Sekolah Elit Sekolah Begajulan

Pic taken from ramadhanfaizal.multiply.com
Jumat, 16 September 2011, SMA 6 dan SMA 70 terlibat tawuran yang berlangsung di sekitaran sekolah mereka di Jalan Mahakam - Bulungan, Jakarta. Tawuran yang mereka lakukan bukan hal baru karena sejak dahulu kala kedua sekolah ini memang punya pentolan tawuran yang selalu ada di tiap angkatan. Kebetulan, wartawan Trans7, Oktaviardi, tertarik meliput tawuran itu karena mungkin dia menganggap tawuran antara dua sekolah elit bakal punya nilai berita yang tinggi. Tapi nahas Oktaviardi terjebak pada tawuran itu. Kamera dan kaset rekaman tawuran dirampas oleh orang yang diduga pelajar SMA 6.

Pada Senin, sekelompok wartawan mendatangi SMA 6 dengan maksud meminta kejelasan dan konfirmasi mengenai kaset rekaman yang diduga dirampas pelajar SMA 6. Saat dialog dengan pihak sekolah sedang berlangsung, diluar sekolah sudah terjadi bentrok antara pelajar dengan wartawan. Karena kalah jumlah wartawan dari Republika, Kompas, Trans TV, Seputar Indonesia, dan Media Indonesia luka-luka karena dikeroyok puluhan siswa.

Poin utama kasus ini buat saya adalah fakta bahwa telah berlangsungnya tawuran di SMA 6 dan SMA 70 selama bertahun-tahun. Dua sekolah itu dikenal sebagai sekolah favorit, sekolah elit yang isinya anak-anak pintar, sebagian anak-anak itu bahkan anak pejabat, jenderal polisi, politikus, dan pengusaha kondang. Karena statusnya yang "elit dan favorit" itu para guru dan kepala sekolah mestinya berupaya menghilangkan tradisi tawuran, bagaimanapun caranya, karena sekolah elit tidak bisa dibilang elit jika perilaku para siswanya begajulan.

Sifat begajulan itu bukan salah pelajar karena jiwa pelajar adalah jiwa remaja labil yang masih selalu ingin coba-coba meskipun hal itu berdampak buruk bagi dirinya. Pihak sekolahlah yang harusnya bertanggung jawab jangan sampai tawuran itu terjadi berulang-ulang dari tahun ke tahun.


Sebagai contoh, dulu saya bersekolah di sekolah swasta milik Kementerian (dulu departemen) Luar Negeri. Sekolah membuat peraturan bahwa siswa yang secara langsung terlibat tawuran akan langsung dikeluarkan, dan siswa yang tidak sengaja terlibat akan mendapat skorsing. Sekolah kami memakai nama dan alamat sekolah di sebelah kanan seragam untuk memberi identitas bahwa pemakai seragam benar siswa sekolah itu. Sekolah kami tidak pernah diserang dan atau menyerang anak sekolah lain jika kebetulan sekelompok dari kami berpapasan di bus atau di jalan.

Pernah ketika bubaran sekolah kami diserang oleh SMA (dulu SMU) tetangga yang memang terkenal doyan tawuran, namun teman-teman hanya berlari menghindari tanpa sedikitpun membalas. Sekolah lain menganggap kami pengecut, namun yang ada dipikiran teman-teman kala itu adalah jangan sampai mereka kena skors atau dikeluarkan dari sekolah. Karena itulah mereka lari menghindar. Namun rupanya SMU tetangga masih menganggap kami pengecut karena itulah sekolah kami diserang terang-terangan saat jam belajar masih berlangsung.

Guru memerintahkan siswa lelaki yang "berminat" tawuran untuk segera keluar dari lingkungan sekolah membalas lemparan batu supaya "pertarungan" tidak terjadi di dalam sekolah dan kondisi sekolah tidak rusak.

Sejak kejadian itu seragam sekolah kami tidak lagi memakai badge lokasi untuk menghindari diserangnya kami ketika berangkat atau pulang sekolah. Kepala sekolah mendatangi sekolah yang menyerang dan melapor ke polisi. Sekolah juga membuat aturan siswa dilarang berkumpul atau berkelompok alias nongkrong-nongkrong dalam radius 1 km dari sekolah.

Kepala sekolah dan para guru tambah gencar "mendoktrin" kami untuk lari dan tidak membalas ketika dipancing tawuran oleh sekolah lain. Hal ini untuk mencegah biang permusuhan diantara sekolah. Memang terkesan "cemen" tapi kami lebih takut oleh ancaman dikeluarkan dari sekolah daripada stempel "cemen" yang diberikan siswa sekolah lain.

Pada kasus SMA 6 dan SMA 70, alangkah sempurnanya bila guru, terutama kepala sekolah, bisa menegakkan aturan di sekolah untuk mendidik siswa-siswa agar tidak menjadikan tawuran sebagai hobi mereka. Berlangsungnya rutinitas tawuran yang sudah bertahun-tahun itu tidak mungkin terjadi tanpa pengetahuan kepala sekolah dan guru-guru, apalagi tawuran sering berlangsung di seputaran lokasi sekolah mereka.

Dalih sekolah bahwa tanggung jawab tidak pada meraka karena tawuran terjadi diluar jam sekolah juga tidak masuk akal karena para pelajar itu memakai seragam sekolah. Itu berarti mereka memang sengaja membawa identitas sebagai pelajar sekolah yang bersangkutan ketika tawuran berlangsung. Lebih lagi mereka kerap meneriakkan slogan kebanggaan sekolah ketika menyerang lawan. Itu artinya porsi tanggung jawab sekolah menegakkan disiplin perilaku, tata krama, etika, dan budi pekerti sama besarnya dengan orang tua.

Alangkah sayangnya kalau seorang remaja punya otak pintar namun perilakunya begajulan karena ia jadi tidak bisa menerapkan kepintarannya untuk hal yang positif bagi dirinya, juga untuk keluarga dan lingkungannya.

So, having smart brain without good manner and attitude is useless. 

0 komentar

Posting Komentar