Padanan Kata Inggris ke Indonesia dari Medsos, Internet, dan Multimedia

Padanan Kata Inggris ke Indonesia dari Medsos, Internet, dan Multimedia

Memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan tulisan dan lisan sehari-hari bukan berarti kita tidak menguasai bahasa asing. Presiden Jokowi menguasai bahasa Inggris tapi beliau memlih menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato resmi acara kenegaraan di luar negeri. 

Selain karena sudah diamanatkan dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, juga karena sudah ada Perpres Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara. 

Lalu Perpres itu disempurnakan oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.

Buat kamu yang belum tahu padanan kata asing yang sering kita dengar sehari-hari seperti chatting, browser, atau outbound, emperbaca.com menyusunnya seperti dibawah ini. Makna dari padanan kata ini dibuat seusai KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) versi resmi Kemdikbudristek,

1. Outbound, padanan katanya: mancakrida yang artinya pelatihan yang memanfaatkan alam terbuka sebagai media, biasanya berbentuk permainan yang bertujuan untuk mengembangkan karakter diri dan meningkatkan kerja sama antarpeserta.

2. Outing dalam bahasa Indonesia berarti darmawisata. Maknanya yaitu perjalanan atau kunjungan singkat dengan tujuan bersenang-senang dan sebagainya.

Outing atau darmawisata bisa juga bermakna perjalanan yang dilakukan untuk tujuan rekreasi sambil mengenal baik objek wisata dan lingkungannya.

Related: Beda Outing Class, Outbound, dan Piknik Pada Anak Sekolah

3. Startup artinya perusahaan rintisan yang punya makna perusahaan yang baru dijalankan, biasanya memiliki sumber daya dan keuntungan terbatas, dapat dicirikan melalui penjualan produk atau layanan yang belum ada di pasar dengan dukungan teknologi.

4. Browser, padanan katanya: peramban yang artinya perangkat lunak komputer untuk mencari informasi dalam situs internet.

5. Online, padanan katanya: dalam jaringan (daring) yang berarti terhubung melalui jejaring komputer, internet, dan sebagainya.

6. Offline berarti luar jaringan/luring yang punya makna terputus dari jejaring komputer.

7. Download dalam bahasa Indonesia artinya unduh, mengunduh, terunduh, dan unduhan yang diambil dari bahasa Jawa. Kata unduh termasuk prakategorial, yaitu kata yang tidak dipakai dalam bentuk dasarnya.

8. Upload, artinya unggah atau menggunggah. Sama seperti unduh, kata ini diambil dari bahasa Jawa.

9. Briefing padanan katanya taklimat yang berarti pertemuan atau rapat yang diadakan untuk menyampaikan informasi tentang isu atau situasi mutakhir. Taklimat diambil dari bahasa Arab yang punya makna pemberitahuan.

10. Awkward, bahasa Inggris yang artinya canggung. Dalam KBBI canggung punya enam makna, yaitu:

  1. Kurang mahir atau tidak terampil dalam menggunakan sesuatu (karena belum biasa mengerjakannya); kikuk; kekok.
  2. Kurang enak dipakai; tidak mudah digunakan.
  3. Merasa tidak senang (tidak bebas); malu-malu (karena belum biasa bergaul, belum mengerti adat kebiasaan yang berlaku).
  4. Kaku (dalam arti kurang mengerti basa-basi, adat sopan santun).
  5. Kurang baik (buatannya, susunannya); agak janggal (tidak semestinya, tidak pada tempatnya)
  6. Dalam keadaan kekurangan (tentang kehidupan, kepandaian, dan sebagainya.

11. Game show kalau diartikan ke bahasa Indonesia jadi candawara, diambil dari bahasa Melayu Malaysia yang bermakna acara televisi berbentuk permainan yang dipertandingkan untuk mendapatkan hadiah.

12. Podcast, padanan katanya: siniar. Dalam bahasa Indonesia siniar bermaksa siaran (berita, musik, dan sebagainya) yang dibuat dalam format digital (baik audio maupun video) yang diunduh melalui internet.

13. AFK singkatan dari away from keyboard yang artinya pamit atau berhenti dari suatu aktivitas di dunia maya, seperti bermain gim atau melakukan obrolan daring. AFK sudah ada di KBBI sejak pemutakhiran April 2023.

14. Chatting dalam bahasa Indonesia artinya obrolan yang bermakna percakapan ringan dan santai; omong kosong.

15. Preorder padanan dalam bahasa Indonesia: prapesan. Kata prapesan belum ada di KBBI dan istilah ini berasal dari Ivan Lanin yang seorang pegiat bahasa Indonesia dan mantan anggota Badan Bahasa Kemdikbudristek.

16. Presale dapat diartikan sebagai prajual atau prapenjualan. Sama seperti prapesan, istilah prajual juga berasal dari Ivan Lanin dan belum ada di KBBI. 

Dalam bisnis, prajual berarti proses yang terjadi sebelum penjualan produk atau layanan. Tujuannya memberikan informasi pada calon pembeli/pelanggan untuk memahami dan menghargai nilai dari produk atau suatu layanan bisnis.

***

Bahasa Indonesia terbentuk karena pengaruh dari bahasa Arab, Jawa, Melayu, Portugis, Inggris, Belanda, dan beberapa bahasa lain yang diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata-kata baru.

Kalau dulu bahasa Indonesia sangat mirip dan identik dengan bahasa Melayu Malaysia (karena berasal dari rumpun yang sama), sekarang tidak lagi. Dari logat, kosakata, dan penyerapan, bahasa Indonesia sudah banyak berbeda dari bahasa Malaysia.

Orang Malaysia pun kini lebih banyak menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari, terutama di perkotaan.

Hal sama terjadi juga di Amerika Serikat di mana bahasa Inggrisnya sudah berbeda dengan bahasa Inggris asalnya.

Makanya bukan cuma bahasa Indonesia yang sering mengalami perubahan. Bahasa bangsa lain pun sama. Itu karena semua bahasa di dunia saling mempengaruhi seiring dengan makin luasnya interaksi antar-manusia dari lintas negara.

Cara Mudah Menulis Novel Dimulai dari Tokoh Utamanya

Cara Mudah Menulis Novel Dimulai dari Tokoh Utamanya

Suka banget nulis dan rajin bikin cerpen dan puisi? Sekarang saatnya kamu melangkah untuk menulis novel.

emperbaca.com

Ahh, susah! Novel kan panjang banget karena kita harus nulis puluhan bab dengan ratusan halaman. Enggak sesusah itu, Sobat! Karena menulis novel ternyata semudah kamu curhat ke bestie, lho!

Membuat karakter tokoh utama lebih dulu termasuk salah satu cara gampang menulis novel seperti saat kamu ngobrol dengan bestie. Karakter bestie dan kamu bisa digabung jadi karakter si tokoh utama novel. Dari satu tokoh utama kita bisa menciptakan para tokoh pendukung dan mengembangkan alur cerita.

Saat menulis alur cerita biasanya novelis lebih banyak menggunakan imajinasinya baru kemudian menggunakan data pendukung. Data pendukung ini berguna untuk membangun unsur plasibilitas dalam novel. 

Unsur Plausabilitas

 

Walau cerpen dan novel adalah karya fiksi yang mengandalkan imajinasi penulisnya, tapi kejadian yang ada dalam cerita haruslah masuk akal. Inilah yang disebut sebagai unsur plausibilitas, yaitu kejadian yang membentuk adegan apakah sesuai dengan logika kenyataan atau tidak.

Contoh dari unsur plausibilitas ketika kita menulis adegan soal Tono yang mengajak Tini menikmati bubur ayam di depan klenteng di Muntilan pada malam hari. Tono mengajak Tini makan bubur ayam di depan kleteng pada malam hari tidak masuk akal karena bubur ayam bukan makanan favorit orang Magelang, melainkan mi goreng.

Itu sebabnya tidak ada penjual bubur ayam di malam hari (pagi pun jarang), yang banyak adalah penjual mi goreng. Kalau Tono mengajak Tini makan mi goreng di depan klenteng Muntilan, ceritanya jadi masuk akal dan pembaca akan merasakan suasana yang lebih alami mengalir dari kalimat demi kalimat.

Hal itu dimungkinkan karena di dunia nyata mi goreng merupakan makanan favorit orang Muntilan dan kecamatan di Magelang ini sudah tersohor banyak penjual mi goreng khas Jawa yang lezat.

Jadi kalau kita ingin menulis novel yang punya adegan tentang lokasi dan kebiasaan masyarakat di wilayah yang bukan tempat tinggal kita, baiknya lakukan riset data dulu di internet. Lebih valid lagi kalau kita bertanya langsung kepada orang yang tinggal di wilayah yang ingin kita tulis itu.

Unsur plausibilitas juga diperlukan kalau kita menulis adegan jarak. Misal, jarak 150 km dari Jakarta berarti ada di Cianjur, Bogor, Purwakarta, dan Bandung yang ada di Jawa Barat. Itu artinya yang tinggal di lokasi itu adalah orang Sunda. 

Kalau kita menceritakan banyak kebudayaan Jawa di lokasi 150 km dari Jakarta, maka pembaca akan merasakan keganjilan. Kenapa yang diceritakan semua budaya Jawa padahal lokasinya didiami mayoritas orang Sunda.

Kalau kita menjauhkan jarak itu dari 150 km ke 300 km maka cerita dalam novel akan mengalir masuk akal karena 300 km sudah masuk wilayah Jawa Tengah di mana penduduknya menang berbudaya Jawa.

Meski demikian, novel tidak perlu memenuhi unsur plausibilitas kalau genre (jenis cerita) ceritanya 100 persen fantasi.

Contoh novel yang mengandalkan imajinasi, tapi tetap terasa masuk akal adalah Ender's Game.

