Delapan

Delapan

Ikbal keluar bersama sepuluh temannya dari kantin lima menit sebelum jam makan malam berakhir pada pukul tujuh. Setelah bergurau beberapa saat mereka memisahkan diri ke arah yang berbeda.

Ikbal sendiri akan ke musala yang  bersisian dengan kantin untuk salat Isya, tapi matanya keburu melihat ke arah gerbang. Gerbang yang jadi satu-satunya akses keluar-masuk itu dalam keadaan terbuka untuk membiarkan tiga mobil jip lewat.

Ikbal segera tahu bahwa jip-jip itu membawa para mahasiswa baru yang akan dia mentori.

Para mahasiswa baru masuk satu minggu lebih lambat dari para mahasiwa tingkat atas di bulan September. Jeda waktu seminggu  dipakai Akademi untuk memberi pemantapan materi dan penyesuaian jadwal pada mahasiswa Trooper yang akan jadi mentor.

“Pastikan apa yang kau lakukan benar-benar mementori, bukan memelonco,” Ikbal ingat Profesor Sanker berkata seperti itu sampai tiga kali kepadanya pada tiga kesempatan berbeda.

Ikbal paham—meski Profesor Sanker tidak mengatakannya—bahwa dia sedang diingatkan agar kejadian saat dirinya jadi mahasiswa baru, yang angkatannya dimentori tiga orang Trooper, direndam dalam kolam renang selama satu jam pada tengah malam saat hujan deras.

Akibatnya lima temannya harus dirawat di klinik karena demam dan dua puluh lima sisanya diliburkan selama satu hari dari seluruh latihan dan perkuliahan. Lalu ketiga mentor dan teman-temannya dihukum menginap di sel kantor kepolisian resort setempat selama tujuh hari dan diperlakukan seperti tahanan kriminal. Sejak itu kamera pengawas diperbanyak bahkan dipasang di lorong-lorong asrama. Bisik-bisik bernada protes ramai diantara para mahasiswa, terutama yang saling menjalin kasih, karena diawasi seperti dalam penjara. Tapi tidak ada yang berani mengutarakan langsung pada Profesor Sanker atau para instruktur. Mereka hanya berani protes pada mentor yang juga tidak punya kekuasaan mengubah apapun di Akademi.

Ikbal kemudian masuk ke dalam musala. Senyum percaya diri tersungging di bibirnya.

Setiap tahun Akademi memindai lebih dari dua setengah juta remaja berusia tujuh belas tahun  yang melakukan perekaman kartu tanda penduduk, melalui kamera resolusi tinggi dan laser yang terhubung dengan pemindai biometrik milik direktorat kependudukan, untuk dipindai kimia otaknya.

  Nama-nama remaja yang punya kadar dopamin, norephineprin, serotonin, asetilkolin, asam glutamat, dan noradrenalin yang paling seimbang akan terkirim ke Kamar Kendali Akademi.

Segera setelah nama-nama itu lulus sekolah menengah atas, drone nano berbentuk mirip capung bergerak mengikuti mereka selama delapan jam sehari.  Drone dikendalikan di Kamar Kendali dan memantau apakah kegiatan siempunya nama berpotensi terlibat narkotika, pidana, asusila, perundungan, dan penilaian lain yang subjektif dari para dosen dan instruktur.

Mereka yang lolos kualifikasi akan diundang belajar dengan semua biaya ditanggung penuh Akademi.

Selalu ada penolakan dari orangtua dan wali yang keberatan kegiatan anaknya dimata-matai (sekaligus dipaksa untuk bergabung), tapi para instruktur sudah terlatih untuk bicara secara persuasif dan efektif. Berbekal surat izin kejaksaan dan kepolisian yang membolehkan Akademi memantau, maka tidak pernah ada gugatan hukum kepada Akademi.

Ketiga mobil itu masuk dan parkir di garasi luas beratap seperti hanggar dengan satu jendela lebar pada dindingnya.

 Zulfikar, Johan, dan Firzan turun dari Toyota hitam bersama Teddy dan Soni, dua instruktur yang menjemput mereka.

Komang dan Firzan juga turun dari mobil yang lain lalu menurunkan tas-tas bawaan mereka dari bagasi atas perintah Instruktur Ardo dan Dimas.

Dari mobil terakhir turun Karlie, Yasmine, dan Kiki. Mereka sudah mengeluarkan tas dari bagasi dibantu Instruktur Benny dan Helen.

Mereka semua memakai baju kasual berupa jeans dan celana panjang dengan kaos dan hanya Yasmine yang memakai dress motif bunga-bunga selutut warna biru lembut dengan sepatu flat warna senada. Dia juga yang membawa koper paling besar sementara yang lain hanya membawa ransel dan koper kabin.

Semuanya datang dengan pesawat bersama para instruktur yang menjemput. Hanya Karlie dan Firzan yang tidak karena mereka datang dari Jakarta dan Bogor yang bisa ditempuh menggunakan jalan darat. Tapi mereka pun harus menunggu lebih dulu di Bandar Udara Ngloram di Blora agar bisa bersama-sama teman seangkatannya berangkat ke Akademi di Jepara.

