FOMO dan JOMO, Ketakutan dan Kegembiraan Atas Keterlibatan Tren Sosial

FOMO dan JOMO, Ketakutan dan Kegembiraan Atas Keterlibatan Tren Sosial

JOMO merupakan akronim dari Joy of Missing Out. Kalau diterjemahkan secara bebas berarti ga ngaruh mau ketinggalan info, kegiatan, atau apa pun yang lagi viral, hidupku tetap menyenangkan dan aku tetap gembira (joy).

Kebalikan dari JOMO adalah FOMO, yaitu Fear of Mission Out di mana seseorang takut ketinggalan informasi dan tren terbaru baik makanan, fashion, dan gaya hidup.


Awal Mula Kemunculan FOMO

 

Riset dari University of Glasgow, Skotlandia pada 2019 terhadap 467 responden mengungkap bahwa para responden merasakan tuntutan sosial untuk selalu ada, dalam artian ada di medsos, ada di komunitas, dan ada untuk mengikuti tren yang sedang viral.

Itu sebabnya FOMO dianggap muncul berbarengan dengan tumbuhnya video games. Paling besar yang mempengaruhi seseorang menjadi FOMO adalah media sosial.

Terbaru, riset dari Journal of Social and Personal Relationships yang menyurvei 400 orang dari seluruh Amerika Serikat (AS), menemukan kalau paparan media sosial yang menyebabkan FOMO sudah meluas menjadi kecemasan.

Kecemasan itu diakibatkan kepercayaan diri yang rendah dan tidak menyayangi diri sendiri. Akibatnya seseorang merasa tidak rela atau sangat khawatir kalau orang lain bersenang-senang tanpa dirinya.

Menurut John M. Grohol, pendiri sekaligus pemimpin redaksi Psych Central, FOMO menyebabkan seseorang terus mencari teman baru supaya tidak ketinggalan tren, tapi mengabaikan teman lama. 

Awalnya diperkirakan empat dari sepuluh anak muda di AS dilaporkan mengidap FOMO. Kini orang berusia 14-47 tahun dianggap jadi usia paling rentan mengidap FOMO, terutama ketakutan ketinggalan sesuatu di lingkaran sosial mereka.

Beda FOMO dengan JOMO

 

JOMO adalah kebalikan dari FOMO. Semua yang dilakukan seorang FOMO tidak akan dilakukan JOMO.

Bila FOMO sangat peduli dan ingin selalu tahu dan terlibat dengan hal yang tren dan viral, JOMO hanya menikmati melakukan yang disukainya walaupun itu kuno.

Bagi seorang FOMO punya banyak teman itu penting. Walau tidak ada satu pun teman yang jadi bestie tidak apa-apa, yang penting temannya banyak. Itu sebab FOMO cenderung kesepian dan sering cemas memikirkan apa kata orang lain tentang dirinya.

Sedangkan bagi JOMO, yang penting adalah kualitas pertemanan, bukan kuantitas. Maka tidak masalah bagi JOMO kalau cuma punya segelintir teman.

FOMO selalu melihat media sosial sesering yang dia bisa, sebalknya JOMO amat jarang. Medsos hanya digunakan si JOMO kalau ada hal penting saja. Karena itu FOMO juga paling sering membuat konten daripada JOMO.

Kepercayaan diri seorang FOMO timbul kalau dia berhasil melakukan hal yang sedang tren dan sudah mengetahui sesuatu yang viral. Sedangkan si JOMO tidak pernah mau tahu apa saja yang sedang tren dan viral karena kepercayaan dirinya tetap sama tingginya.

Supaya Tidak Jadi FOMO

 

1. Minimalisir penggunaan media sosial. Medsos diyakini menjadi penyebab awal munculnya FOMO, maka membatasi melihat medsos adalah cara paling baik supaya terhindar jadi FOMO.

Kita boleh punya semua akun medsos, tapi batasi melihatnya sering-sering walau hanya untuk upload foto. Kalau tahan, batasi diri dengan hanya punya 1-2 akun medsos saja.

