Love Language dan 5 Bahasa Cinta untuk Hubungan Berkualitas
Love language atau bahasa cinta adalah cara seseorang untuk menunjukkan kasih sayang dan penghargaan kepada pasangannya.
Pada awal kemunculan istilah ini di awal 1990-an, love language ditujukan untuk pasangan suami-istri atau kekasih yang punya komitmen membangun hubungan sehat dan bahagia selamanya.
Sekarang love language meluas dan sudah diterapkan ke banyak hubungan interpersonal seperti orang tua dan anak, guru dan siswa, bahkan kepada antar-sahabat.
Love language pertama kali ditulis oleh pengarang Amerika Gary Chapman dalam bukunya The Five Love Languages: How to Express Heartfelt Commitment to Your Mate yang terbit pada 1992.
Chapman menyebut ada lima love language, yaitu:
Love language Guru dan Siswa
Menurut cambridge.org penerapan love language di sekolah antara guru dan siswa atau sebaliknya punya manfaat memacu siswa supaya percaya diri dan kreatif.
Ketika siswa dapat menjawab pertanyaan dengan tepat, guru bisa memujinya sebagai anak pintar. Kalau nilai ulangan siswa bagus, guru dapat membubuhkan pesan singkat di hasil ulangannya dengan kata "Excellent", "Pertahankan", atau "Bagus!"
Bila siswa butuh bantuan saat mengerjakan tugas kelompok di kelas, guru dianjurkan membimbing dan mengarahkan sampai mereka mengerti harus seperti apa tugas kelompok itu.
Para siswa biasanya juga menunjukkan love language mereka dengan membuat puisi saat hari guru, memberi kejutan saat guru ulang tahun, atau memberi kado saat kenaikan kelas.
Anak-anak usia TK biasanya juga senang dipeluk dan digandeng oleh gurunya untuk mengurangi ketidaknyamanan mereka di sekolah yang salah satunya disebabkan tidak adanya orang tua disamping mereka.
Guru TK bisa jadi pengganti orang tua di sekolah dengan memberikan love language kepada siswa.
Love language akan mendukung kegiatan belajar-mengajar jadi menyenangkan dan para siswa bisa mengenali potensi dirinya masing-masing.
Love Language Orang Tua dan Anak
Sayang sekali banyak orang tua malas menggunakan bahasa cinta ke anaknya sendiri karena malu, kuatir anak jadi manja dan tidak mandiri, juga karena tidak terbiasa.
A Fine Parent menyebut kalau love language jadi salah satu cara anak membedakan mana orang tuanya dan mana yang bukan orang tuanya. Orang yang memberikan bahasa cinta lebih sering akan dianggap sebagai orang tua oleh si anak.
Makanya banyak kejadian anak lebih dekat dengan pengasuh daripada orang tuanya. Sebenarnya bukan karena orang tuanya bekerja, melainkan karena kurangnya bahasa cinta yang diberikan orang tua ke anak.
Sebelum anak berangkat sekolah, orang tua bisa memeluk dan mengelus kepala anak sambil memberikan pujian.
Saat mau tidur orang tua bisa bertanya tentang kegiatan si anak hari itu lalu memeluk mereka sampai tertidur (bahasanya Jawanya: ngelonin).
Bagaimana kalau anaknya sudah remaja dan tidak mau dipeluk dan dikelonin?
Tetap berikan Acts of Service (pelayanan), Gifts (hadiah), dan Words of Affirmation (kata-kata penegasan) untuk menunjukkan bahwa kasih sayang orang tua tidak pernah berkurang sampai kapan pun.
Love Language Suami-Istri
Ini yang paling penting. Love language pada rumah tangga bertujuan untuk meneguhkan komitmen suami dan istri untuk sama-sama bahagia sesuai tujuan awal pernikahan.
Kata-kata penegasan (words of affirmation) bisa dilakukan oleh suami saat istrinya membuatkan teh dan kopi atau saat memasak makanan kesukaan suami. Bilang, "Terima kasih, ya, kopinya. Kamu gak bikin juga?"
Atau istri bisa bilang, "Kamu pakai baju ganteng, deh!" Words of affirmation ini jarang dilakukan pasangan di Indonesia karena dianggap norak. Padahal efeknya bisa memperkuat hubungan suami-istri.
Sedangkan tindakan pelayanan (acts of service), sentuhan fisik (physical touch), gifts (hadiah), dan waktu yang berkualitas (quality time) disesuaikan dengan kondisi rumah tangga.