Novel ini berkisah tentang pertempuran dengan mahkluk dari planet serangga. Lima puluh tahun lalu bumi menang lawan serangan alien serangga ini, tapi situasi belum aman karena sewaktu-waktu alien serangga ini bisa menyerang lagi.

Di dunia nyata mana ada alien yang menyerang bumi. Namun karena sedari paragraf awal di bab awal kita tahu itu novel fantasi, maka pikiran kita akan mengikuti novel itu sebagai novel fantasi yang 100 persen isinya khayalan belaka. Dengan begitu pembaca tidak lagi mempermasalahkan ceritanya masuk akal atau tidak.

Pengembangan Tokoh Utama

 

Sebelum mulai menyusun novel. Buatlah dulu si tokoh utama secara utuh dan lengkap dimulai dari hal berikut.
 
1. Nama. Buat nama si tokoh utama. Boleh dengan nama panjangnya atau nama panggilan saja. Tokoh utama yang cuma punya nama panggilan juga gak masalah, yang penting konsisten di semua bab dia cuma punya nama panggilan saja tanpa nama lengkap.
 
2. Penampilan fisik. Deskripsikan penampilan tokoh utama. Tinggi dan berat badannya, bentuk wajah, model rambut, dan ciri lain yang mau kamu tampilkan di novel.

3. Karakter. Bagaimana karakter si tokoh utama, apa dia pemalu, periang, jenius, pemurung, mudah bergaul, menderita gangguan kecemasan, bipolar, atau apa pun.

Karakter dan sifat apa saja boleh kamu buat untuk tokoh utama asal sifat dan karakter itu tidak kontradiktif di semua bab.

Kontradiktif maksudnya, di bab 1 kamu tulis si Menul periang, tapi di bab 2 kamu tulis si Menul orangnya minder. Lalu di bab 3 kamu bilang Menul pemalu, tapi di bab 4 kamu tulis si Menul galak.

Kalau kamu mau mengisahkan si tokoh utama mengidap gangguan mental yang membuat kepribadiannya berubah-ubah, sifat kontradiktif seperti itu boleh dimasukkan dalam alur di tiap bab. Namun kalau tokohnya normal, buat sifat dan karakter yang konsisten di tiap bab.

4. Latar belakang. Apakah si tokoh berasal dari keluarga bahagia, broken home, atau yatim-piatu.

Ungkapkan juga masa lalu si tokoh kalau dirasa perlu. Bagaimana masa lalu si tokoh kemudian mempengaruhi sifat dan karakternya di masa datang.
 

Tokoh Utama dan Adiksimba

 

Setelah si tokoh terbentuk, lalu kita buat kisah yang menyertai tokoh utama sesuai rumus umum menulis berita dan cerita, yaitu 5W+1H (what, where, why, who, when, dan how). Pada bahasa Indonesia disebut adiksimba (apa, di mana, kenapa, siapa, kapan, bagaimana).

1. Siapa. Dengan siapa saja si tokoh utama bergaul. Tulis nama-namanya. Nama ini tentu saja karangan kamu sendiri.

2. Apa. Apa saja yang dilakukan tokoh utama dengan para tokoh pendukung. Apakah mereka merusuh bersama, tertawa bersama, membuat konspirasi bareng, atau merencanakan apa saja yang sesuai imajinasi kamu.

3. Di mana. Di mana saja tokoh utama bertemu dan berhubungan dengan para tokoh pendukung. Apakah di rumah, di kampus, sekolah, kantor, jalan raya, depan kantor polisi, atau di mana saja.

4. Kapan. Ini mirip seperti di mana. Kamu juga harus menentukan kapan si tokoh utama bertemu dengan para pendukung.

Apakah saat tokoh utama berusia balita, dewasa, remaja, saat sudah tua, kemarin, hari ini, lusa, atau besok dari sudut waktu si tokoh utama.

5. Mengapa. Mengapa tokoh utama bisa akrab, bermusuhan, menjalin cinta, atau sama-sama meraih sukses dengan para tokoh pendukung.

6. Bagaimana. Bagaimana para tokoh pendukung berpengaruh terhadap kesuksesan, kesedihan, keberhasilan, dan kebahagiaan tokoh utama.

***

Itulah cara mudah menulis novel untuk pemula. Jadi gak usah banyak mikir, tulis saja dulu karakternya sesukamu. Setelah itu baru pengembangan cerita dan kisah para tokoh pendukungnya.

Kalau sudah menyusun tokoh utama dan tokoh pendukung, barulah kita membuat alur dan ceritanya. Namun sebelum menulis tentukan dulu kita mau nulis genre apa. Mau genre romansa, horor, petualangan, atau bahkan fantasi.

Beda Content Writer dan Blogger yang Tidak Sama Dengan Wartawan

Beda Content Writer dan Blogger yang Tidak Sama Dengan Wartawan

Content writer atau penulis konten adalah orang yang menulis untuk suatu blog, kolom di media massa, atau yang melakukan kegiatan jurnalisme warga (citizen journalism). 

content writer blogger

Content Writer yang Menulis Jurnalisme Warga 

 

Orang yang menulis kejadian menarik dan unik yang terjadi di wilayahnya dapat disebut sebagai penulis konten yang melakukan jurnalisme warga. 

Sementara itu arti dari jurnalisme warga adalah warga yang melaporkan kejadian unik dan menarik dalam bentuk reportase seperti wartawan yang meliput berita di lapangan. Reportase atau pelaporan ini bisa dalam bentuk video, audio seperti yang dilakukan radio, atau tulisan.

Yang harus diperhatikan kalau penulis konten ingin membuat artikel jurnalisme warga adalah sebagai berikut.

1. Memerhatikan kaidah dasar jurnalistik 5W+1H (why, what, when, where, who, dan how), dalam bahasa Indonesia diakronimkan jadi adiksimba, yaitu apa, di mana, kenapa, siapa, mengapa, dan bagaimana.

2. Tidak boleh memasukkan opini dan pandangannya terhadap suatu peristiwa, meski itu terjadi di lingkungan rumahnya sendiri.

Kenapa? Sesuai namanya "jurnalisme" tentu menyesuaikan dengan kaidah jurnalistik. Kalau si penulis ingin memasukkan opini dan pandangannya terhadap suatu peristiwa, maka dia tidak lagi menulis jurnalisme warga.

Jenis artikel yang cocok untuk ditulis kalau kita ingin memasukkan opini dan sudut pandang pada peristiwa yang sedang populer namanya feature.

3. Penulis konten tidak boleh menyebut dirinya jurnalis/wartawan. Sebabnya karena dia tidak bekerja di media massa.

Dia juga tidak boleh menyebut dirinya sebagai wartawan lepas (freelance) karena alasan sama seperti diatas. 

Content Writer di Blog Publik

 

Blog publik yang dikenal luas saat ini ada Kompasiana, IDNTimes, Seword, dan Mojok. Kita bisa pilih jadi content writer di sana kalau tidak mau repot urusan tata letak dan optimasi SEO di artikel dan blog.

Blog publik seperti yang disebut diatas juga membayar penulisnya dengan sejumlah uang setelah syarat dan ketentuan terpenuhi.

Misal, Kompasiana memberi K-Rewards kepada Kompasianer yang menulis minimal 8 artikel dengan unique view minimal 3000 telah dicapai tiap bulannya. Sementara itu Seword membayar penulisnya sebesar Rp3 per view.

Untuk Mojok tiap artikel dihargai dengan poin. Maksimal penulisnya bisa mengkonversi poin dengan uang Rp500.000 per bulan. Hal serupa dilakukan oleh IDNTimes.

Jadi, orang yang menulis di blog publik lebih tepat disebut sebagai content writer daripada blogger. 

Sebabnya karena dia menulis dan memposting tulisan di blog publik, tapi tidak memiliki dan mengelola blog tersebut.

Blog publik adalah blog yang mana semua orang bebas mem-posting tulisan mengikuti syarat dan ketentuan dari pengelola atau adminnya. Blog publik dikelola oleh tim sendiri, bukan dikelola oleh orang-orang yang menulis di blog tersebut.

Seseorang yang menulis fiksi (puisi, cerpen, novelet) di blog publik juga disebut sebagai content writer. Bila tidak mau pakai istilah content writer, mereka bisa menyebut diri sebagai penulis fiksi atau cerpenis (untuk penulis cerpen).

Blogger dan Pengelolaan Blog


Blogger, dalam bahasa Indonesia disebut sebagai narablog, adalah orang yang menulis, memiliki, sekaligus mengelola suatu blog.

Istilah blog pada 1990-an disebut sebagai web blog. Kemudian diperpendek jadi we blog karena para blogger mengelola situs, tapi situs itu tidak sama seperti situs web berita, pemerintah, swasta, perusahaan, atau yang lainnya.

We blog lalu dipendekkan jadi weblog dan sekarang hanya disebut sebagai blog saja.

Pembeda Blog dengan Situs Berita

 

1. Naungan

Situs berita dikelola oleh perusahaan pers yang terdaftar dan terverikasi di Dewan Pers. Wartawannya dilindungi oleh UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang berlaku lex specialis

Lex Specialis artinya aturan dan hukum di dalam UU Pers berlaku untuk kasus yang melibatkan wartawan, media, dan perusahaan pers. Jadi hakim tidak mengadili kasus pers memakai hukum pidana, tapi memakai UU Pers. 

Blogger tidak bernaung di bawah siapa pun. Dia bekerja sendiri untuk diri sendiri. Walau tidak ada yang menaungi, blogger tetap tunduk pada etika siber atau etika berinternet.

Termasuk dalam etika internet adalah mencantumkan sumber jika mengutip informasi dari situs lain. Sertakan juga link (tautan) yang bisa diklik ke sumber tersebut untuk menghargai bahwa situs itu telah memberi informasi yang kita butuhkan.

2. Penghasilan

Wartawan juga dapat gaji rutin dan tunjangan, seperti pekerjaan lain pada umumnya, dari perusahaan pers. 