Silaturahmi dengan kerabat dan teman lama dapat dilakukan dengan bertelepon, SMS, atau via WhatsApp alih-alih lewat medsos.

2. Punya hubungan dengan orang lain. Profesor psikologi dari Washington State University Chris Barry menyarankan punya hubungan dekat dengan orang lain untuk menghindari perasaan terisolasi akibat Fear of Missing Out.

Hubungan ini bisa dengan keluarga inti, suami atau istri, anak, teman lama, atau tetangga sebelah rumah.

3. Kurangi minder. Yakinlah bahwa semua yang ada di dunia ini tidak sempurna. Punya kekurangan bukan aib, melainkan kodrat manusia. 

Dengan menerima kekurangan mau tidak mau kita jadi lebih menghargai dan menyayangi diri sendiri.

4. Kurangi baperan. Kalau ada celetukan-celetukan, misal, "Itu, kan, lagi viral, makanan dikasih nitrogen, masak gak tahu, sih?!" biar saja, tidak usah baper.

Kalau kita dibilang kudet dan kuper, biar saja. Mereka yang bilang begitu seringnya cuma ingin dirinya terlihat gaul.

5. Cari circle lain. Kalau kita sudah tidak nyaman dalam satu circle, kurangi bergaul dengan orang-orang di circle itu sebelum benar-benar meninggalkannya.

Cari lingkaran sosial lain yang membuat kita nyaman dan bisa jadi diri sendiri.

Konteks FOMO

 

FOMO dan JOMO yang dibahas emperbaca.com adalah dalam konteks psikologi. Pada bisnis dan metaverse dikenal juga istilah FOMO, tapi konteknya bukan dengan kepribadian.

FOMO pada manajemen bisnis digunakan supaya tidak ketinggalan tren kompetitor dan strategi marketing. FOMO juga digunakan untuk memilih investasi mana yang paling menguntungkan sesuai minat si investor.

Sedangkan pada perdagangan mata uang kripto (cryptocurrency), FOMO digunakan untuk mencermati turun-naik nilai kripto dan bagaimana membaca analisis teknikal dan fundamental supaya tidak terombang-ambing isu di forum kripto.

Bacaan Lain: Cara Belanja dan Makan dengan Cryptocurrency

FOMO, JOMO, dan Istilah missing out Lain

1. FOBO (Fear of Better Option).  Ini istilah untuk seorang yang sulit memilih diantara salah satu dari banyak hasil yang dia terima. 

2. ROMO (Reality of Missing Out). Ini mungkin biasa dialami para fan yang tergabung di fandom (fans kingdom). ROMO adalah perasaan takut kehilangan suatu hal fantastis yang kita tahu tidak bakal jadi bagian di dalamnya.

3. FOMOMO (Fear of the Mystery Of Missing Out). Ini versi parah dari pengidap FOMO. FOMOMO sudah tidak bisa lepas dari ponsel dan medsos sedetik pun.

4. MOMO (Mystery of Missing Out). Mengacu pada paranoia yang muncul ketika seseorang mendapati teman-temannya tidak memposting apa pun di media sosial. Dia jadi kehilangan informasi dari teman-temannya itu. Bisa juga paranoid kehilangan suatu info tentang mantan atau musuh.

5. FOJI (Fear of Joining In). Ketakukan kalau dia memposting sesuatu di medsos, tidak ada orang yang me-like.

6. BROMO. mengacu pada saat teman-teman seseorang (bros/brothers)saling melindungi dari merasa kehilangan atau ditinggalkan.

Contoh BROMO adalah jika teman-teman seseorang menahan diri untuk tidak memposting foto kegiatan bertiga, berempat orang yang ada dalam geng yang sama karena takut membuat siapa pun dalam geng itu merasa ditinggalkan

7. NEMO (Nearly but not fully Missing Out). Istilah ini bukan Nemo nama ikan, melainkan merujuk pada orang yang selalu online di internet, tapi justru jarang ngecek internet.