Misal, suami-istri sama-sama kerja dan punya anak, quality time dapat dilakukan saat berangkat bareng atau saat masak sarapan bersama. Bercanda, ngobrol sebentar, atau saling menceritakan kejadian di tempat kerja.
Perbedaan Love Language
Perbedaan love language pada pasangan kadang menimbulkan perselisihan bila yang satu ingin dapat sentuhan fisik lebih sering sementara yang lain mengutamakan quality time semisal melakukan hobi bersama-sama atau nonton bareng ke festival film.
Kuncinya, menurut psikolog klinis dari Lembaga Psikologi Terapan UI Irma Gustiana seperti dilansir antaranews.com, dengan mengamati pasangan love language apa yang dia sukai kemudian bicara padanya love language apa yang kita sukai.
Kalau ternyata love languagenya berbeda, bicarakan berdua (tidak usah malu, suami-istri, kok, malu?!) supaya tidak timbul rasa egois dari masing-masing individu.
Selanjutnya lakukan love language yang disukai pasangan kita dan minta pasangan melakukan love language juga kepada kita.
7 Karakter Emak Di Sekolah Anaknya
Sekolah adalah tempat pendidikan formal yang dirancang khusus untuk mendidik siswa secara akademis dan nonakademis.
Selain sebagai tempat belajar, sekolah juga jadi berkumpulnya banyak orang dari berbagai latar belakang dan macam-macam karakter, termasuk karakter para emak yang biasanya paling sering bersentuhan dengan sekolah daripada bapak-bapak.
Karakter emak-emak berikut ini adalah yang paling dominan ada di sekolah.
1. Si Ingin Dikenal
Karakter orang tua seperti ini wajahnya selalu terlihat seperti sedang senyum dan aura percaya dirinya sering membuat orang lain terbanting.
Dia juga sering mengantar-jemput anaknya sampai depan kelas dan menyapa guru-guru di sekolah. Paling senang kalau ada kegiatan yang melibatkan berkumpulnya banyak orang.
Bacaan Lain: Biaya Sekolah vs Jalan-jalan
Si Ingin Dikenal juga akan gembira hatinya bila ada yang bertanya kepadanya tentang guru, sekolah, dan sesama orang tua karena makin banyak orang yang minta pendapatnya makin bahagia hidupnya.
Saat pengambilan rapor, Si Ingin Dikenal akan menyempatkan diri ngobrol sebentar dengan wali kelas untuk menanyakan tempat tinggal atau keluarga sang wali kelas, menyebabkan orang tua lain harus menunggu agak lama sampai Si Ingin Dikenal beranjak dari kursi pengambilan rapor.
2. Si Perhitungan
Si Perhitungan paling sensitif terhadap urusan duit. Karena itu dia jadi yang paling ribut kalau ada kebijakan sekolah yang menyangkut duit, baik pembelian buku pendamping, sumbangan komite, atau pembelian LKS/Modul.
Dia akan menanyakan sedetail mungkin kalau harus mengeluarkan uang. Kalau perlu dia akan membandingkan harga beras dengan harga buku sebelum sampai pada kesimpulan bahwa beras harus diutamakan daripada buku sekolah.
3. Si Enggan
Ini karakter orang tua yang tidak mau tahu urusan apa pun di sekolah, yang penting anaknya sekolah aja, udah.
Si Enggan amat enggan bertanya, memberi saran atau kritikan, bahkan untuk ikut mengobrol di grup orang tua saja Si Enggan sangat enggan.
Kalau ada info yang ingin diketahuinya dia akan menunggu sampai ada pengumumun dari sekolah atau sampai ada orang tua lain yang menanyakannya. Si Enggan juga enggan terlibat dalam kegiatan-kegiatan sekolah yang butuh bantuan orang tua. Paling mentok Si Enggan ini akan datang hanya di hari pengambilan rapor.
4. Si Tukang Curhat
Saat bertemu dengan orang tua lain, terutama kepada sesama orang tua yang mengantar-jemput anaknya setiap hari, Si Tukang Curhat akan selalu menceritakan kegundahan hati, kesulitan hidup, bahkan kesusahan orang lain pun akan dia curhatkan dengan penuh perasaan.
Saking senangnya curhat, dengan orang yang belum begitu dikenalnya pun Si Tukang Curhat akan curhat tanpa segan dengan gaya ala sinetron Indosiar.