Sedangkan blogger tidak dapat penghasilan dari siapa pun. Penghasilannya tergantung dari seberapa banyak dia memonetisasi blognya.

Monetisasi blog dapat dilakukan dengan memasang AdSense atau penyedia iklan sejenis, menjadi affiliate seller di marketplace (lokapasar) seperti Shopee. dan penulisan artikel yang dibayar sponsor yang dinamakan content placement.

3. Ciri Situs Berita dan Blog

Tiap situs berita pasti mencantumkan Pedoman Media Siber dan tim redaksi. Pada media-media arus utama seperti kompascom, detikcom, atau antaranewscom biasanya tidak mencantumkan nama-nama tim redaksi, tapi mereka pasti mencantumkan Pedoman Media Siber dan alamat kontak.

Sementara itu, blog tidak mencantumkan seperti yang ada pada media online. Yang ada pada blog adalah Privacy Policy (kebijakan privasi), About (tentang), Sitemap (peta situs), Disclaimer (penafian), dan Contact (kontak).

Keterangan-keterangan tersebut sebenarnya tidak wajib ada di blog. Keterangan itu dicantumkan untuk membuktikan kalau blog dikelola serius untuk memberi informasi kepada pengunjung internet dan isinya bisa dipertanggungjawabkan.

Bisa dipertanggungjawabkan artinya semua konten di blog itu tidak mengandung hal yang melanggar hukum seperti perjudian, pornografi, penipuan, dan tindak kriminal lainnya, juga tidak memuat berita bohong dan ujaran kebencian.

Beda Content Writer dengan Blogger


Singkatnya content writer hanya menulis untuk sebuah situs, sedangkan blogger menulis sekaligus mengatur dan mengurus situs tempat dia menulis.

Menjadi blogger butuh modal untuk membeli domain dan template blog. Sedangkan content writer tidak butuh modal materi untuk menjadi penulis pada blog publik atau media sosial.

Blogger bisa merangkap jadi content writer kalau dia menulis di blog publik atau di media massa sebagai kontributor. Sama juga, content writer bisa merangkap jadi blogger kalau dia mengelola sebuah blog dan aktif memperbarui konten blognya.

Kirim Naskah ke Penerbit Mayor, Indie, atau Self-Publishing, Mana Lebih Baik?

Kirim Naskah ke Penerbit Mayor, Indie, atau Self-Publishing, Mana Lebih Baik?

Disebut penerbit mayor (besar) karena selain punya modal besar, mereka punya jaringan dan sistem baku yang mengatur segala hal yang berkaitan dengan penerbitan buku.

Self-published

Niat Membuat Buku


Sebelum mengirim naskah ke penerbit, tanyakan dulu pada diri kita sendiri, apa niat kita membuat buku.

Misal,  niat kita inginnya menginspirasi orang lain agar tidak mudah menyerah dalam menggapai impian. Lalu kita pikir lagi,  supaya orang mau membaca dan terinspirasi, buku itu akan kita bagikan gratis atau orang harus beli?

Kenapa hal gituan aja dipikirin? Yang penting, kan, naskah dan bukunya.

Memikirkan akan dikemanakan buku yang telah kita tulis penting sebagai langkah awal memilih penerbit yang tepat.

Secara umum, ada empat tujuan orang menulis buku.

1. Kenang-kenangan. Menulis buku untuk kenang-kenangan terhadap diri sendiri atau untuk menginspirasi orang lain biasanya dibuat oleh tokoh masyarakat, pemuka agama, atau pemimpin daerah.

Mereka membuat buku untuk menceritakan perjalanan karir atau riwayat hidup yang penuh lika-liku sebelum akhirnya jadi orang sukses.

Kenang-kenangan seperti ini umumnya ditulis dalam bentuk memoar, biografi, dan otobiografi.

Kemudian, bagaimana cara seseorang menginspirasi lewat buku? Apakah buku itu dibagikan gratis supaya orang bisa membaca dan mendapat manfaatnya? Apakah orang harus membeli buku itu, atau bagaimana?

2. Nama dan kebanggaan. Bisa menghasilkan sebuah buku yang ditulis sendiri rasanya sebuah kebanggaan tiada tara. 

Apalagi buku yang kita tulis dipajang di toko buku dan dibeli orang secara suka rela. Rasanya bangga setengah mati.

Buku yang ditulis pendidik atau ASN juga bisa dijadikan nilai tambah untuk kenaikan pangkat dan jabatan.

3. Cari duit. Menulis untuk mendapat uang biasanya dilakukan blogger (narablog) atau penulis yang dalam setahun menghasilkan 2-3 buku.

Tapi blogger tidak menulis buku, melainkan menulis konten untuk blognya yang dimonetisasi. Sedangkan penulis buku yang menulis beberapa buku hanya dalam setahun biasanya karena mata pencaharian utamanya memang dari menulis.

4. Kepuasan batin. Orang dengan niat seperti ini biasanya tidak peduli apakah ada yang membaca bukunya atau tidak.

Yang penting mereka menulis untuk memenuhi hasrat. Orang yang menerbitkan buku untuk kepuasan batin biasanya adalah para penyuka buku yang hobi membaca.

Mereka juga tidak peduli berapa uang yang didapat dari penjualan bukunya karena sudah punya penghasilan lain. Menulis bagi mereka adalah hobi yang memuaskan batin sehingga tidak perlu dikomersialkan.

Penerbit Indie

 

Sesuai namanya, indie adalah kependekan dari independent (mandiri). Disebut independen karena penulis tidak harus mengikuti selera pasar seperti pada penerbit mayor. Juga tidak akan mengalami penyuntingan dan pemangkasan naskah berlebihan, bahkan tidak perlu mengikuti kaidah penulisan PUEBI dan KBBI.

Naskah apa pun boleh kita kirim ke penerbit indie tanpa adanya penolakan seperti yang dilakukan oleh penerbit mayor.

Penerbit indie menetapkan tarif, minimal Rp500.000 sampai jutaan rupiah tergantung kebutuhan penulis. Kalau penulis ingin bukunya dicetak dalam jumlah banyak, maka uang yang harus kita bayar juga besar.

Dengan nominal Rp500.000 biasanya kita akan dapat layanan penyuntingan naskah,  desain tata letak dan sampul buku, nomor ISBN, 1-2 buku yang dikirim ke alamat kita, dan royalti setiap bulan jika ada pembelian dari toko online si penerbit.

Salah satu penerbit indie yang mudah diajak kerja sama adalah Ellunar Publisher.

Self-Publishing

 

Penerbit atau penyedia layanan self-publshing tidak memungut tarif sepeser pun karena penyuntingan naskah, tata letak, dan sampul buku dilakukan oleh penulisnya sendiri, termasuk menjual bukunya. 

Penulis mengusahakan sendiri penerbitan bukunya secara pribadi, itulah yang dinamakan self-publishing.

Bila si penulis ingin dibuatkan sampul (cover) buku dan pengaturan tata letak, penyedia layanan self-publishing akan memberikan tarif terpisah yang sifatnya opsional, termasuk menyediakan layanan ISBN.

Jadi pada dasarnya kalau kita ingin menerbitkan buku sendiri, kita tinggal kirim naskah yang sudah tertata rapi format penulisannya dan desain sampul ke penyedia self-publishing. 

Berapa harga buku yang dijual juga kita sendiri yang menentukan. Laba atau keuntungan kita dapatkan setelah dipotong biaya pencetakan di penerbit self-publishing.

Penyedia layanan self-publishing akan menjual buku kita di toko online milik mereka dan mereka akan mengutip bagi hasil dari laba penjualan buku.

Misal, laba buku Rp9.000, penyedia self-publishing dapat Rp3.000, kita dapat Rp6.000 per buku yang terjual di toko online mereka. Kalau kita menjual langsung tanpa lewat toko online mereka, maka 100 persen laba akan masuk kantong kita sendiri.

Salah satu penyedia layanan self-publishing yang sudah lama ada adalah nulisbuku.com

Keuntungan Bila Buku Diterbitkan di Penerbit Mayor

 

Menerbitkan buku sekarang semudah menggoreng pisang. Siapa saja bisa membuat buku, menerbitkannya sendiri, lalu mempromosikan dan menjualnya sendiri. Buku sudah dilengkapi ISBN pula.

Akan tetapi, mengirim naskah ke penerbit mayor masih jadi pilihan utama banyak orang karena keuntungan yang didapat sebagai berikut.

1. Seluruh biaya ditanggung penerbit. Kita cuma menyediakan naskah saja. Pengaturan tata letak, desain sampul, penyuntingan naskah, dan penyusunan daftar isi diurus oleh penerbit.

Makanya biaya penerbitan mahal karena selain royalti untuk penulis, banyak orang yang harus dibayar untuk melakukan hal teknis selain penulisan naskah.

2. Buku sudah pasti masuk jaringan toko buku. Dibanding menerbitkan buku melalui penerbit indie dan self-publishing, buku yang diterbitkan oleh penerbit mayor sudah pasti masuk ke jaringan toko buku online dan toko fisik.

Buku kita jadi terdistribusikan ke seluruh Indonesia dan peluang lakunya jadi lebih besar.

3. Tidak perlu ikut jualan buku. Urusan promosi, distribusi, dan penjualan buku semuanya diurus penerbit. 

Kita tidak perlu jualan buku seperti kalau kita menerbitkan pada penerbit indie dan self-publishing. Tetapi kalau mau buku kita lebih laku, kita boleh saja mempromosikan buku itu dan menyarankan pembeliannya di marketplace (lokapasar) atau di toko buku terdekat.

4. Dapat pengakuan sebagai penulis yang menulis buku berkualitas. Nama penulis yang bukunya diterbikan penerbit indie lebih moncer daripada yang menerbitkan di penerbit indie dan self-publishing,

Ini terjadi karena untuk bisa tembus ke penerbit mayor sangat susah. Penulis yang menembus penerbit mayor dianggap punya kualitas naskah yang bagus.