8. SLOMO (Slow to Missing Out). Mengacu pada perasaan bertahap yang datang pada seseorang kalau dia akan kehilangan sesuatu.

***

Munculnya macam-macam bentuk ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran seperti disebut diatas di dunia psikolog termasuk dalam mental yang tidak sehat.

Orang yang mengidap missing out harus berkonsultasi ke psikolog atau berobat ke psikiater bila tidak mau dan mampu mengatasinya sendiri supaya tidak jadi gangguan mental.


Hikikomori: Mental yang Goyah dari Kesenjangan dan Budaya Tinggi Ekspektasi

Hikikomori: Mental yang Goyah dari Kesenjangan dan Budaya Tinggi Ekspektasi

Hikikomori adalah sindrom gangguan mental di mana seseorang sengaja menarik diri dari lingkungan sosial dan tidak berinteraksi dengan siapa pun kecuali dengan keluarga inti.

Pemerintah Jepang mulai menyadari hikikomori di akhir 1990-an sampai kemudian jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun.

Berdasarkan sensus pemerintah Jepang pada 2016, orang yang mengisolasi diri di kamar dan rumah mereka ada 540.000 jiwa. Jumlah ini meningkat pada 2019 menjadi 800.000 orang. Mayoritas laki-laki berusia 15-39 tahun.

Melansir The Conversation, saat ini diperkirakan sudah 1,2 persen dari total penduduk Jepang yang mengidap hikikomori. Artinya sudah jutaan orang Jepang mengisolasi diri dalam jangka waktu lama.

Dari Mana Istilah Hikikomori Berasal?

 

Istilah hikikomori dicetuskan oleh psikiater Jepang Tamaki Saito pada tahun 1998, atas tanggapan terhadap krisis yang terjadi di kalangan pemuda Jepang. 

Pada masa itu sudah banyak anak muda menghindari sekolah dan acara sosial, sering tinggal di rumah selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun tanpa berkomunikasi dengan keluarga atau teman-teman.

Hikikomori diperburuk oleh kecanduan internet dan game, serta kemajuan teknologi yang memungkinkan orang tidak perlu berinteraksi di luar rumah untuk menjalankan hidup.

Ciri Seseorang Mengidap Hikikomori

 

  1. Para pelajar tidak mau berangkat ke sekolah. Orang yang punya pekerjaan tidak mau lagi berangkat bekerja.
  2. Sulit berinteraksi dengan orang di luar anggota keluarga.
  3. Menghindar dari lingkungan, situasi, dan interaksi sosial selama enam bulan berturut-turut.

Pengidap hikikomori dapat mengisolasi diri di rumah selama bertahun-tahun tanpa ada keinginan keluar rumah atau melakukan kontak dengan teman.

Penyebab HIkikomori

 

Sebelum mengisolasi diri, para pengidap hikikomori sering merasa tidak disukai, menganggap dunia tidak adil terhadapnya, kecewa terhadap suatu hal, takut berbuat salah, atau karena perundungan.

Ada juga yang melakukan hikikomori sebagai bentuk hukuman terhadap diri sendiri yang gagal memenuhi harapan orang tua, masyakarat, atau lingkungan sosial.

Misal, anak seorang chef ternama yang diharap mampu meneruskan usaha kuliner orang tuanya, ternyata tidak berbakat masak karena dia lebih tertarik menjadi penari. 

Tidak tahan pada desakan banyak orang (termasuk media massa dan orang tuanya sendiri) yang menginginkannya jadi chef dan pengusaha kuliner andal, lantas memicu anak melakukan hikikomori. Mengisolasi diri alih-alih berkarya di bidang lain dan tidak memedulikan perkataan orang.

Produk Budaya atau Lemah Mental?


Kita tahu dulu Jepang punya jam kerja panjang yang mana para pekerjanya bekerja 12-14 jam sehari. Selain jam kerja yang panjang, perekrutan tenaga kerja yang tertutup dan kesenjangan karir di Jepang juga lebar. 