5. Si Pasrah
Mirip dengan Si Enggan. Bedanya Si Pasrah benar-benar pasrah terhadap apa pun kebijakan sekolah.
Kalau si Enggan tidak bergaul dengan sesama orang tua karena berbagai faktor, Si Pasrah masih mau bergaul, tapi akan menerima apa pun yang dikatakan orang lain tanpa ingin membantah atau mengutarakan pendapat lain.
Si Pasrah juga akan menerima pembagian tugas dari sesama orang tua dengan pasrah tanpa ngedumel di belakang bila ada kegiatan yang membutuhkan bantuannya.
Saking pasrahnya, Si Pasrah bahkan tidak akan marah atau banyak bertanya kepada wali kelas andai anaknya tidak naik kelas.
6. Si Ghibah
Karakter orang tua seperti ini rame banget kalau sedang bersama gengnya, tapi cenderung diam kalau bersama orang yang tidak akrab dengannya untuk mencari tahu apa yang bisa dighibahkan dari orang yang sedang bersamanya.
Si Ghibah senang membicarakan apa pun, termasuk yang bukan urusannya. Kalau perlu dia akan mengghibahkan guru-guru, kepala sekolah, bahkan isi kantin. Maka tidak heran kalau Si Ghibah jadi terlihat seperti tong kosong nyaring bunyinya.
7. Si Provokator
Selalu diam di forum resmi seperti pertemuan orang tua siswa dengan sekolah, komite sekolah, pembagian rapor, atau pertemuan paguyuban kelas, tapi bersuara lantang di luar forum menentang semua kebijakan sekolah yang tidak sesuai hasratnya, terutama kepada sesama orang tua.
Si Provokator akan terus memprovokasi sampai ada yang tersulut dan bertindak atas nama kelas atau sekelompok orang tua. Setelah itu Si Provokator akan diam terpuaskan.
***
Karakter emak macam apa lagi ya yang biasanya ada di sekolah anaknya? Apa pun karakternya, emak adalah pejuang pendidikan nomor satu karena bersedia mengantar-jemput sang anak walau hujan panas sekali pun.
Emak hanya akan memasrahkan anak ke tukang ojek kalau benar-benar ada kerepotan yang tidak bisa ditinggal.
Selamat berjuang, emak!
Anak Diganggu Teman di Kelas dan Cara Orang Tua Bersikap
Anak yang masih duduk di sekolah dasar (SD) dan belum akil-baligh belum bisa berpikir layaknya orang dewasa dan lebih banyak meniru sekitarnya.
Maka tidak aneh kalau si anak terbiasa melihat kekerasan, perkataan kasar, dan perilaku buruk lain dari orang tua, keluarga dekat, atau lingkungan tempat tinggalnya, dia akan cenderung melakukan hal serupa.
Pendidikan Pertama Anak di Tangan Keluarga
Sejak lahir, orang yang paling sering dilihat anak adalah orang tua atau keluarga dekat yang mengasuhnya, misal nenek, bibi, kakak, atau pengasuh yang dibayar orang tua.
Perkataan dan perilaku yang dilakukan orang tua atau orang yang mengasuhnya akan ditiru dan diikuti oleh si anak.
Kenapa pendidikan pertama dan utama anak ada di tangan orang tua, bukan sekolah?
Karena sebelum masuk sekolah, anak lebih dulu mengenal orang tuanya. Bila kedua orang tuanya bekerja dan tidak bisa menemani anak, mereka tetap bertanggung jawab mendidik dengan cara menggaji pengasuh yang baik perkataan dan perilakunya.
Kalau tidak mampu menggaji pengasuh, orang tua harus memastikan bahwa keluarga yang mengasuh tidak berperilaku buruk yang dapat ditiru anak-anaknya. Pun menjaga agar anak tidak terpengaruh bila para tetangganya ternyata misal, sering berkata kasar, temperamen, merokok, melewatkan waktu salat, atau suka memukul.
Kita sudah mengasuh dan mendidik anak sesuai akhlak agama, tapi ketika masuk sekolah, ternyata ada temannya yang suka mengganggu. Apa yang harus kita lakukan?
Sekali lagi, anak yang belum akil-baligh belum bisa berpikir secara benar layaknya orang dewasa. Apa yang diucapkan dan dilakukannya adalah hasil dari meniru orang-orang disekitar yang sering dilihatnya.