Instruktur Benny memberi isyarat dengan tangannya agar mereka mendekat, “Kita ke gedung Pranala. Kalian akan bertemu Profesor Sanker di sana.”

Sementara Benny membawa para mahasiswa baru ke Gedung Prabala, para instruktur yang lain pergi ke kantin untuk makan malam.

 “Siapa itu Profesor Sanker?” tanya suara milik Johan ketika Instruktur Benny menyebut nama tersebut.

“Kepala Akademi,” jawab Benny, “rektor kalau di universitas.”

“Ini semua punya Akademi atau bagaimana?” tanya Komang kepada Johan yang berjalan disebelahnya saat melihat tiga minivan, dua minibus, dan satu bus besar yang parkir rapi berjajar dengan sepuluh motor sport, dan lima motor bebek automatic.

 “Pastinya bukan punya opungku,” jawab Johan.

Komang melempar pandangannya lagi pada semua kendaraan yang ada di garasi. Matanya membesar dan mulutnya membulat ketika pandangannya tertumbuk pada Range Rover—mobil kesukaannya—yang parkir terpisah dari mobil-mobil yang lain. Range Rover itu tampak sedang diperbaiki oleh dua mekanik.

“Pak Benny, kendaraan semua ini punya Akademi?” tanya Komang.

Instruktur Benny tidak langsung menjawab karena dia lebih dulu menyapa seorang perempuan berkuncir kuda berbaju bengkel yang sedang menenteng aki.

“Iya—jangan panggil saya Pak, panggil nama saja tanpa embel-embel— semua kendaraan kami dapat dari lelang.”

Komang ingin menaksir berapa harga semua kendaraan di garasi tapi mereka keburu masuk ke dalam koridor kaca.

Koridor itu berupa terowongan kaca sepanjang  lima belas meter yang pada atap tingginya dipasang panel surya. Koridor kaca itu menghubungkan garasi dengan Gedung Prabala.

Instruktur Benny mengetikkan tujuh angka pada panel elektronik yang menempel pada pintu besi berkaca. Pintu menuju Gedung Prabala pun terbuka.

Bentuk Gedung Prabala seperti balok yang disusun asal tumpuk dengan warna coklat, abu-abu, dan merah hati. Pada  atap dan dinding-dinding luar gedung dipasang panel surya untuk mencukupi kebutuhan listrik di gedung itu. Cahaya matahari yang diserap panel surya disimpan dalam baterai. Energi pada baterai digunakan untuk menyalakan lampu, penyejuk ruangan, dan semua peralatan elektronik. Sedangkan panel surya yang dipasang di atap garasi digunakan juga untuk mengisi ulang daya mobil dan motor listrik.

Suasana formal kantoran langsung terasa saat memasuki lobi. Lantai marmer warna putih bergradasi marun memantulkan suara ketak-ketok dari sepatu Rita yang berhak.

Rita mengatakan bahwa di lantai satu terdapat ruangan tempat Profesor Sanker berkantor. Dia juga menyebut bahwa Instruktur Benny, Profesor Dorita, Tugis, dan para dosen punya ruangan di lantai ini juga (yang lain celingukan saling mencari tahu siapa gerangan Profesor Dorita dan Tugis).

Instruktur Benny menyuruh para lelaki membantu Yasmine membawa koper besarnya menaiki tangga ke lantai dua. Yasmine berkata bahwa seharusnya ada lift seperti yang biasa ada di kampus-kampus moderen. Instruktur Benny tidak menghiraukan ucapan Yasmine dan terus menaiki anak tangga.

Lantai dua sepi dan lengang karena staf administrasi dan kesekretariatan hanya bekerja sampai pukul delapan belas. Berbeda dengan garasi yang terang-benderang, semua lampu di sini sudah  dimatikan sehingga pandangan yang didapat hanya temaram saja. Lampu yang masih menyala berasal dari langit-langit dibawah tiga meja kerja yang menandakan siempunya masih bekerja. Meja-meja kerja di ruangan itu bersekat-sekat seukuran dada dengan panel warna-warna muda hijau, biru, dan kuning.

Cahaya yang berpendar dari lampu di lapangan masuk melalui jendela-jendela besar dan lebar yang tidak ditutup tirai sehingga ikut membantu pencahayaan di lantai dua Gedung Prabala itu.

Nampak sofa dan meja beralas karpet di beberapa sudut ruangan yang bila dilihat lebih cocok sebagai tempat bersantai seperti kafe daripada tempat untuk bekerja. Yang paling mencolok adalah keberadaan tiga meja bundar yang menempel dengan sofa bersandaran tinggi yang semuanya berjajar dekat jendela.

 Instruktur Benny disambut oleh perempuan yang memperkenalkan dirinya dengan nama Rita, sekretaris Profesor Sanker. Lalu Rita memperkenalkan Mita yang disebutnya sebagai sekretaris Profesor Dorita. Dan ada Ranti yang diperkenalkan sebagai kepala administrasi dan tata usaha.

“Kita ke ruang rapat, Benny?” kata Rita. Alis kirinya sedikit naik diatas kacamatanya yang berbingkai mata kucing. Perawakan wajahnya yang matang menyuratkan bahwa Rita berusia awal tiga puluhan.