Di Indonesia, lulusan SMA sederajat dapat menjadi manajer sampai kepala cabang kalau dia berprestasi dan sudah melanjutkan kuliah sembari bekerja.

Di Jepang, pada masa lalu, tidak begitu. Lulusan perguruan tinggi pasti berkarir moncer dengan berbagai tunjangan dan fasilitas. Kesempatan bekerja dan berkarir seperti itu tidak didapat mereka yang cuma lulusan SMA, mengakibatkan mereka cuma bekerja sebagai pegawai rendahan atau di sektor informal.

Sektor usaha informal adalah sektor usaha yang tidak punya izin usaha serta usahanya tidak terdaftar pada lembaga pemerintah. Jenis usaha ini adalah UMKM seperti warung sembako, warteg, ibu rumah tangga yang menjual asinan, dan sejenisnya.

Bila generasi Jepang yang lampau memilih mengakhiri hidup karena tekanan pekerjaan dan hidup, generasi yang lebih muda memilih hikikomori.

Disamping budaya Jepang yang punya jam kerja panjang, ada kebiasaan yang membudaya pada masa lalu bahwa seorang ibu haruslah sayang kepada anaknya, terutama anak laki-laki tertua.

Nyatanya, rasa sayang berlebihan malah jadi kemanjaan. Si anak tidak mandiri karena si ibu terlalu melindungi. Alih-alih mengatasi segala rintangan yang menghampirinya, si anak malah menyerah.

Bibit hikikomori biasanya sudah terlihat sejak usia dini di mana anak tidak mampu menyelesaikan masalah sederhana di sekolah, dengan teman, atau sangat tersinggung jika ditegur guru.

Kenapa Hikikomori Disebut Gangguan Mental?

 

Normalnya, manusia adalah makhluk sosial yang selalu butuh berinteraksi dengan sesama manusia. Orang yang punya kesulitan untuk berperilaku dan berpikir seperti manusia normal menandakan ada  yang tidak sehat pada mentalnya.

Maka itu dinamakan gangguan mental. Hikikomori secara sengaja mengisolasi diri hanya karena tekanan yang bagi orang normal dianggap wajar dan bisa diatasi. Pengidap hikikomori memilih mengisolasi diri daripada menyelesaikan masalahnya, dan karenanya termasuk gangguan mental.

Karena itu orang yang mengetahui ada kerabat atau teman yang mengidap hikikomori harus minta bantuan psikolog dan psikiater karena penderitanya tidak bisa hanya sekadar diajak curhat.

Walau termasuk gangguan mental, hikikomori berbeda dengan social anxiety (kecemasan sosial) yang mana penderitanya sangat takut bertemu dengan orang di tengah keramaian. Pun tidak sama dengan beberapa jenis fobia yang berhubungan dengan orang banyak dan lingkungan sosial.

Dampak Hikikomori Bagi Jepang


Hikikomori yang diidap generasi mudanya mengakibatkan Jepang kekurangan tenaga kerja. Usia produktif melimpah, tapi sangat jarang dari mereka yang bekerja.

Karena itu Jepang terpaksa mengimpor banyak ekspatriat atau tenaga kerja asing berpendidikan tinggi dan digaji besar.

Populasi negeri sakura itu juga terus menurun. Menurut Nikkei Asia, penduduk Jepang berkurang 644.000 jiwa di 2022, terbesar dalam 26 tahun terakhir.

Hikikomori memperburuk penurunan populasi Jepang karena mereka tidak menikah dan tidak punya anak.

Beban Orang tua dan Negara

 

Seorang hikikomori hanya diam di rumah dan tidak melakukan apa pun untuk menghasilkan uang. Mereka juga sama sekali tidak produktif menghasilkan suatu karya. Tidak pula mengurus atau merawat apapun dan siapa pun.

Karena tidak punya penghasilan, hikikomori hidup dari gaji atau uang pensiun orang tua. Bila ODGJ tidak mampu bekerja karena kehilangan akal kewarasannya, hikikmori tidak mau bekerja karena memilih mengisolasi diri.