Anak yang sering marah-marah bisa jadi karena melihat ibu atau ayahnya sering meledak-ledak. Pun anak yang sering mencuri uang kemungkinan karena tidak pernah dipenuhi keinginannya dibelikan sesuatu oleh orang tua.
Maka, bila anak memiliki disruptive behavior (perilaku mengganggu) di sekolah, berarti ada yang tidak ideal dari pola asuh yang diterimanya di rumah.
Penyebab Anak Bertingkah di Kelas dan Mengganggu Teman-temannya
1. Broken home. Melansir Research Gate, anak yang orang tuanya bercerai cenderung berperilaku agresif karena kehilangan perasaan nyaman dan bahagia akibat orang tuanya tidak lagi bersama.
Dia juga merasa disia-siakan dan tidak diterima oleh ayah dan ibunya, bahkan banyak anak yang merasa bersalah telah menjadi penyebab orang tuanya berpisah, padahal sama sekali bukan salah mereka.
Untuk melampiaskan semua perasaan itu dia jadi agresif dan mengganggu teman-teman di kelasnya supaya segala keresahan di jiwanya hilang.
2. Kurang interaksi dengan orang tua. Orang tua yang utuh bahkan ada di rumah sepanjang waktu juga bisa jadi penyabab anak agresif karena kurangnya waktu bercengkrama dengan orang tua.
Pola pikir orang tua yang menganggap anak harus selalu menurut dan tidak boleh membantah, membuat kemampuan bicara dan mengutarakan perasaan si anak terhambat.
Anak yang tidak dekat dengan orang tua jadi lebih sering meniru lingkungannya. Kalau ada tetangga atau tontonan yang sering memperlihatkan kata-kata kasar dan berperilaku buruk, dia akan mudah mengikutinya karena tidak ada filter yang mestinya diberikan orang tuanya.
3. Ada keinginan yang tidak terpenuhi. Anak yang dijanjikan sesuatu, tapi tidak kunjung dipenuhi juga bisa membuatnya agresif dan mengganggu teman-teman.
Dia merasa dibohongi, tidak dihargai, dan tidak diperhatikan sehingga berbuat ulah dan cari perhatian di kelas.
Maka hindari menjanjikan sesuatu kepada anak kalau kita tahu janji itu tidak bakal bisa dipenuhi. Itu juga melatih kita sebagai orang tua untuk tidak membohongi anak demi membuat dia tidak rewel atau ceriwis.
4. Energi melimpah yang tidak tersalurkan. Energi anak-anak sangat berlimpah dibanding orang tua.
Itu sebabnya mereka tidak bisa diam dan ingin selalu bergerak. Ada baiknya beri anak kegiatan fisik dan dampingi, misal bermain peran, main sepeda, karambol, atau les keterampilan sesuai minatnya.
5. Berkebutuhan khusus. Anak dengan diagnosa hiperaktif atau berkebutuhan khusus lainnya harus diterapi dan dibimbing secara khusus pula supaya terampil dan tidak mengganggu anak-anak lainnya.
Bila disatukan dengan anak-anak lain, yang berkebutuhan khusus dan yang tidak malah sama-sama tidak optimal pendidikan.
Bila Anak Terluka Karena Diganggu Teman
Terluka disini bisa berarti fisik atau mental. Anak yang sering diledek, kesehatan mentalnya bisa terganggu. Kemampuan akademiknya juga bisa menurun dan susah untuk menormalkannya kembali.
Sementara itu terluka secara fisik juga bisa menyebabkan anak trauma. Maka yang harus kita lakukan ketika anak terluka karena diganggu temannya di kelas adalah:
1. Beritahu wali kelas lebih dulu
Wali kelas haruslah jadi orang pertama yang kita hubungi kalau ada kejadian tidak enak yang menimpa anak di sekolah.
Kenapa? Karena "tempat kejadian perkara" ada di sekolah. Secara tidak langsung, wali kelas punya tanggung jawab mengawasi anak-anak yang ada di kelasnya, walau tidak setiap waktu.
Sebisa mungkin tahan diri dengan tidak menceritakan kejadian yang menimpa anak ke sesama orang tua sebelum memberitahu wali kelas.
Memberitahu ke sesama orang tua sebelum wali kelas bisa jadi bumerang. Kalau orang tua anak yang mengganggu tahu, mereka secara agresif dapat menyebarkan berita kalau anaknya hanya membela diri karena diganggu lebih dulu.