Benny mengangguk, “Semuanya, kita ke ruang rapat,” katanya pada kedelapan mahasiswa baru tersebut.

Di meja ruang rapat telah ada laptop dan di pojok ruangan tersusun ransel-ransel hitam berukuran tiga puluh liter.

Masing-masing telah duduk di kursi  dengan laptop di depan mereka. Rita memberitahu bahwa laptop tersebut terbatas untuk kebutuhan belajar dan mengerjakan tugas.

“Tidak ada internet, tidak ada hiburan dan komunikasi, dan hanya untuk keperluan akademik. Tata tertib, panduan, dan peraturan-peraturan Akademi bisa dibaca pada berkas dalam laptop,” kata Rita. “Sekarang tolong keluarkan ponsel, jam tangan, laptop, tablet dan elektronik lain yang kalian bawa dari rumah.”

Mereka sudah diberitahu bahwa pemakaian barang elektronik pribadi hanya boleh dilakukan pada hari Minggu dan libur nasional jadi—dengan berat hati dan keengganan yang luar biasa—mereka  menyerahkan gawai-gawai mereka pada Ranti diiringi gerutuan kecil dari Yasmine yang tidak bisa lagi memajang foto dan video di media sosialnya.

Setelah tidak ada lagi gawai  pribadi yang disimpan, Mita bergerak membagikan ransel-ransel di pojok ruangan. Ransel itu tidak berat tapi juga bisa dibilang ringan. Isinya tiga pasang seragam latihan, dua pasang seragam kuliah, sepasang sepatu kets warna marun beserta kaus kakinya, sepasang sepatu pantofel hitam, buku-buku tulis, alat tulis, topi, dua kaos marun lengan panjang dan jaket marun bertulisan Akademi Insidental dan Keamanan Khusus, baju renang model selam, dan peralatan mandi berupa sabun batangan, sikat gigi, sampo, dan pasta gigi.

“Apa ukuran sepatunya pas?” tanya Karlie sambil memerhatikan sepatunya.

“Pasti pas, kalian sudah dipantau,” jawab Rita. Lalu dia menjelaskan bahwa semua kebutuhan belajar dan mandi disediakan Akademi. Jika ingin menggunakan milik pribadi harus melapor pada Ranti.

“Apa ada yang tidak ingin menggunakan alat mandi dan alat tulis dari Akademi?”

Karlie memberanikan diri mengangkat tangan kanannya.

“Saya ingin memakai alat mandi milik sendiri. Apa dibolehkan?”

“Boleh,” kali ini Ranti menjawab. Dia menanyakan nama Karlie lalu minta alat mandi yang ada di ransel dikembalikan.

Yasmine melakukan hal sama seperti Karlie dengan tidak memakai alat mandi dari Akademi.

“Apa merek sanitary-mu?” kata Yasmine pada Karlie sepekan mungkin.

“Glowy Glow.”

Yasmine berbinar, “Sama! Dulu aku pakai itu tapi sekarang pakai dari dokter. Kulitku sensitif…” perkataan Yasmine terpotong karena dua orang staf lelaki dari Kamar Kendali datang datang untuk memindai mata dan mengambil sidik jari mereka.

Setelah selesai dua orang itu pergi dan digantikan dua perawat dari klinik yang dengan cepat mengeluarkan selusin jarum suntik.

“Apa kita akan disuntik?” kata Yasmine cemas.

“Tidak, cuma ambil darah saja,” jawab Rita cepat.

“Bukannya sama-sama ditusuk jarum?!” celetuk Johan.

“Beda, kalau ambil darah jarumnya lebih besar,” timpal Komang bercanda.

Johan mengangguk cepat, “Betul itu! Supaya darahnya bisa terambil banyak.”

Yasmine cemberut dan memangku kanannya di meja karena cemas akan suntikan sekaligus sebal karena Komang dan Johan menggodanya.

Karlie mengusap pelan lengan Yasmine untuk menghiburnya.

Hanya beberapa detik setelah dua perawat pergi setelah mengambil darah, datang dua orang perempuan muda memakai celemek hitam membawa tumpukan nasi kotak. Mereka membagikan nasi kotak itu dengan cekatan kepada semua yang ada di ruangan.

Profesor Sanker datang tepat setelah kotak terakhir diletakkan di depan Karlie. Profesor Sanker menyapa lalu mengambil duduk di tengah-tengah mereka membuat Zulfikar menggeser duduknya ke kiri.

 Rita memberikan satu nasi kotak kepada Profesor Sanker.

Profesor Sanker mempersilakan mereka makan bersama dengannya. Rita duduk di belakang Profesor Sanker dengan wajah serius dengan menggenggam tablet ditangan kirinya.

Menu dalam nasi kotak itu berhasil membangkitkan rasa lapar pada Komang, Johan, Arun, dan Kiki yang langsung melahap nasi beserta ikan tongkol balado, sayur jagung muda, dan telur rebus yang ada dalam kotak.

Firzan menyingkirkan ikan tongkol agar jangan sampai mengenai lauk lainnya. Dia alergi ikan laut. Sekali makan seluruh tubuhnya akan gatal dan penuh bentol-bentol merah selama berjam-jam.