***

Namun perlu diingat bahwa mengirim naskah ke penerbit mayor sangat amat susah untuk penulis pemula. Kalaupun naskah sudah diterima, kita akan mengalami perombakan besar-besaran yang disesuaikan selera penerbit yang mengacu pada selera pasar.

Selanjutnya soal pembagian royalti. Royalti untuk penulis debutan atau yang belum terkenal hanyalah 5 persen dari harga buku. Penulis sekelas Dewi Lestari dan Andrea Hirata pun cuma dapat 10 persen.

Royalti dibayarkan tiap enam bulan sekali jika kita pilih penerbitan naskah dengan sistem royalti. Kalau kita pilih sistem jual putus, penerbit akan membeli naskah kita seharga Rp3juta-Rp5juta.

Hak cipta sistem royalti ada di tangan penulis, sedangkan hak cipta naskah yang dijual putus ada di tangan penerbit. Andai naskah yang kita jual putus ternyata laku keras, maka kita tidak akan dapat duit sepeser pun. Semua masuk kantung penerbit karena hak cipta ada di tangan mereka dengan cara membelinya dari kita.

ISBN

 

Semua buku yang diterbitkan di penerbit mayor dan penerbit indie sudah pasti ada ISBN. ISBN sifatnya opsional kalau kita menerbitkan secara pribadi atau self-publishing.

ISBN (International Standart Book Numbering) adalah kode pengidentifikasian buku yang bersifat unik. 

Informasi tentang judul buku, penerbit, dan kelompok penerbit terangkum dalam ISBN. Karena itu satu nomor ISBN untuk satu buku akan berbeda dengan nomor ISBN untuk buku yang lain.

Di Indonesia, wewenang untuk memberikan ISBN ada di tangan Perpustakaan Nasional yang menjadi Badan Nasional ISBN.

Penulis bisa mencetak bukunya tanpa ISBN, tapi buku tersebut tidak akan masuk database Perpusnas dan Perpusda (Perpustakaan Daerah). Buku tanpa ISBN juga tidak bisa dijual di toko buku fisik dan online karena buku dianggap bukan hasil terbitan penerbit yang sah dan terverifikasi.

Penulis yang bukunya tidak ber-ISBN hanya bisa menjualnya melalui promosi di social circle miliknya dan teman-temannya, atau membagikan bukunya secara gratis.

Pajak Penulis

 

Definisi penulis menurut Direktorat Pajak adalah orang pribadi yang bekerja dengan menggunakan keahliannya berupa menulis, menggambar, dan/atau mengarang untuk menghasilkan suatu karya yang dapat dinikmati oleh orang lain.

Penghasilan royalti penulis seringkali dianggap sebagai bukan penghasilan dari kegiatan usaha sehingga menimbulkan penafsiran yang beragam terkait tata cara penentuan nilai penghasilan netonya.

Yang jadi persoalan:

  1. bayaran penulis jauh lebih minim daripada karyawan kantoran. Tidak semua yang menulis dan membuat buku itu dibayar layak. Bisa dihitung jari penulis yang dapat bayaran besar untuk karyanya. 
  2. Penulis sudah bayar pajak dari royalti mereka yang dipotong penerbit untuk pajak pembukuan.
  3. Penulis diharuskan lagi bayar pajak penghasilan (PPh) atas profesinya mereka sebagai penulis.

Inilah yang dipersoalkan Tere Liye karena ribetnya menghitung pajak penulis yang dialaminya di kantor pajak pada 2017 lalu sampai dia memutuskan seluruh kontrak yang tersisa di penerbit mayor.

Padahal penulis tidaklah bekerja seperti karyawan yang digaji rutin tiap bulannya. Penulis terkenal bahkan harus nego keras dengan penerbit mayor soal royalti yang akan mereka terima (saking kecilnya dan dipotong pajak pula).

Menkeu Sri Mulyani kemudian memberi solusi. Pajak penghasilan yang sudah dipungut oleh penerbit atas royalti dapat dijadikan sebagai kredit pajak yg akan menjadi pengurang pajak penghasilan yang terutang.

Mekanisme Norma Penghitungan

Bagi profesi penulis penghitungan normanya adalah 50 persen dari penghasilannya sebagai penulis (baik royalti maupun honorarium lainnya).

Maksudnya, biaya untuk menghasilkan buku bagi seorang penulis dianggap sebesar 50 persen dari penghasilannya. Artinya, setelah dihitung total penghasilan yang diperoleh oleh penulis selama satu tahun pajak dikalikan dengan 50%, sehingga diperoleh penghasilan netto. 

Sama dengan Wajib Pajak lain, dari penghasilan netto ini dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sehingga diperoleh penghasilan kena pajak. Kemudian, dari penghasilan kena pajak dihitung pajak penghasilan terutang menggunakan tarif pajak progresif sesuai dengan lapisan penghasilan.

Jadi, kawan-kawan yang penghasilannya dari menulis tidak sampai 4,8 miliar per tahun tidak akan dikenakan pajak.

***

pajak penghasilan yang sudah dipungut oleh penerbit atas royalti dapat dijadikan sebagai kredit pajak yg akan menjadi pengurang pajak penghasilan yang terutang.

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul "Ini Tulisan Sri Mulyani Tentang Tere Liye Soal Tarif Pajak Bagi Penulis", Klik selengkapnya di sini: https://kabar24.bisnis.com/read/20170911/15/688901/ini-tulisan-sri-mulyani-tentang-tere-liye-soal-tarif-pajak-bagi-penulis.
Author: Andhika Anggoro Wening
Editor : Andhika Anggoro Wening

Download aplikasi Bisnis.com terbaru untuk akses lebih cepat dan nyaman di sini:
Android: http://bit.ly/AppsBisniscomPS
iOS: http://bit.ly/A

Menerbitkan buku di penerbit mayor, indie, dan self-publishing semua ada kelebihan dan kekurangannya. Kita tinggal menyesuaikan dengan selera dan rencana jangka panjang.

Kalau kita punya rencana jangkan panjang untuk terus menerbitkan buku yang dijual di toko buku, maka usahakan agar buku kita tembus ke penerbit mayor. 

Bagaimana Caranya?

 

1. Baca ketentuan yang ada di situs milik penerbit mayor. Jangan kirim naskah sebelum kamu membaca betul-betul syarat yang mereka tetapkan.

Ada kurang lebih 31 penerbit mayor di Indonesia, beberapa diantaranya yaitu Gramedia Pustaka Utama, Mizan, Republika, Grasindo, Loka Media, Tiga Serangkai, Bentang Pustaka, Erlangga, Yudhistira, dan Diva Press.

2. Sesuaikan naskah dengan keinginan penerbit. Jangan kirim naskah novel fiksi ilmiah ke penerbit yang mengkhususkan diri pada penerbitan buku-buku Islam.

Maka sangat disarankan baca dulu ketentuan yang disyaratkan oleh penerbit di situs web mereka.

3. Naskah ditulis sesuai kaidah PUEBI dan KBBI. Naskah yang ditulis rapi membuktikan kamu benar-benar niat menerbitkan buku, bukan sekadar iseng.

Naskah yang penulisan huruf kapital, tanda baca, tanda kutip dan lain-lain yang sesuai PUEBI dan KBBI, apalagi yang tanpa typo, membuktikan kamu layak jadi penulis sekaligus memudahkan editor membaca naskah.

Naskah akan langsung masuk tempat sampah dan dianggap spam bila pada paragraf awal saja sudah banyak kesalahan penulisan.

4. Lakukan penyuntingan (editing) naskah sendiri. Diamkan naskah selama 1-2 hari tanpa dilihat sedikit pun.

Kemudian baca ulang naskah tersebut. Kamu akan lihat betapa banyak yang harus diubah, entah kaidah penulisannya, alurnya, atau pendalaman tokoh. Hal sama berlaku pada naskah nonfiksi.

5. Kirim naskah hanya kalau benar-benar sudah siap. Siap dalam arti halaman sudah rapi (tidak perlu daftar isi) lengkap dengan prakata, prolog, atau epilog bila ada.

Juga siap dalam arti tidak ada lagi kata yang typo (salah ketik), tanda baca yang berantakan dan penulisan huruf kapital yang keliru.

***

Menulis itu mudah, menerbitkan buku pun gampang, tapi bukan berarti semua prosesnya dianggap gampang. Proses menulis dan menerbitkan buku kadang bisa amat sulit, tapi hasilnya kelak akan sepadan dengan kesulitannya.

Parafrasa, Cara Termudah Menulis Artikel Tanpa Dianggap Plagiat tapi Minim Etika

Parafrasa, Cara Termudah Menulis Artikel Tanpa Dianggap Plagiat tapi Minim Etika

Banyak orang yang menulis ulang isi artikel dari media berita online untuk dijadikan artikel blog, terutama di blog publik. Dengan menulis ulang, isi berita media mainstream, orang tidak perlu repot mencari referensi. Peluang artikel kita dibaca banyak dibaca orang juga sangat besar karena topiknya sedang populer.

Yang begitu dinamakan parafrasa.

Cara gampang menulis

Secara formal, parafrasa (paraphrase) adalah bentuk pengungkapan kembali suatu kata, bahasa, kalimat atau pernyataan dengan menggunakan diksi (pemilihan kata) yang lebih sederhana, tapi tidak dengan mengubah makna dari bahasa tersebut.

Alasan Orang Menggunakan Parafrasa


1. Mudah ditulis tanpa dianggap plagiat. Walaupun isi artikelnya sama persis dengan yang ada di berita mainstream, seorang yang menulis parafrasa tidak dapat dianggap melakukan plagiarisme karena kalimat dan diksinya berbeda dengan yang ada di berita.

Itu artinya secara teknis si penulis parafrase tidak menjiplak artikel orang lain. Tetapi secara etika dia tidak pas disebut sebagai penulis.