Padahal anak kita tidak ngapa-ngapain tiba-tiba dipukul, ditendang, atau dijegal.
2. Bangun mental anak
Anak yang terluka atau habis berkelahi dengan temannya tidak perlu dimarahi apalagi dinasehati sampai berbusa. Mental anak malah akan jatuh karena merasa tidak dipercaya orang tuanya.
Cukup beritahu anak kalau dia harus menghindari temannya yang sering mengganggu. Beri alasan kenapa dia harus menghindar, misalnya supaya si teman tahu kita tidak suka diganggu dan tidak mau berteman dengannya.
Beritahu anak kalau menghindar bukan berarti penakut, tapi karena kita tidak suka dengan perilaku buruk si teman.
Beri perhatian dan kata-kata lembut lebih banyak dari biasanya supaya anak tidak merasa sendirian menghadapi situasi tidak enak yang terjadi padanya di kelas.
3. Hindari melabrak orang tua dari anak yang mengganggu
Baik lewat WhatsApp atau bicara langsung, melabrak orang tua dari anak yang mengganggu sangat tidak disarankan karena akan membuat posisi jadi terbalik.
Kita bisa jadi pihak yang malah bersalah bila tidak sengaja melempar ancaman, marah-marah, atau menghina si orang tua.
Walau rasanya ingin ngomel, lebih baik kita sama sekali tidak memberitahu orang tua dari anak itu. Biar wali kelas yang memberitahu supaya efektif dan terhindar dari campur tangan orang tua lain yang seringkali malah memperkeruh keadaan.
Wali kelas sudah terdidik secara akademik untuk menghadapi situasi seperti ini, meski sebelumnya belum punya pengalaman serupa.
4. Tahan diri bergosip dengan sesama orang tua
Ini banyak dilakukan ibu-ibu saat ada waktu di sela menjemput anak. Mereka bisa saling ber-ghibah mengenai anak pengganggu tadi, juga bisa membicarakan orang tua anak itu.
Ghibah sangat tidak disarankan karena bisa menjurus kepada fitnah. Fitnah lebih kejam dari pembunuhan karena dampaknya bisa berlanjut amat lama.
Jadi, tahan diri sekuat mungkin meski kita jengkel ingin menjelekkan anak pengganggu dan orang tuanya. Paling penting dampingi anak kita supaya kalau terjadi sesuatu lagi padanya, anak kita bisa bercerita tanpa rasa ketakutan terhadap si teman pengganggu.
Solusi Mengawasi Anak Bila Kedua Orang Tua Bekerja
Beritahu keluarga yang mengasuh tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak.
Misal, orang yang mengasuh tidak boleh mengucapkan kata-kata negatif seperti sialan, asu, jancuk, bajingan, dan sebagainya.
Bila perlu percayakan pada pengasuh profesional seperti babysitter atau nanny. Dengan mereka kita bisa menanamkan pola asuh ideal tanpa rasa canggung.
Bila tidak mampu membayar pengasuh, bicarakan kepada kakek-nenek, paman-bibi, atau siapa pun keluarga yang mengasuh anak di rumah supaya pola asuhnya sama dengan kita dan tidak bertolak belakang.
Orang yang membantu mengasuh juga harus membatasi akses sinetron, YouTube, TikTok, media sosial, game, dan aktivitas internet lain bila anak sedang mengerjakan tugas sekolah.
Upayakan tetap bercengkrama dengan anak bukan cuma urusan PR dan tugas sekolah. Tentang kesukaannya, film terbaru, atau apa yang sedang disukai teman-temannya.
Mengasuh itu anak itu mudah, asal ada kemauan karena niat saja tidak cukup.
Dekorasi Kelas, Menyemangati atau Mengganggu Konsentrasi?
Sudah jamak kelas-kelas sekarang punya dekorasi yang wow dibanding zaman orde baru yang warna catnya cuma putih atau krem.
Dekorasi yang ada di kelas juga cuma foto Presiden Soeharto beserta wakilnya, dan nama-nama menteri disertai lambang Garuda Pancasila.
Dekorasi kelas berfungsi untuk menciptakan lingkungan yang nyaman supaya anak semangat belajar sekaligus menstimulasi kreativitasnya.
Itu sebab, dekorasi kelas dibuat semenarik mungkin, terutama di TK untuk mengenalkan aneka warna dan bentuk.