Zulfikar mengupas pisang susu dari kotak dan melahapnya. Karlie tidak lapar tapi dia tidak ingin terlihat tidak menghormati Profesor Sanker jadi dia mengikuti Zulfikar dengan memakan pisang. Yasmine tanpa sungkan menolak makan karena hari sudah malam. Dia hanya menghabiskan air mineralnya.

“Kenapa kami disebut Slugger, profesor, bukan mahasiswa?” tanya  Zulfikar ketika dalam ingatannya muncul informasi yang didapatnya dari Instruktur Soni.

“Sebetulnya kalian disebut petempur. Slugger hanya nama angkatan. Disebut petempur karena kalian mendapat pelatihan mendekati latihan polisi dan tentara hanya saja sudah dimodifikasi sesuai kebutuhan sipil,” Profesor Sanker memandangi semuanya dengan matanya yang teduh mengayomi, “Kalian juga tidak disebut taruna karena ini bukan akademi militer, kepolisian atau ikatan dinas kelembagaan. Maka kalian disebut petempur.”

“Berarti kita harus bertempur?” tanya Yasmine tegang.

“Kadang-kadang. Tapi tidak bertempur seperti tentara dan polisi, hanya pada situasi dimana polisi dan tentara tidak bisa berbuat melebihi kewenangan mereka.”

“Kalau lulus kita akan jadi sarjana apa, Prof?” kata Johan benar-benar ingin tahu.

“Kalian akan jadi Sarjana Sains Pertahanan Sipil. Sekilas gelar kalian mirip dengan lulusan Akademi TNI yang bergelar Sarjana Sains Terapan Pertahanan.”

“Berarti kita akan jadi Hansip,” gumam Komang sepelan mungkin agar tidak terdengar Profesor Sanker. Profesor Sanker mendengarnya namun hanya tersenyum dan tidak mengindahkan. Kiki menendang kaki Komang, mengingatkan supaya tidak menyeletuk sembarangan. Komang mendelik.

Tanya jawab dengan Profesor Sanker selesai pada pukul setengah sembilan malam. Rita dan Mita membawa mereka ke Gedung Pratisena—sebutan untuk gedung asrama—untuk beristirahat.

Letak Gedung Pratisena terpisah dari Gedung Prabala jadi mereka harus berjalan keluar Gedung Prabala dahulu.

Bentuk Gedung Pratisena mirip rumah susun dengan banyak jendela-jendela dan balkon kecil berpagar tinggi tapi tanpa jemuran yang menggantung. Di lantai satu terdapat pintu dengan lorong pendek yang menghubungkan Gedung Pratisena dengan musala dan klinik. Seperti Prabala, pada atap Pratisena juga terpasang panel surya.

“Para Slugger—kalian Slugger Satu—di lantai tiga bersama Slugger Dua. Lantai satu untuk Trooper dan lantai dua untuk Grunt,” kata Rita berjalan memimpin memasuki gedung asrama.

Yasmine mengeluh lagi karena mereka harus menaiki tangga ke lantai tiga. Kali ini kopernya digotong oleh Arun dan Firzan.

 “Semua lampu di komplek Akademi dipadamkan pukul  sepuluh malam dan dinyalakan lagi pukul empat pagi. Hanya musala, gerbang, Kamar Kendali, lampu jalan dan jembatan, sebagian Gedung Prabala, dan toilet umum yang menyala,” sambung Rita, “saluran air ke kamar-kamar hanya menyala pada pukul lima pagi dan lima sore. Jadi pastikan kalian punya cukup air dalam bak mandi.”

“Bagaimana kalau kita ingin kencing tengah malam?” tanya Firzan sungguh-sungguh.

“Toilet di setiap gedung tetap menyala, dan kalian kan dapat kamar mandi sendiri dalam kamar,”jawab Rita santai.

“Kamar mandi pribadi di tiap kamar!” kata Johan bersemangat diikuti seruan dan siulan gembira dari yang lain.

“Seperti hotel!”

“Apakah harus berlebihan seperti itu?!” ujar Kiki melihat teman-teman lelakinya melakukan tos, meskipun Arun melakukannya dengan wajah kaku, bingung di bagian mana dia harus senang.

Yes, Kiki! Memang kamu mau harus berbagi kamar kecil dengan orang lain? Kalau mereka jorok kita bisa ketularan penyakit!” sahut Yasmine.

Di asrama pada umumnya kamar mandi berada di luar kamar tidur dan digunakan bergantian oleh seluruh penghuni. Kamar mandi yang menyatu dengan kamar tidur berarti membebaskan mereka dari antrean dan perundungan yang mungkin dilakukan oleh kakak tingkat.

Rita memotong kegembiraan soal kamar mandi, “Usahakan baca arsip  sebanyak kalian bisa sebelum lampu padam. Lebih bagus kalau kalian sempat membacanya sampai habis.”

Sesampainya di lantai tiga Rita memberi masing-masing satu kamar karena jumlah mereka hanya delapan orang. Angkatan lain mendapat satu kamar untuk tiga orang. Jatah satu kamar untuk satu orang membuat para lelaki, ditambah Yasmine, melakukan tos lagi.