2. Tidak perlu membuat artikel panjang. Isi artikel parafrase mirip dengan artikel berita sehingga hanya perlu memuat 5W+1H (why, when, where, who, what, how). Dalam bahasa Indonesia disebut adiksimba.

Bacaan Lain: Pronomina Kata Ganti Saya dan Aku

Karena itu penulisnya tidak perlu repot melakukan riset data seperti bila menulis artikel opini, atau bahkan tidak perlu memuat analisis para pakar bila dia menulis topik tertentu.

3. Jaminan dapat pembaca. Parafrasa banyak digunakan di topik yang terbaru atau yang sedang populer. Karenanya ketika seseorang mengetikkan kata kunci dari topik yang sedang ramai, kemungkinan artikel si penulis parafrasa muncul di halaman pertama Google juga lebih besar.

Peluang tambah besar bila si penulis menulis parafrasa di blog publik/blog sosial seperti Kompasiana, Seword, Terminal Mojok, atau Konten Pengguna Kumparan.

Parafrasa dan Etika Penulisan


1. Kata kunci dan SEO. Seorang blogger (narablog) sejatinya menghindari penulisan artikel parafrasa walau secara SEO, kata kunci yang digunakan dalam parafrase bisa menjaring banyak traffic.

Kalau sering menulis parafrase, suatu blog jadi tidak punya keunikan karena hanya memuat pengulangan berita tanpa ada pengetahuan baru yang dicari pembaca.

2. Mementingkan duit. Melihat poin pertama diatas, tidak heran kalau seseorang yang menulis parafrase kelihatan kental sekali mengutamakan materi, tanpa memedulikan kualitas artikelnya.

3. Plagiarisme terselubung. Dari sisi etika, parafrase adalah plagiarisme terselubung karena memuat topik, makna, dan bahasa yang sama, yang membedakan cuma kalimatnya saja.

Tidak ada kreativitas mengolah kata-kata, apalagi memuat opini dari sudut pandang lain. Suatu artikel jadi tidak punya orisinalitas karena penulisnya hanya menulis ulang dari artikel yang sudah ada.

Bisakah orang yang hanya menulis parafrasa disebut penulis atau narablog?

Bisa, tapi kompetensinya sebagai penulis amat rendah, kalau tidak disebut meragukan. Penulis parafrasa hanya menulis ulang dengan kalimat yang berbeda dari artikel yang sudah ada. Walau kalimatnya beda, tapi tidak ada kreativitas mengolah kata dan kalimat karena dia hanya menceritakan kembali.

Itu mirip seperti anak SD yang diminta menceritakan kembali isi film yang ditontonnya. 

Penulis parafrasa cukup membaca berita terkini atau artikel lain yang ingin ditulis ulang. Setelah selesai membaca dia tinggal menulis ulang apa yang sudah dia baca. 

Tidak perlu riset pustaka, tidak perlu beropini, tidak perlu mencari referensi data, dan cuma perlu ditulis dengan bahasa sederhana.

Maka dari itu, kompetensi seorang penulis parafrasa bahkan ada di bawah cerpenis dan penyair yang memikirkan sendiri tema, diksi, dan kalimat yang ditulisnya menjadi rangkaian kalimat-kalimat yang menggugah.

Menulis di Blog Pribadi atau Blog Publik? Ini Perbandingannya

Menulis di Blog Pribadi atau Blog Publik? Ini Perbandingannya

Memangnya masih ada orang yang baca blog? Semua, kan, sudah beralih melihat YouTube, TikTok, dan Instagram.

Data dari Statista menunjukkan jumlah pengguna internet aktif di Indonesia pada 2022 ada 210 juta. Jumlah itu diprediksi meningkat pada tahun 2026 menjadi 293 juta pengguna. Itu berarti makin banyak orang Indonesia tahu kegunaan internet, termasuk membaca blog untuk mencari bacaan ringan dan mendapat opini yang sehaluan.

Harus diakui, walau masih banyak orang yang membaca blog, tapi persentasenya lebih kecil dari yang menonton platfrom berbagi video. Pemasang iklan dari jenama ternama juga lebih memilih pasang iklan di situs berita arus utama daripada blog.

Pada tren iklan di internet, cost per click (CPC) dan cost per mile (CPM) AdSense pada blog dan website lebih rendah dari CPC dan CPM di YouTube. Bila seorang narablog (blogger) ingin CPC lebih besar, maka dia harus menulis blognya dalam bahasa Inggris.

Ini bukan karena sok nginggris atau tunduk pada asing, melainkan karena bahasa Inggris adalah bahasa paling mendunia yang dimengerti oleh orang di banyak negara. Maka jangkauan blog berbahasa Inggris lebih luas daripada yang berbahasa Indonesia.

Keuntungan Menulis di Blog Pribadi 


Keuntungan paling utama punya blog pribadi adalah kepuasan batin. Namanya saja blog sendiri, kita bebas saja mau mengisi dengan konten apa saja, asal tidak melanggar UU ITE dan hak karya cipta intelektual.

Berikut keuntungan mengelola blog pribadi.

1. Bebas mendesain dan mengatur tata letak sesuka hati

Terlepas dari keperluan SEO, kita bebas gonti-ganti header, warna blog, bahkan template sesuai selera. Kita juga bisa posting video bersamaan dengan artikel atau membuat meme dan mempostingnya di blog.

2. Bisa bikin konten tanpa terikat syarat dan ketentuan dari blog publik

Pengelola blog publik biasanya menerapkan berbagai syarat dan ketentuan untuk menjaga blog itu bebas spam dan penyebaran hoaks. Syarat dan ketentuan itu juga untuk menghindarkan dari tuntutan hukum pihak lain walau sudah ada disclaimer setiap konten adalah tanggung jawab penulisnya, bukan pengelola blog.

Blog juga bisa kita fungsikan sebagai buku harian dengan identitas anonim untuk mengeluarkan segala keresahan hati.

3. Bisa dimonetisasi

Blog pribadi dapat kita monetize dengan AdSense, Admob, Adsterra, Optad360, AdNow, atau Yllix. Banyaknya uang yang kita dapat tergantung dari seberapa serius kita mengelola blog dengan satu niche dan penerapan search engine optimization alias SEO.

Blog publik juga memberi insentif kepada penulisnya, tapi jumlahnya kecil dan kita harus memenuhi beberapa syarat dulu sebelum menerima bayaran.

Pendapatan dari blog pribadi bisa puluhan kali lipat lebih banyak dari insentif yang kita dapat di blog sosial, termasuk dari content placement.

Kelebihan Menulis di Blog Publik


Blog publik disebut juga blog sosial atau blog keroyokan karena penulisnya banyak dan bisa berasal dari semua kalangan, usia, dan latar belakang.

Blog publik paling terkenal saat ini adalah Kompasiana, Indonesiana, Mojok, Seword, dan IDNTimes. Namun, IDNTimes sudah bertransformasi jadi blog informatif, bukan lagi blog yang memuat opini dan jurnalisme warga.

Berikut adalah keuntungan dan kelebihan menulis di blog keroyokan.

1. Jaminan dapat pembaca

Para penulis di blog sosial akan saling membaca artikel satu sama lain. Itu artinya kita sudah pasti dapat pembaca walau tidak sampat seratus orang. 

Ide jadi tersampaikan dan ada kepuasaan saat tulisan kita dibaca dan dapat komentar positif dari orang lain.

Kalau mau artikel lebih banyak dibaca, kita harus membaca artikel orang lain lebih dulu kemudian memberi komentar. Dengan begitu penulis lain di blog publik akan balik berkunjung ke artikel kita.

2. Tidak direpotkan oleh SEO

SEO, domain, hosting, dan pengelolaan blog sosial sudah diurus oleh pengelola atau admin. Kita tinggal menulis, pilih gambar pendukung, lalu posting. Selesai.

Kita tidak perlu susah-susah menerapkan on-page SEO kalau menulis di blog publik. Tidak perlu pakai riset kata kunci segala seperti yang dilakukan banyak narablog supaya dapat pembaca dari mesin pencari.

3. Dapat bergabung di komunitas

Blog sosial biasanya juga menyediakan grup Telegram atau WhatsApp untuk para penulisnya ngobrol dan berbagi informasi.

Di Kompasiana komunitas itu sudah makin banyak dan spesifik. Ada komunitas khusus penyuka traveling, film, perempuan, kerohanian, bahkan komunitas ghibah.

Bergabung di komunitas dapat membuat kita tidak merasa kesepian sekaligus menambah wawasan tentang banyak hal.

Punya Blog Pribadi Sekaligus Menulis di Blog Publik?


Boleh saja. Banyak narablog yang juga menulis di blog publik, terutama mereka yang blognya ber-niche dan menghasilkan uang, tapi ingin menulis hal lain.

Supaya tidak menganggu niche (topik khusus) blognya, para narablog yang ingin menulis topik lain mempostingnya di blog publik.

Karena alasan itu juga, tidak ada narablog yang copy-paste artikel blog pribadi ke blog publik atau sebaliknya. Walau artikel milik sendiri yang ditulis sendiri, perbuatan itu tetap dianggap sebagai plagiat yang melanggar etika hak cipta.

Bacaan Lain: Riset Keyword dan Konten Evergreen 

Alasan lain orang punya blog pribadi, tapi menulis di blog publik adalah untuk memposisikan blognya supaya dikenal, terutama mereka yang baru merintis blog pribadi.

Apapun alasannya, punya blog pribadi sekaligus menulis di blog sosial tidak ada yang melarang. Yang penting si penulis selalu membuat artikel yang berbeda untuk tiap blog karena artikel termasuk hak atas kekayaan intelektual yang dilindungi oleh UU No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Hari Lahir Pancasila dan Generasi PMP yang Jungkir-Balik Menghapal Butir-butir Pancasila

Hari Lahir Pancasila dan Generasi PMP yang Jungkir-Balik Menghapal Butir-butir Pancasila

Bersyukurlah generasi yang sekolah setelah orde baru tumbang. Kamu enggak harus merasakan jungkir-balik menghapal butir-butir Pancasila tiap ulangan di mata pelajaran PMP.

