Strategi Kampanye Yahud Untuk Memenangkan Jokowi (atau) Prabowo Jadi Presiden di 2019

Tahun depan (2019) kita akan memilih presiden dan wakilnya yang akan memimpin Indonesia sampai 2023. Lagi-lagi yang jadi kandidatnya adalah Joko Widodo (dengan Ma'ruf Amin) dan Prabowo Subianto (dengan Sandiaga Salahuddin Uno).

Sosok Prabowo sendiri sebenarnya sudah kehabisan “bahan jualan” karena beliau sudah empat kali ikut sebagai peserta pemilihan presiden/wapres (2004-kalah konvensi Partai Golkar untuk posisi capres, 2009—Cawapres bersama Megawati, 2014—dikalahkan Joko Widodo). Banyak pengamat dan tokoh partai politik bilang bahwa untuk Pilpres 2019 ia lebih cocok jadi king maker daripada mencalonkan dirinya lagi.

Gerindra menyadari bahwa Prabowo adalah “barang lama”, maka mereka mencitrakan Prabowo Subianto menjadi “The New Prabowo” yang asyik dan cair.

Adanya branding baru terhadap Prabowo secara tidak langsung mengiyakan bahwa selama ini sosok Prabowo memang temperamental dan kaku.

So on, thanks to Sandiaga, elektabilitas Prabowo terdongkrak berkat dirinya. Dengan duitnya yang berlimpah (LKHPN Sandi sekitar Rp5 triliun) ia mudah ke pasar bertemu pedagang, ke pengajian bertemu ibu-ibu, ke gymnasium dan ke tempat nongkrong kaum milenial. Inilah keluwesan Sandiaga yang tidak dimiliki Prabowo. Latar belakang Sandi sebagai pengusaha membuatnya biasa bernegosiasi dan mencari peluang di celah sempit. Ia juga ramah dengan awak media selain tampangnya yang good looking.

Bukan tak mungkin gaya luwes Sandi mampu menarik suara anak muda. Di kalangan generasi milenial sendiri (berusia 22-37 tahun) Jokowi sudah populer sebagai presiden yang asyik yang suka pakai busana customized seperti mereka (kemeja, jaket, sneakers sampai motor), punya bicara yang sederhana dan tidak kaku seperti pejabat pada umumnya.

Jokowi juga senang nonton bioskop, festival musik, dan terkesan merakyat karena sering spontan menyapa warga di jalan dan makan di restoran yang sama dengan orang biasa.

Kubu Prabowo bisa saja mengalahkan Joko Widodo jika pola kampanyenya tidak mencari keburukan pemerintahan Jokowi, melainkan menonjolkan kelebihan Sandiaga dan menunjukkan kalau karakter Prabowo yang pemarah sudah berubah.

Hal ini mudah karena jauh sebelum ia terpilih menjadi wakil gubernur DKI, Sandiaga sudah memposisikan dirinya dekat dengan emak-emak, sehingga mungkin saja suara emak-emak tercurah untuk Prabowo-Sandiaga, meskipun dalam survei awal (Agustus 2018) versi LSI Denny JA kaum emak-emak berpihak pada Jokowi.

Kubu Jokowi juga harus memperkuat para buzzernya agar tidak terpancing provokasi kubu Prabowo yang selama ini sering melempar kabar bohong (hoax). Para buzzer media sosial harus diperkuat dengan data keberhasilan pemerintahan Jokowi dan menunjukkan bahwa Jokowi beserta keluarganya bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Kubu Prabowo juga harus lebih sering “bergaul” dengan rakyat di desa-desa. Menurut survei Alvara, Jokowi unggul di pedesaan— Suara ini mudah direbut Prabowo dengan strategi kampanye yang menunjukkan bahwa Sandiaga adalah mantan pengusaha yang punya pengalaman dan akan mudah membuka lapangan pekerjaan baru di daerah luar Jabodetabek.

Strategi kampanye yang simpatik dengan cara tidak menggunakan isu SARA, tidak menyebarkan berita bohong, dan lebih memberitakan keberhasilan apa yang akan dicapai jika Jokowi dan Prabowo jadi presiden, lebih menarik kepercayaan rakyat. Rakyat yang tadinya berencana golput akan memutuskan memberikan suaranya pada salah satu capres. Ini tentu menguntungkan bagi Jokowi dan Prabowo bukan?!

Selain mengurangi angka golput, kampanye yang teduh dan damai juga mengurangi tingkat stres rakyat sehingga mereka lebih produktif bekerja dan berkreasi. Jangan sampai situasi politik yang ribut dan gaduh menceburkan ekonomi Indonesia ke jurang kemiskinan lagi.

0 komentar

Posting Komentar