Semua orang masuk ke kamar untuk menaruh tas mereka. Para lelaki kemudian secara tak sengaja berkumpul di kamar Komang sementara para perempuan menolak ikut karena ingin membereskan barang-barang mereka.

Untungnya tak seorangpun lupa bahwa lampu akan padam pada pukul sepuluh malam, sehingga sebelum gelap mereka sudah kembali ke kamar masing-masing. Sebagian sudah terlelap, sebagian lagi gelisah, dan sebagian lagi membolak-balik tubuhnya karena sulit tidur. Suasana benar-benar sunyi sampai suara deburan ombak yang memecah karang terdengar sampai ke kamar-kamar.

Cerpen Wanita Malam

Cerpen Wanita Malam

Cerpen ini punya plot twist (pelintiran alur) yang tidak terduga. Kita akan mengira Dina betul-betul wanita nakal, ternyata tidak disangka.

Seringkali kita dengan mudahnya menilai seseorang dari tampilan luarnya. Cerpen karangan Ayunda Christina ini mengingatkan kita bahwa kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kehidupan seseorang apa pun yang kita lihat pada mereka.

Wanita Malam

Seorang lelaki dengan wajah kusut duduk di pelaminan, mendampingi wanita yang ditemuinya di sebuah klub malam di Jakarta.

“Kamu harus tetap ingat kalau aku ini sudah punya anak dan istri di Bandung,” lanjutnya.

“Aku tahu ini salah, tapi aku juga tidak semurah itu.”

Eric, sang pengantin lelaki berpenampilan kusut itu menunduk menahan tangis. Ia merasa bersalah pada anak istrinya yang tidak tahu apa-apa.

Dia terpaksa menikahi wanita Dina karena telanjur membuatnya hamil. Janinnya tidak dapat digugurkan meski sudah mencoba berbagai cara berkali-kali 

“Aku janji, aku akan bertanggung jawab untuk bayi ini, tapi jangan mengharap lebih, aku hanya mencintai istriku.” Gumam Eric pelan.

“Dan kamu juga jangan berprasangka buruk, aku juga nggak cinta sama kamu, semua ini demi anak yang ada didalam perutku ini,” balas Dina.

“Tolong besarkan anak ini dengan baik,” ucap Eric.

“Pasti! Aku tahu cara membesarkan anak, aku punya adik yang masih balita, sejak bayi aku ikut mengurusnya, aku sudah tahu bagaimana mengurus dan membesarkan anak.”

“Kalau ada apa-apa dengan dia, kabari aku lewat Rio."

“Iya.”

Acara syukuran keluarga kecil-kecilan berakhir sudah. “Oke, aku pamit, ya,” Eric berpamitan dengan sopan meninggalkan rumah Dina beberapa jam setelah syukuran selesai.

Dina memandangi Eric yang berjalan menuju mobil Alphardnya. Dina ingin sekali merasakan duduk di dalam mobil mewah itu. Pasti rasanya sangat nyaman dibanding duduk di atas jok motor Mio-nya yang sudah tercabik-cabik oleh cakaran kucing tetangga.

Namun, Dina masih merasa beruntung bisa menikmati beberapa hantaran mewah dari Eric berupa peralatan mandi, pakaian, hingga alas kaki mahal yang sulit untuk didapat jika ia tidak dinikahi Eric.

Sama seperti Eric yang merasa bersalah pada anak dan istrinya, Dina juga sama. Bukannya kuliah dengan benar Dina malahan sibuk dengan dunia gemerlap malam disaat Ali kakaknya susah payah membiayainya.

Dina mulai frustasi memikirkan masa depannya. Kuliah berantakan, lalu harus membesarkan anak tanpa suami yang terpaksa menikahi dan dinikahinya tanpa rasa sayang dan cinta. Rasa bersalah itu makin besar melihat emak yang hatinya kacau meratapi nasib anak gadis yang saat pulang ternyata sudah tidak gadis lagi.

Dina tidak pernah menyangka kalau dirinya akan hamil duluan. Seingatnya, saat itu ia pergi ke klub malam untuk bertemu dengan Rio, mantan pacarnya saat SMA, yang ternyata adalah supir pribadi Eric.

Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba Dina terbangun di kamar hotel dan mendapati Eric sedang tertidur pulas di sampingnya. Meski sempat terpana dengan ketampanan Eric, namun Dina tetap panik.

Eric juga sama kagetnya melihat Dina panik. Ia pikir Dina adalah wanita panggilan yang dipesankan Rio untuknya lewat aplikasi Wanita Malam. Yang sesungguhnya terjadi, Rio hanya memperkenalkan Dina pada Eric sebagai temannya, bukan wanita pesanannya.

Saat itu suara Rio tenggelam oleh dentuman musik yang menggelegar dan membuat Eric Salah paham. 

“Rio, antar kami ke hotel, nih cewek kayaknya udah mabok berat,” itu yang Eric ucapkan pada Rio, dan Rio yang masih polos pun menurut saja.

Pikir Rio, Eric kasihan melihat Dina dan ingin membawa Dina istirahat di hotel sambil menunggu si wanita malam sesungguhnya datang.