Bidang studi PMP adalah singkatan dari Pendidikan Moral Pancasila. Semua yang dipelajari di bidang studi PMP sebenarnya amat mulia karena mengajarkan kerukunan. Sangat cocok untuk bangsa Indonesia yang multiagama dan multisuku.

Buku pelajaran PMP masa 1980-an (duniasosial.id)

Sebenarnya bidang studi (iya, dulu namanya bidang studi sebelum ganti jadi mata pelajaran) PMP sudah diganti nama sejak 1994 jadi PPKn, singkatan dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. 

Kemudian, sejak dibuatnya UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional nama PPKn berubah jadi PKN atau Pendidikan Kewarganegaraan, tanpa embel-embel Pancasila.

Meski demikian, sampai tahun 2022 dimana sekolah kini memakai Kurikulum 2013, Pancasila masih diajarkan di buku teks Tema. Murid dan siswa juga wajib menghapal Pancasila, walau tidak lagi jungkir-balik menghapal 45 Butir-butir Pancasila.

Kok ada siswa ada murid? Apa bedanya siswa dan murid?

Murid dan Siswa


Murid berasal dari bahasa Arab yaitu muriidan yang artinya punya keinginan, berkehendak, dan punya minat yang amat kuat untuk mengetahui sesuatu.

Sementara itu, kata siswa berasal dari bahasa Jawa "wasis" yang artinya pintar atau pandai. Kata siswa adalah kebalikan dari kata wasis, maka itu arti siswa adalah tidak (belum) pandai.

Melihat asal kata dan artinya, saya berkesimpulan bahwa kata 'murid' lebih cocok disematkan pada remaja SMP dan SMA. Mereka sudah tahu apa yang jadi minatnya di sekolah dan punya keinginan untuk mengetahui banyak hal.

Sementara anak SD lebih pas disebut sebagai siswa karena mereka belum banyak mengerti sehingga belum pandai. Mereka lebih sering mencontoh dan mengikuti daripada berinisiatif punya minat terhadap banyak hal.

However, yang terjadi selama ini sebaliknya. Semua orang menyebut "siswa SMP atau siswa SMA" dan "murid SD". Padahal secara terminologi, pemakaian kata siswa lebih pas untuk pelajar SD dan kata murid untuk pelajar SMP dan SMA.

Itu tidak keliru juga, karena kalau kita lihat pada KBBI, arti siswa sama dengan murid, yaitu mereka yang bersekolah di SD-SMA.

Bila merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2003, siswa adalah bagian dari anggota masyarakat yang sedang berusaha untuk mengembangkan potensi melalui pendidikan dalam tingkatan, jalur, dan jenis tertentu.

Sekarang semua anak sekolah lebih sering disebut sebagai peserta didik daripada murid dan siswa. Istilah peserta didik mencakup mereka yang belajar di madrasah, pesantren dan seminari.

PMP dan Butir-butir Pancasila


Kalau kita baca betul-betul semua butir pada Pancasila, sebetulnya bagus karena mencerminkan keaslian watak masyarakat Indonesia yang sangat beretika dan jauh dari barbar. Pancasila sudah amat cocok dengan Indonesia yang multiagama dan multisuku sebelum ideologi khilafah mengobrak-abrik negara ini atas nama agama.

Sayangnya, siswa dan murid, juga guru, sangat skeptis pada PMP karena mereka melihat materi yang dimuat pada PMP tidak sesuai kenyataan yang mereka lihat dan alami sehari-hari.

Pada waktu itu amat lazim melihat orang korupsi. Pak RW korupsi bantuan sosial, Pak Lurah minta upeti, lahan ganti rugi tidak dibayar oleh oknum pejabat, makelar tanah nilep uang ganti rugi, dan aneka jenis korupsi lainnya.

Kalau ada orang yang jujur malah aneh dan sering dicibir karena dianggap sok suci. Betul, lho! Makanya kalau ada orang yang mau kembali ke zaman orba itu aneh banget! Zaman itu tatanan masyarakat amburadul. 

Well, tidak semua, sih. Warga di desa-desa masih guyub, gotong-royong, dan sangat rukun, walau bantuan untuk mereka sering disunat aparat, walau padi mereka sering dibeli tengkulak meski belum panen, menyebabkan harganya jadi super murah. 

Makanya gak aneh juga kalau banyak murid SMP dan SMA bikin contekan yang berisi Butir-butir Pancasila. Mereka bikin contekan karena sama sekali tidak ada niat meresapi seperti apa pengejawantahan dari falsafah negara tersebut.

Melihat fakta sehari-hari yang bertolak-belakang dengan Pancasila dan Butir-butirnya, akhirnya bikin orang ingin membuang Pancasila setelah Soeharto tumbang tahun 1998.

Walau secara resmi namanya PKn, tanpa Pancasila, nyatanya guru dan murid masih menyebutnya dengan PPKn. Pun di Kurikulum 2013 masih ada pelajaran tentang Pancasila. Siswa tetap harus hapal lima sila dan pengamalannya, walau tidak lagi harus menghapal Butir-butir Pancasila sampai jungkir balik seperti pelajar di era sebelum reformasi.

Namun demikian, masih banyak orang ingin mempertahankan Pancasila sebagai salah satu peninggalan founding father. Pancasila juga sudah pas jadi cerminan masyarakat Indonesia yang sesungguhnya. Kalau pada zaman orde baru Pancasila cuma jadi alat propaganda, bukan Pancasilanya yang salah, melainkan penguasanya yang barbar.

Begitu kira-kira kaum penyelamat Pancasila beragumen. Jadi, Pancasila selamat, tapi sebagian orang merasa kini mereka berdarah-darah mempertahankan ideologi bangsa ditengah maraknya keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara dengan syariat Islam.

Indonesia tidak perlu jadi negara khilafah karena Pancasila sudah mencakup keseimbangan hambluminallah dan habluminannas sebagai Islam yang rahmatan lil alamin. Indonesia dan Pancasila itu sendiri sudah Islami. 


Pancasila
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Hari Lahir Pancasila tiap 1 Juni tidak harus diperingati dengan memaksa guru dan pelajar upacara di sekolah, melainkan membangun kesadaran kalau Pancasila itu rangkuman dari kebiasaan sehari-hari masyarakat Indonesia, apapun agama dan sukunya.

Tiada bangsa lain yang cocok punya ideologi seperti Pancasila selain Indonesia karena Pancasila dibuat dari keseharian orang Indonesia, oleh orang Indonesia, dan untuk bangsa Indonesia.

Wartawan Media Cetak Tidak Boleh Merangkap Jadi Wartawan Media Online, Ini Alasannya!

Wartawan Media Cetak Tidak Boleh Merangkap Jadi Wartawan Media Online, Ini Alasannya!

Wartawan media cetak adalah wartawan yang bekerja di surat kabar, bisa koran, majalah, atau tabloid. Sedangkan wartawan media online sudah pasti bekerja pada media yang hanya terbit secara online (dalam jaringan/daring), seperti detik.com, kompas.com, antaranews.com, dan pikiran-rakyat.com.

Salah satu suratkabar harian anggota Serikat Penerbitan Pers dan Dewan Pers yang masih terbit sejak zaman orde baru (harianpelita.id) 

Walau Kompas dan Pikiran Rakyat juga punya koran cetak yang sudah terbit sejak internet belum ada, wartawan koran cetaknya tidak boleh bertukar peran jadi wartawan di kompas.com dan pikiran-rakyat.com, pun sebaliknya.

Tangkapan layar versi digital (epaper) dari suratkabar Harian Pikiran Rakyat

Bagaimana kalau si wartawan ditugaskan oleh grup media itu untuk menulis selang-seling di media online dan cetak bergantian?

Walau ada kemungkinan seperti itu, tapi amat jarang terjadi wartawan cetak ditugaskan ke online dan online ditugaskan meliput untuk versi cetak. Manajemen media cetak dan online berbeda. Kebijakan pemberitaannya pun berbeda karena mereka punya pemimpin redaksi yang beda juga.

Sebagai contoh, Kompas. Kita tahu ada kompas.com dan kompas.id. Dua media itu masing-masing punya wartawan sendiri yang tidak bersangkut-paut satu sama lain, walau mereka bekerja di grup media yang sama, yaitu Kompas.

Tangkapan layar versi digital atau epaper suratkabar Harian Kompas

Kompas.id adalah versi digital dari koran Harian Kompas, artinya apa yang ada di kompas.id sama plek seperti yang ada di Harian Kompas. Maka, pemberitaannya masih mengikuti kaidah jurnalistik yang taat pada kode etik wartawan dan UU Pers. Sementara kompas.com murni media online, maka pemberitaannya mengikuti ciri khas online, termasuk menggunakan teknik SEO (walau tidak banyak).

Pemberitaan


Bahasa berita media online tidak lagi mengutamakan kelengkapan menggunakan rumus 5W+1H (when, where, who, why, what, dan how) atau yang dalam bahasa Indonesia kita kenal dengan Adik Simba (apa, dimana, kapan, siapa, mengapa, dan bagaimana).

Kenapa tidak pakem memakai 5W+1H, padahal amat diperlukan supaya pembaca dapat informasi yang lengkap?

Banyak media online yang memecah satu topik menjadi 2-3 artikel. Satu artikel dapat memuat hanya 3W dan artikel lain memuat 2W+1H, atau sebaliknya. 

Mereka melakukan yang seperti itu supaya dapat banyak klik dari pembaca yang penasaran kelanjutan berita tersebut. Padahal sering kita lihat isi artikelnya sama saja, cuma beda judul dan ditambah info sedikit.