However, seperti apa dekorasi yang efektif membuat anak nyaman dan mendorong semangat belajar dan kreativitasnya? Apakah dekorasi yang ramai, megah, dan penuh warna?
Pengaruh Dekorasi Kelas
Riset yang dilakukan Carnegie Mellon University yang dimuat pada jurnal psikologi pada 2014, menemukan bahwa kelas yang didekorasi berlebihan dan tidak sesuai kebutuhan ternyata mengganggu konsentrasi belajar.
Anak-anak juga sering kehilangan perhatian pada guru ketika pembelajaran sedang berlangsung. Motivasi belajar juga menurun dan lebih kecil daripada mereka yang belajar di ruang kelas yang dekorasinya lebih sederhana.
![]() |
Contoh kelas dengan dekorasi angkasa luar yang berlebihan (foto: Mazaliee) |
Anak-anak yang belajar di kelas dengan dekorasi berlebihan juga cenderung lebih sering mengobrol dengan teman dan melakukan aktivitas selain pembelajaran (off-task behavior).
Meski begitu, pada anak yang lebih besar, kelas 6 keatas, dekorasi yang berlebihan tidak terlalu menganggu karena mereka lebih butuh kondisi yang sepi dan tenang untuk menjaga fokus.
Dekorasi Kelas dan Kurikulum 2013
Sebenarnya Kemdikbudristek sudah mengarahkan sekolah-sekolah untuk menggunakan Kurikulum Merdeka. Namun, untuk jenjang SD, baru kelas 1 dan 4 saja yang menggunakannya. Kelas lain masih memakai Kurikulum 2013 atau K13.
Bacaan Lain: Fakta Sekolah Gratis, Makin Banyak Fasilitas dan Prestasi Makin Tidak Bisa Gratis
Di buku Tema K13 ada pelajaran tentang Tema. Tapi, apakah ruang kelas lantas harus di cat gambar dinosaurus aneka jenis hanya karena guru menginginkan dekorasi kelas bertema lingkungan?
Lucunya, gambar aneka jenis dinosaurus itu dilukis tepat di samping papan tulis.
Lalu, pada kelas bertema sains, tembok dan langit-langit kelas dicat gambar ruang angkasa lengkap dengan astronot dan planet-planetnya.
Apakah harus seheboh itu mendekorasi kelas?Efek Kurikulum yang DIterapkan Salah Kaprah
Pada K13 tidak disebutkan secara eksplisit soal peran orang tua dalam pendidikan anak-anaknya di sekolah. Hanya disebutkan bahwa orang tua terlibat dalam pendidikan anak-anak mereka dan dapat memberi masukan kepada guru.
Terlibat dalam pendidikan maksudnya yaitu, pendidikan anak di luar sekolah jadi tanggung jawab orang tua. Tidak seperti zaman rikiplik di mana pembentukan akhlak, karakter, dan mental diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Orang tua tinggal bayar SPP dan terima beres.
Didalam K13, keterlibatan orang tua terhadap pendidikan dan sekolah difasilitasi dalam bentuk paguyuban kelas. Pengurus paguyuban dipilih oleh orang tua dan wali peserta didik kelas yang bersangkutan.
Apa yang menjadi aspirasi orang tua terhadap sekolah dapat disalurkan lewat paguyuban.
Namun, yang terjadi, kurikulum yang mendorong keterlibatan orang tua itu justru dimanfaatkan untuk kepentigan dan keegoisan si orang tua.
Misalnya, menentukan tempat karyawisata yang tidak ada hubungannya dengan pembelajaran atau mengutip banyak iuran kepada orang tua untuk membuat kaus kelas.
Bacaan Lain: Biaya Sekolah vs Jalan-jalan
Mendekorasi kelas secara berlebihan juga termasuk bentuk keegoisan orang tua yang mengatasnamakan anak.
Lagipula, anak kecil usia TK dan SD belum mengerti dekorasi apa yang mereka butuhkan di kelas. Mereka cuma ingin belajar bersama bapak-ibu guru dan bermain dengan teman-teman.
Maka idealnya kita lebih memprioritaskan kebutuhan belajar anak daripada dekorasi kelas.
Biaya Sekolah Vs Jalan-jalan
Buku Sekolah Versus Jalan-jalan
Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka
Fasilitas Sekolah
Pendidikan dan Investasi Masa Depan Anak