“Jadi semalam kitaaaa….” Dina semakin panik.

“Dan kamu? Maksudnya bukan cewek dari Wanita Malam?" wajah Eric tegang sekaligus tidak yakin pada yang telah diperbuatnya semalam. “Lalu kenapa Rio ngasih kamu buat aku?!” tanya Eric bingung.

Nggak tahu! Kalau Aku hamil gimana!!!” Dina menjerit histeris.

Dina betul hamil.

Pada saat itu pula, Dina mencoba berbagai cara untuk menggugurkan kandungannya, mulai dari minum jamu, makan nanas muda, hingga mengunjungi dukun beranak yang bisa menggugurkan janin. 

Namun, janinnya malah makin sehat saat Dina mencoba meminta bantuan dokter kandungan untuk menggugurkan bayinya, ditemani Rio.

Semua terlihat jelas saat dokter melakukan USG. Makhluk kecil didalam perut Dina seolah tersenyum menyapanya.

“Pak Eric, ini anak Dina, bisa dipastikan kalau ini anak Pak Eric juga, mukanya mirip Bapak, Dina juga bersedia untuk tes DNA jika nanti bayinya lahir dengan selamat,” kata Rio melapor pada Eric sambil menyodorkan foto bayi hasil USG 4D milik Dina.

“Iya, dia mirip saya,” bibir Eric bergetar meski dia tidak yakin karena bayi dalam kandungan tentulah sebenarnya belum terlihat berwajah mirip ayah atau ibunya.

“Kata Dina, kalau Bapak tidak menginginkannya nggak apa-apa, tapi Dina menuntut untuk dinikahi dulu agar anak ini bisa punya akta kelahiran, itu saja," tambah Rio.

"Aku tidak ingin keluargaku tahu jadi tidak bisa menikahinya secara resmi. Aku akan menikahi dia secara agama."

Eric tiba-tiba menciumi foto USG bayinya.

“Saya tidak mencintai Dina, tapi saya seperti terhubung dengan anak ini," ucap Eric sendu.

“Jadi, gimana, Pak?” Rio berharap-harap cemas menunggu jawaban Eric.

Mata Eric menerawang berpikir sejenak.

“Saya tidak mau menyusahkan anak ini,” lelaki berjas dan berdasi hitam itu berucap penuh kepastian. Ia juga tidak ingin dituduh sebagai lelaki yang tidak bertanggung jawab.

“Saya akan bertanggungjawab untuk anak ini, hanya untuk anak ini," lanjutnya. “Saya akan menikahinya. Untuk bayi saya.”

“Janji ya, Pak, karena kabar ini akan langsung saya sampaikan pada keluarga Dina di Magelang," ucap Rio.

“Saya janji, saya menyayangi bayi ini.”

“Walau Bapak nggak cinta ibunya, tolong jangan sakiti perasaannya, ya?” pesan Rio agak segan kepada bosnya itu.

“Tenang, kamu percaya, kan, kalau saya orang baik?” 

Rio memang meyakini Eric orang baik yang ketika bertemu Dina sedang butuh hiburan sesaat saja.

“Ya, Pak, Bapak memang baik, Bapak juga sayang sama keluarga, Bapak juga baik sama keluarga saya.”

“Tolong diingat, Rio, jangan sampai anak-istri saya tahu, kalau ada urusan apa-apa dengan bayi ini, kamu saja sebagai perantaranya.”

“Baik, Pak.”

Eric membekali sebuah amplop tebal berisi berlembar-lembar uang ratusan ribu rupiah sebagai tanda kesepakatan. Rio menerima amplop tersebut, “Terima kasih banyak, Pak.”

***

Eric melambaikan tangan pada Dina yang masih mengenakan kebayanya. Dina balas melambai sambil mengelus pelan perutnya. Perginya Eric berarti sampai disitu saja usia pernikahan sirinya.

Tidak apa-apa. Eric sudah bertanggungjawab dengan memberi tabungan untuk bayinya. Detik ini Dina bertekat untuk menata lagi hidupnya. Kini semua hidupnya hanya untuk anaknya.

Cerpen Mi Ayam dalam Secangkir Cappuccino

Cerpen Mi Ayam dalam Secangkir Cappuccino

Berdasarkan hasil pencarian yang masuk ke emperbaca.com di Google Search dan Bing yang memunculkan kata "cerpen romantis" maka emperbaca.com tuliskan cerpen yang bisa bikin hati jadi manis sekaligus meringis.

mi ayam dalam secangkir cappuccino

Berikut cerpen romantis manis berjudul Mi Ayam Dalam Secangkir Cappuccino. Seperti judul FTV, gak, sih? Mirip tidak apa-apa  yang penting enak dibaca dan tidak membosankan.

Mi Ayam dalam Secangkit Cappuccino

Cipto mematikan laptop dan memasukkan kedalam tasnya. Diperiksanya pesan WhatsApp di ponselnya untuk melihat apakah ada pesan dari Riana atau tidak.

Ada. Tercatat pesan itu datang lima belas menit lalu. 

Jangan terlambat ya nanti. Aku gak mau kelamaan nunggu.