Cara Menulis Berita


Bila media cetak mengikuti 5W+1H, media online mengikuti kaidah SEO on-page. SEO on-page adalah teknik menulis ramah mesin pencari yang diterapkan dalam artikel saat si wartawan menulis sebuah berita.

Gunanya supaya saat orang mengetikkan kata kunci tertentu di mesin pencari semacam Google dan Bing, yang muncul di halaman pertama mesin pencari itu adalah artikel dari media tersebut. Syukur-syukur bisa nangkring di lima teratas. 

Orang malas mencari sampai ke bagian bawah, apalagi sampai halaman 2 dan seterusnya. Peluang berita itu diklik banyak orang sangat besar bila berada di nomor lima teratas pada halaman satu mesin pencari.

Berarti wartawan online juga harus menguasai SEO on-page? Tidak, mereka otomatis terbiasa menulis dengan gaya online saat sudah menguasai pekerjaannya sebagai wartawan berita online.

Sebagai contoh, kalau kita sering baca kompas.com kemudian ganti baca kompas.id, akan mudah melihat perbedaan gaya bahasa dan pemberitaan diantara keduanya, walau sama-sama media milik Kompas Gramedia Group.

Sekarang ini media penguasa mesin pencari adalah detik.com dan tribunnews.com. Kita ketikkan kata kunci tertentu, yang muncul paling atas kalau tidak Detik, ya Tribunnews.

Media Kuning

Kalau wartawan media cetak sama sekali tidak boleh membuat judul yang gak nyambung dengan isi beritanya, lalu bagaimana dengan media online

Media kuning atau yellow journalism adalah media yang tidak menggunakan kaidah jurnalistik karena lebih mementingkan sensasi. Judulnya sering vulgar dan dilebih-lebihkan untuk memancing rasa penasaran orang. Beritanya pun cuma seputar seks, gosip, dan kriminal.

Sebelum ada internet, istilah ini dikenal sebagai koran kuning, merujuk pada media cetak sebagai satu-satunya produk pers selain berita televisi.

Saya ingat, mendiang tokoh pers Leo Sabam Batubara yang juga mantan wakil ketua Dewan Pers 2007-2010, pernah mengatakan bahwa koran kuning bukan produk jurnalistik karena amat melanggar kaidah-kaidah jurnalistik.

Namun nyatanya media itu sangat disukai masyarakat kelas bawah dan penulis beritanya tetap disebut sebagai wartawan.

Malahan, koran kuning pertama di Indonesia, yaitu Pos Kota, didirikan oleh Harmoko. Harmoko mendirikan Pos Kota sebelum jadi menteri penerangan era Soeharto. Setelah dia jadi menteri lalu pensiun, Pos Kota bahkan masih terus terbit.

Lama-lama, muncul juga "koran kuning" di internet yang berciri sama dengan koran kuning cetak. Judulnya gak nyambung dengan isi artikel, isi beritanya penuh gosip dan sensasi, serta tidak pernah menulis berdasarkan narasumber yang kredibel.

Judul yang sering tidak nyambung dengan isi berita dan ditujukan untuk memancing rasa penasaran orang supaya mengklik berita tersebut dinamakan clickbait

Klik yang dilakukan orang akan menambah jumlah kunjungan (view) media tersebut yang lalu menambah pundi-pundi iklan yang masuk.

***

Karena banyak perbedaan antara media cetak dan online, maka wartawan media cetak tidak boleh merangkap jadi wartawan online dan sebaliknya.

Si wartawan sendiri yang akan kesulitan menerapkan gaya bahasa dan sudut pandang pemberitaan. Wartawan media online dituntut serba cepat menulis berita di internet. Sedangkan wartawan cetak masih punya waktu untuk melengkapi artikelnya karena deadline mereka relatif panjang dibanding media online.

Jumlah Kata Ideal Pada Artikel dan Kebiasaan Baca Netizen

Jumlah Kata Ideal Pada Artikel dan Kebiasaan Baca Netizen

Sewaktu mengisi kelas menulis untuk guru dan siswa  di Kabupaten Magelang, saya katakan pada mereka bahwa jumlah kata ideal dalam artikel adalah 800-1000.

Seorang Kompasianer yang sering kami panggil dengan Pastor Bobby pernah menulis bahwa jumlah kata dalam artikel untuk publikasi online alias blog, yang paling ideal adalah 400-1000 kata.


Sementara itu, banyak blogger (narablog) bilang bahwa jumlah kata yang ideal untuk artikel blog banyaknya 500-2000 kata. Lebih bagus kalau konsisten menulis dikisaran 1000 kata. Sebabnya, kata mereka, artikel akan dianggap lengkap oleh Google dan lebih mudah bagi artikel itu tampil di mesin pencari karena banyak kata kunci yang terangkut.

Soal kata kunci ini saya alami sendiri. Pada suatu waktu cerita pendek berjudul Asmara Sebundar Bola diklik banyak orang yang memasukkan kata kunci "Bambang Budi Asmara" di mesin pencari Bing.

Padahal cerpen itu tentang kisah asmara seorang pemain bola yang bernama Bambang, tapi bukan Bambang Budi Asmara.

Fleksibilitas Jumlah Kata Ideal Pada Artikel


Bagi saya, penetapan 800-1000 kata yang saya anjurkan di kelas menulis kemarin pertimbangannya karena kalau hanya 500 kata, artikel itu akan terlalu pendek untuk dibaca. Pembaca masih merasa ada  yang kurang dari artikel itu.

Jumlah kata ideal dalam artikel 800-1000 kata yang saya anjurkan, ideal untuk artikel jenis feature (karangan khas) dan esai. Panjang informasinya sudah memuaskan pembaca, tidak kependekan juga tidak kepanjangan.

Sementara kalau lebih dari 1000 kata, artikel jadi terlalu panjang. Penulis artikelnya juga bakal kesulitan mencari subjudul apa saja yang dimasukkan ke dalam artikel untuk memenuhi jumlah 2000 kata. Artikel malah jadi bertele-tele ngalor-ngidul ngetan-ngulon.

Akan tetapi, jumlah 2000 kata amat mungkin jadi terasa pendek dibaca kalau artikel itu adalah jenis in-depth reporting atau reportase mendalam dari suatu peristiwa yang sedang populer.

Kalau untuk artikel berita (cetak dan digital) 300 kata saja sudah cukup. Apalagi media berita online sangat suka memecah 1 artikel jadi 2-3 artikel untuk kepentingan views dan mesin-pencari-minded guna menjaring iklan lebih banyak.

Kenapa banyak versi mengenai berapa jumlah kata ideal dalam artikel? Harus ikut yang mana?

Enggak usah ikut yang mana-mana. Namun, kalau kamu mau mau mulai nulis artikel di blog semisal Medium, Kompasiana, Brilio, Idntimes, atau blog pribadi, buatlah minimal 500 kata seperti yang disarankan banyak blogger, walaupun itu artikel curhat.

Makin panjang curhatmu, makin lega hatimu dan makin terhindar dari kemungkinan depresi. Apa iya begitu?

Lalu, bila pengetahuan kamu sudah lengkap tentang suatu topik, buatlah minimal 800 kata supaya pengetahuan dalam artikel lebih lengkap.

The most important of all, pastikan saja artikel kamu enak dibaca dan tidak mengulang-ulang kalimat walaupun untuk kepentingan kata kunci SEO.

Minat Baca Netizen


Netizen atau internet citizen adalah mereka yang sering membuka internet dan melakukan aktivitas dalam jaringan, misal mengepos sesuatu di medsos, membaca berita, berselancar mencari informasi, dan nonton hiburan yang menggunakan internet.

Menurut riset Nielsen pada 2020, mayoritas orang di internet akan membaca judul lebih dulu, men-scroll isinya sampai kebawah, baru kemudian membacanya jika artikel (nonberita) itu menarik minatnya.

Kebiasaan membaca seperti itu lazim ditemukan di banyak negara. Kalau di Indonesia saya yakin orang lebih suka baca judulnya saja untuk menyimpulkan isi artikel, baik berita maupun feature. Itu karena orang Indonesia memang tidak suka baca.


Makanya banyak media online membuat judul clickbait demi menarik minat baca orang walau judul itu sering gak nyambung dengan isi artikelnya.

Satu lagi fakta yang mungkin menyesakkan buat orang-orang yang hobi nulis panjang-lebar di blog, orang mencari informasi di internet karena benar-benar butuh, bukan karena mereka suka baca.

Amat jarang mereka membaca artikel sepanjang 500-800 kata hanya untuk mengisi waktu. Waktu luang mereka isi dengan membaca berita online dan memperhatikan medsos, bukan membaca blog. Artikel blog yang cuma berisi 300 kata pun mereka baca kalau memuat informasi yang mereka cari.

Membaca tuntas beribu-ribu kata hanya dilakukan oleh orang yang benar-benar suka baca, tidak punya buku untuk dibaca, dan kebanyakan kuota untuk dihabiskan..

Other than that, those who likes to write thousand words may lower their expectation to gain more readers, including me. Is that sad? No, it is challenging.

Riset Keyword Maju Mundur Lalu Jadi Konten Evergreen

Riset Keyword Maju Mundur Lalu Jadi Konten Evergreen

Semua narablog alias blogger pasti tahu kalau riset kata kunci alias keyword research itu adalah KOENTJI! Siapa yang menulis tanpa melakukan riset keyword, maka jangan harap blognya dikunjungi pembaca.

Blog yang tanpa pembaca....krikk..krikk... bakalan sulit di-monetize karena penyedia iklan seperti Adsense, OptAd, ADOP, Adsterra, dan lain-lain hanya membayar jika iklan mereka di sebuah blog tayang dan diklik puluhan ribu bahkan ratusan ribu kali dalam sebulan.

Jumlah tayangan dan klik iklan sebesar itu hanya bisa didapat oleh blog dengan ratusan ribu organic traffic dan unique pageview per bulannya.

