kandang. Ayam kami waktu masih kecil juga tidak mau makan nasi. Lalu agar ayamnya tidak mudah keluar kandang, ayah membuat kandang yang cukup besar untuk ayam tersebut sekaligus tempat makan dan minumya.
Tak terasa setelah empat bulan ayam tersebut tumbuh besah dan yang tadinya warnannya merah, kuning, dan hijau sekarang menjadi putih semua. Setelah besar ayam tersebut jadi doyan makan nasi.
Saat ayam kami sudah besar mereka suka berkokok pada pagi hari dan terkadang di siang hari. Ayam tersebut juga memiliki paruh yang tajam sehingga sakit jika dipatuk.
“Bu, makannya mana, Bu” tanyaku.
Ibu menjawab, “Makanan ayamnya sedang dibelikan ayah.”
“Oke, Bu.”
Kadang stok makanan ayam terkadang memang habis jadi harus membeli terlebih dahulu dan terkadang karena ayamnya kelaparan sampai mematuk kaki ibuku.
“Aww, sakit!” kata ibuku.
Lalu ayam kami terkadang juga mematuk ayahku. Begitulah ayam kami yang dulunya imut sekarang menjadi agak galak.
“Yah, ayamya mau diapain kok diikat?” tanyaku.
“Ayamnya mau disembelih untuk opor” jawabnya.
Lalu ayam pun disembelih untuk membuat opor ayam. Setelah opor ayam jadi aku makan opor dengan lahap karena aku suka opor. Setelah ayam disembelih kami sisakan satu ayam entah kenapa.
“Dek, makan dulu sudah siap,” kataku
“ Itu ayam yang Ayah sembelih bukan?” tanya adikku
“Iya,” kataku lagi
“Enggak mau, ah, enggak enak!” begitu kata adikku
Begitu kata adikku. Dia selalu tidak mau makan ayam yang disembelih. Tentu saja ayam yang disisakan ayah merasa kesepian di kandang sendirian. Ayamku suka heboh kalau ada tikus. Serta kalau ada petir atau gledek ayam tersebut kaget. Ayamku juga kadang kadang menerobos kandang entah ada apa dan jika ayam menerobos ini yang terjadi
“Ayah, ayamnya menerobos keluar!” kata adikku
“Sebentar ayah balikin ke kandang!”
Terkadang heboh kalau ayam keluar kandang, tapi lama lama terbiasa dengan hal itu jadi sekarang hal tersebut merupakan hal yang wajar dan tidak dikhawatirkan lagi.
Cerpen: Nasi Padang
"Walaikumsalam," jawab Ibuku dari dapur. Dapur kami kecil, berdempetan dengan kamar mandi.