Oke, oke. Memangnya kapan aku pernah terlambat? Cipto membatin. Dilihatnya jam di tangan kirinya, pukul lima sore. 

Meski janji temu dengan Riana masih satu jam lagi, tapi Cipto tetap pada niatnya semula untuk pergi tepat pukul 17.00 saat jam kantor selesai. Andai datang duluan pun dia tidak keberatan menunggu.

Cipto keluar dari ruangannya dan menyapa lima orang sales anak buahnya yang masih mengecek stok obat dalam daftar penjualan mereka. 

“Pulang tenggo, Mas?” tanya salah satunya. 

Cipto mengangguk.

“Tumben,” timpal yang lain.

 

"Ada urusan," jawab Cipto singkat.

 

Anak buahnya terkekeh saling melempar gurauan bahwa itu pasti urusan cinta. Kemudian ada suara yang mengatakan wajar karena Mas Cipto belum punya pacar. Yang lain menimpali kalau mereka harus syukuran kalau Mas Cipto benar punya pacar. 

 

Cipto tidak menjawab apa-apa dan hanya melempar senyum tipis, tidak menghiraukan gurauan-gurauan yang ditujukan padanya. Dia lalu keluar kantor menuju lift sambil menyampaikan sampai jumpa di hari Senin kepada para anak buahnya itu.

 

Jalanan di Jumat sore belakangan ini tidak semacet sebelum dibangun MRT, jadi Cipto masih bisa memacu sedannya merayapi jalan, tidak tersendat-sendat dan terhenti mendadak seperti siput tertabrak kura-kura. Cipto menyetel lagu pop kesukaannya yang mengalun merdu memenuhi kabin.

 

Tiga puluh menit kemudian Cipto sampai di Grand Indonesia. Dia sengaja mencari parkiran di basement yang lebih lapang. Ada pesan masuk di ponselnya, dari Riana.

 

Maaf, aku agak terlambat. Harus rapat mendadak. Klien complaint.

 

Cipto membalas bahwa dia tidak keberatan dan akan menunggu di CaffΓ© Milano, tempat temu janji mereka. Lalu emoji hati warna biru muncul dari balasan Riana.

 

Suasana di CaffΓ© Milano masih sepi. Cipto menyebut nama Riana sebagai pemesan tempat dan dia dibawa oleh pelayan ke meja dengan sofa melingkar berwarna krem. Dia memesan cappucino dan menangguhkan memesan makanan sampai Riana datang.

 

Ini tempat favorit Riana, katanya makanannya enak-enak. Adonan roti pizzanya renyah dan kenyal karena dimasak oleh chef asli Italia, beda dari pizza yang ada di Indonesia. Namun, yang paling disuka Riana adalah Smoke Salmon Burata yang dia bilang menu andalan kafe ini.

 

Apapun yang Riana suka, Cipto juga menyukainya walaupun lidahnya kurang menikmati citarasa makanan Italia.

 

Sebenarnya Cipto kenal Riana sejak SMP. Mereka pernah satu kelas dan beberapa kali mengerjakan tugas kelompok bersama. Riana anak yang ramah tiap mereka mengobrol dan bercanda tapi serius bila bicara soal pelajaran. 

 

Cipto juga sebenarnya pernah naksir Riana, tapi dia tidak pernah mengungkapkannya karena malu. Siapalah dia. Riana anak orang kaya, cantik, dan banyak cowok keren yang juga naksir padanya.

 

Mereka pisah sekolah ketika lulus. Riana ke SMA swasta dan Cipto ke sekolah negeri paling favorit se-Jakarta.


Saat di SMA Cipto juga naksir seorang perempuan teman sekelasnya karena punya pembawaan mirip Riana. Sayangnya, lagi-lagi dia malu mengungkapkan isi hatinya. Baru setelah kuliah dia melupakan Riana sepenuhnya.

 

Dunia ternyata memang sempit dan kalau jodoh katanya tidak kemana. Lima tahun setelah lulus kuliah, Cipto bertemu lagi dengan Riana di acara penandatanganan kontrak antara kantornya—distributor obat milik perusahaan farmasi terkemuka—dengan kantor Riana.

 

Riana ternyata mendirikan perusahaan komunikasi riset dan kantor Cipto memerlukan jasa konsultasi milik Riana untuk  branding produk penurunan berat badan.

 

Riana kuliah di Singapura lalu melanjutkan ke sekolah bisnis Harvard. Selepasnya dia bekerja di perusahaan milik seorang konglomerat Amerika selama tiga tahun lalu pulang ke Indonesia.

 

Lucunya, mereka baru dekat justru setelah kontrak kerjasama kantor Cipto dengan perusahaan Riana selesai.

 

Berawal dari bertukar nomor ponsel, ngopi bareng, bertukar pesan, bertemu, dan kali ini adalah pertemuan mereka yang ketiga dalam dua bulan terakhir, di kafe favorit Riana.

 

Musik instrumental di CaffΓ© Milano lamat-lamat terdengar makin keras seiring bertambah banyaknya orang yang datang.

 

Cipto memesan cappucinonya yang kedua. Riana belum juga datang dan lagi-lagi cuma mengirim pesan WhatsApp.