Bagi blog baru, amatir, dan tidak punya niche (topik khusus) seperti emperbaca.com, iklan tetap bisa tampil di blog. However, kalau blog itu tidak ada yang baca, maka jumlah tayang dan klik iklannya juga nihil. 

Bagaimana mau ada yang klik iklan kalau takada sebiji orang pun yang mampir ke blog itu. Kalaupun sebuah blog ramai dikunjungi, iklan juga belum tentu tayang karena pengunjung memakai adblocker yang menghalangi munculnya iklan di peramban (browser) mereka.

Kasihan...

Maka dari itu, riset keyword amat penting dilakukan narablog jika ingin blognya ramai dibaca orang dan menghasilkan uang.

Saya pernah baca blog milik beberapa blogger yang nampaknya sudah gajian jutaan dari monetisasi blognya. Mereka bilang nulis tanpa riset keyword itu sia-sia dan bakal menenggelamkan blog kita ke halaman paling bawah di mesin pencari Google. SYEREM!


Maka saya ketar-ketir. Iya juga, ya. Kalau blog yang berulang tahun pada 24 Januari 2022 ini gak pernah ada yang baca, terus buat apa gue ngeblog? Buat kasih kerjaan ke penjual domain. Saya beli domain di rumahweb, by the way.

Apa Gunanya Riset Keyword?


Kata para narablog profesional yang berpenghasilan jutaan rupiah dari blognya, riset keyword gunanya supaya kita gak asal nulis buat ngisi blog. 

Misal, kita mau nulis: cara merawat anak kucing baru lahir. Kita lihat bagaimana persaingan di kata kunci tersebut. Berapa banyak orang yang mencari kata kunci itu tiap bulannya di mesin pencari. Dan, masih banyak lagi indikator yang akan memberi gambaran apakah suatu kata kunci bisa jadi artikel yang mejeng di halaman satu Google atau tidak.

Kalau artikel kita ada di page one Google, berarti kesempatan orang mampir ke blog itu makin BESAR. Hampir tidak ada orang yang mau capek-capek mencari sampai ke halaman-halaman berikutnya. Maka memastikan artikel kita ada di halaman 1 Google adalah satu langkah terdepan bila ingin menghasilkan uang dari blog.

Ozy Vebry Alandika, peraih Best in Specific Interest di Kompasiana Awards sekaligus blogger pendidikan di gurupenyemangat.com pernah memberitahu saya cara riset keyword supaya artikel cepat nangkring di halaman pertama Google.

Riset keyword ternyata mudah! Tapi, ternyata membuat mood menulis saya turun drastis karena bila keyword yang ingin tulis tidak punya search volume yang rendah dan lain-lainnya, saya harus mencari ide keyword lain. 

Menulis Perlu Mood?


Mood menulis menghilang seiring lamanya saya mencari ide keyword baru demi mejeng di page one Google. Akhirnya malah gak jadi nulis karena anak-anak keburu minta dibuatkan makan siang. What a waste.

Saya pernah riset keyword untuk keyword: metaverse dan multiverse karena tersentil oleh anak Twitter yang ngetwit bahwa bila mendengar kata metaverse, dia jadi ingat Doctor Strange. Padahal yang ada di Doctor Strange adalah multiverse.

Berdasarkan data dari Ubersuggest, keyword itu, "Gak banget, deh, mending nulis yang lain aja," tapi saya tetap nulis walau tahu tidak bakal dapat trafik dari mesin pencari manapun.

Selain dapat ide dari Twitter, tujuan utama saya waktu menulis metaverse dan multiverse adalah mengedukasi keluarga besar yang menganggap NFT, Criptocurrency, dan semua yang ada di internet dalam bentuk metaverse haram diperdagangkan karena tidak ada wujudnya. 

Kasihan sekali keluarga besar saya bila tidak mengikuti kemajuan zaman hanya karena terkungkung oleh pemahaman agama yang sempit. 

Islam itu sendiri, pada Al-Qur'an dan Hadis serta riwayat para khulafaur rasyidin, banyak menyuratkan kita untuk maju, bukan melihat ke belakang. Yang dilihat perangnya terus, kafir melulu, bid'ah forever, dan haram always, sementara kemajuan ilmu pengetahuan yang dicapai para ilmuwan muslim tidak ditiru.

Lalu, kenapa menulis perlu mood? Kan, tinggal nulis aja gitu, apa susahnya ngetik? Mood (suasana hati) gampang dibangun, tapi juga bisa cepat hilang dalam satu kedipan mata. Jadi, bila sudah ada mood menulis, sebaiknya dijaga supaya tetap fokus pada apa yang mau ditulis dan menghasilkan tulisan bagus.  

Tujuan Ngeblog


Kalau gak pake riset keyword nyungsep, lho! Artikel-artikelnya gak ada yang nangkring di halaman 1 Google. Nanti Adsensenya gak payout karena nulis artikel yang CPC-nya nol terus.

Kembali ke tujuan kita ngeblog. Kalau tujuan awal kita ngeblog untuk nulis sambil cari duit, maka riset keyword WAJIB dilakukan. Makin banyak artikel kita yang muncul di halaman satu Google (dan mesin pencari  lain), makin besar kita dapat trafik. Makin banyak trafik maka blog kita makin bernilai seiring dengan naiknya domain authority dan page authority,

Saya sendiri punya blog di Blogspot sudah lama banget, jadi tinggal nerusin saja. Dulu belum tahu (tidak mau tahu) soal riset keyword, SEO on-page, template blog yang mobile friendly dll. Bahkan saya sempat meninggalkan Blogspot dan beli hosting sendiri supaya bebas mengkreasikan tampilan blog.

Buat saya ngeblog itu mengasah bakat menulis yang muncul sejak kelas 3 SD. Ngeblog juga mewujudkan cita-cita masa kecil ingin punya penerbitan majalah sendiri. Waktu itu saya melihat yang bekerja di media massa, terutama wartawan, adalah orang yang keren karena mereka pintar, cerdas, serba tahu, dan kenal banyak orang.

Ternyata setelah mengalami sendiri jadi wartawan, rasanya melelahkan. Lalu resign setahun kemudian.

Walaupun kita ngeblog bukan berdasar money oriented, setidaknya pakailah template yang SEO friendly. Template emperbaca.com ini skor SEO-nya 61. Cuma, SEO on-page-nya berantakan dan tidak pakai riset keyword, jadi saldo Adsensenya juga belum cukup buat jajan cilok.

Perbarui Konten Secara Rutin


Rutin disini maksudnya tiap hari, ya, bukan sebulan sekali. Sesuai namanya, salah satu ciri weblog adalah keterbaruan konten yang lebih cepat dari website milik Pemda.

Walau kita tidak melakukan riset keyword dan menulis dengan teknik SEO on-page, makin rajin kita posting artikel (yang berkualitas), makin besar peluang kita nongol di Google, minimal di halaman 5-10. 

Artikel berkualitas, adalah artikel yang:

1. Ditulis dengan disertai riset data atau riset pustaka. 
Kalau kamu curhat punya bestie toxic, maka sertakan info apa efek negatif punya bestie yang toxic. Sertakan sumber dari mana info itu didapat atau pasang sebagai link aktif di dalam artikel. 

2. Lengkap. Kalau kamu punya pengalaman pribadi yang berhubungan dengan topik yang ditulis, sertakan pengalaman itu. Secukupnya aja, gak usah jadi biografi. Pengalaman orang lain juga boleh.

Tulis artikel selengkap-lengkapnya dan sedetail-detailnya. Walau orang Indonesia gak suka baca  yang panjang-panjang, tapi Google suka artikel panjang karena dianggap lengkap. Kita perlu mengikuti Google karena pembaca kita nanti akan lebih banyak berasal dari Google.

3. Mematuhi ketentuan jumlah kata. Jumlah kata yang disarankan dalam sebuah artikel minimal 300-500 kata, tapi banyak blogger Indonesia yang menyarankan kita menulis mininal 800-1000 kata supaya mudah terbaca robot Google yang melakukan indexing ke blog kita.

Kalau kamu menganggap dengan 500 kata saja informasi diartikelmu sudah lengkap, ya sudah. Tidak perlu diperpanjang sampai 1000 kata karena malah bikin artikelmu jadi ngalor-ngidul gajelas.

Konten Evergreen


Selama tiga bulan emperbaca.com mengudara, saya banyak membaca blog yang SEO banget dengan taksiran penghasilan minimal Rp1,8jt per bulan. 

(FYI: upah blogger dari AdSense jauh lebih kecil dibanding YouTuber, by the way)

Dari situ saya berkesimpulan bahwa jenis konten seperti emperbaca.com ini termasuk blog dengan konten evergreen.

Blog dengan konten evergeen adalah blog yang konten-kontennya tidak lekang dimakan waktu walau tanggal postingnya sudah lama. Isi dari artikel evergreen relevan dibaca kapan saja, bahkan bertahun-tahun mendatang karena topik yang dibahas tidak mengikuti isu dan tren yang sedang populer.

Blog evergreen biasanya tidak punya niche (topik khusus) alias isinya gado-gado. Meski begitu, blog dengan konten evergreen bisa saja punya niche, misal blog musik, blog teater, atau blog pertanian. 

Blog evergreen yang punya satu niche bahkan amat mudah di-monetize. Para advertiser yang pasang iklan di Google Ads, Facebook, dll senang pada blog yang fokus pada niche tertentu ketimbang blog gado-gado yang hari ini bahas musik, besoknya bahas minyak goreng mahal.

***

Last but not least, pakai riset keyword atau tidak, blog di-monetize atau tidak, ada yang baca atau tidak, tetaplah menulis. Menulis bisa mencegah kita pikun. Juga mencegah kita dari perbuatan ghibah di medsos. Pun membuat kita bahagia karena menulis bisa jadi tempat mencurahkan isi hati walau pakai bahasa campur-campur ala keminggris.