 

Maaf, setengah jam lagi aku sampai. Tunggu ya.

 

Cipto membalas singkat dengan huruf o dan k besar. Dia bersedia menunggu dan tidak merasa diremehkan meski harus menunggu hampir satu jam, karena Riana pantas untuk ditunggu.

 

Perempuan itu selalu memberi perhatian dengan cara tak terduga. Riana pernah mengirim makan siang untuk semua orang di kantor Cipto. Alhasil kepala cabang dan anak buahnya mengira dia sedang berulang tahun.

 

“Cipto, aku minta maaf, maaf banget, I’m very very late.” Riana akhirnya datang. Dia menghempaskan diri di sebelah Cipto kemudian memanggil pelayan dan memesan oglio olio Dan…

 

“Kenapa kamu gak pesan makanan?” tanyanya pada Cipto.

 

Cipto menggeleng, “Aku sudah kembung minum,” dia menunjuk dengan kepalanya dua cangkir cappucino di depannya.

 

Riana menunjukkan wajah bersalah disertai tatapan manja. “Maaf kamu kelamaan nunggu. Rapat tadi benar-benar mendadak karena karyawan baru salah kirim laporan ke klien,” Riana menggenggam tangan Cipto erat, meminta permakluman.

 

Cipto tersenyum, “Tidak apa-apa, aku ngerti. Tadi susah cari parkir?” katanya menutupi kegugupannya karena pertama kali bersentuhan fisik dengan Riana.

 

Riana menggeleng, “Aku naik ojek.”

 

Cipto tersedak, “Yang benar?!” 

 

“Cuma ojek yang bisa cepat sampai. Mobil kutinggal di kantor.”

 

Pesanan makanan dan minuman Riana datang dan dia melahapnya dengan cepat sampai Cipto mengira dia tidak makan berhari-hari.

 

“Lapar berat. Aku tadi belum makan siang,” sahut Riana lalu menyeruput jus semangka.

 

“Cipto, apa kamu punya perasaan terhadapku?” tanya Riana ketika dia selesai makan.

 

“Perasaan yang bagaimana?”

 

“Jatuh cinta.”

 

Cipto tidak langsung menjawab. Diseruputnya lagi cappucinonya. Dipandanginya wajah Riana yang berambut panjang itu. Mata Riana kelihatan bersinar dan berbinar.

 

“Jadi?” Riana mendesak.

 

“Apa?”

 

“Bagaimana perasaanmu terhadapku?”

 

“Aku suka padamu.”

 

Riana tidak puas, “Lalu?”

 

Cipto mengerti maksud Riana tapi tiba-tiba dia tidak yakin dengan perasaannya sendiri. Diseruputnya lagi cappucinonya sampai tetes terakhir.

 

“Kau tahu, aku menikmati setiap detik bersamamu. Aku juga menyukai semangatmu, kemandirianmu, dan semua perhatianmu untukku…” Cipto mengambil napas panjang alih-alih melanjutkan.

 

Riana duduk mendekat pada Cipto sampai tubuh mereka hampir saling menyentuh.

 

“Kau mau melanjutkan hubungan kita atau tidak?” ujar Riana.


Batin Cipto menggumam, hubungan yang mana? Kita belum pernah ada hubungan apapun. 

 

Tiba-tiba bayangan perempuan lain berkelebatan di benak Cipto. Perempuan yang dia kenal sebagai kerabat tetangganya.

 

“Cipto?”

 

“Ya?”

 

“Bagaimana?”

 

“Apanya?”

 

Riana menghela napas. Ditatapnya Cipto dalam-dalam, “Kau menyukaiku, menikmati waktu bersamaku, tapi tidak ingin melanjutkan hubungan denganku sebagai sepasang kekasih. Begitu maksudmu?”

 

Cipto tidak mampu menjawab.

 

“Maafkan aku, Riana.”

 

It’s alright. Terima kasih untuk waktumu, Cipto,” Riana mengecup pipi Cipto yang membuat wajah Cipto merona menahan malu dikecup di tengah keramaian CaffΓ© Milano.

 

“Oh ya, kau yang bayar tagihannya ya,” lanjut Riana yang lalu berdiri dan langsung menghilang dari pandangan Cipto.

 

Cipto merasa tak enak telah menyakiti hati Riana tapi sekaligus terpana pada sikap Riana yang tidak diduganya sama sekali.


Cipto membayar tagihan CaffΓ© Milano dan sesampainya di tempat parkir dia tidak langsung pergi. Cipto membuka menu kontak dan mencari nomor perempuan yang tadi muncul diingatannya. Perempuan manis dari kampung yang berkerabat dengan tetangganya yang punya butik.

 

“Eni? Hai. Kau pulang jam berapa? Boleh aku jemput? Kebetulan aku dekat dengan tempat kerjamu. Sekalian kita makan malam, ya. Oh, mi ayam dekat rumah? Oke. Aku ke tempatmu sekarang ya. Tunggu aku.”

 

Cipto memacu mobilnya sambil bersiul mengikuti lagu What a Wonderful World dari suara Ray Charles yang berkumandang di kabin sedannya.