Di mata Jepang, hikikomori juga merugikan karena tidak punya penghasilan untuk bayar pajak, tidak punya asuransi kesehatan, tidak berpartisipasi dalam aktivitas sosial, dan malah menghabiskan uang orang tua.

Bagaimana Seorang Hikikomori Menghabiskan Waktu?

 

Berada di kamar atau di rumah sepanjang waktu amat membosankan. Bahkan seorang introvert dan solitude juga perlu berkegiatan di luar rumah walau tidak bergabung dengan kelompok sosial mana pun, hanya sekadar menghirup udara segar.

Namun, pengidap hikikomori betah menghabiskan seluruh waktunya dengan bermain game, berselancar di internet, membaca buku, memasak sendiri, atau aktivitas lain yang tidak mengharuskannya ke luar rumah.

Pengidap hikikomori amat jarang pernah keluar rumah walau untuk ke warung membeli kebutuhan sehari-hari. Kebanyakan mereka memesan bahan makanan dan kebutuhan harian via online,  

Apakah Hikikomori Hanya Terjadi di Jepang?

 

Yang jelas hikikomori tidak bakal terjadi di Indonesia. Walau para tetangga dan netizen di negeri ini julid, nyinyir, dan merasa paling benar, tapi di rumah kita masih punya mertua, ipar, menantu, anak, dan pekerja rumah tangga yang membuat kita tidak sendirian menghadapi tekanan hidup.

Bila tekanan datang dari keluarga, orang Indonesia masih bisa mencari pelarian dengan curhat di medsos, jadi selebgram, atau YouTuber kontroversial.

Sementara itu, hikikomori juga menjalar ke anak-anak muda di Amerika Serikat, India, Korea Selatan, Prancis, dan Spanyol.

YOLO "You Only Live Once" Antara Hidup Penuh Kesenangan dan Totalitas Ibadah

YOLO "You Only Live Once" Antara Hidup Penuh Kesenangan dan Totalitas Ibadah

You Only Live Once, akronim dari YOLO, adalah istilah dan gaya hidup yang menekankan bahwa manusia hanya hidup satu kali saja. Maka wajar bila mendahulukan kesukaan, kebutuhan, dan kesenangan diri sendiri daripada yang lain.

YOLO juga digunakan untuk memaksa seseorang melakukan hal berbahaya dan menantang adrenalin supaya dia berani. Misalnya memanjat tebing, kebut-kebutan, atau yang lebih buruk, mabuk-mabukkan.

Terminologi YOLO

 

Seorang leksikografer (orang yang ahli dalam penyusunan kamus)  bernama Ben ZImmer, menemukan penggunakan kata you only live once (ditulis dengan huruf kecil) pada sebuah merek peralatan yang sedang mengajukan merek dagang pada 1993. 

Penemuan Ben ZImmer itu ditengarai sebagai yang pertama kalimat YOLO muncul sebelum dipopulerkan oleh rapper Kanada, Drake.

Pada 2011, Drake membuat album lagu The Motto yang mana salah satu lagunya berjudul You Only Live Once dengan akronim YOLO. Sejak itu istilah YOLO populer sebagai bagian dari gaya hidup hedon

Sudut Pandang YOLO


Makin hari, pendapat soal YOLO meluas bukan saja soal kesenangan hidup, tapi dilihat dari sisi akademis dan religi.

YOLO menurut kaum hedonis adalah refleksi menikmati hidup karena sia-sia kalau hidup tidak dinikmati. Kalau sudah mati kita tidak bakalan bisa mengulang hal yang belum pernah kita lakukan dalam hidup.

YOLO bagi kaum hedonis sudah pasti bersenang-senang. Makin gila dan ramai makin kita menikmati hidup dan memaknai YOLO dengan tepat.

Bacaan Lain: Luxury Influencer, Gaya Hidup Mewah Demi Iklan

Pendapat lain datang dari kalangan akademisi yang berpendapat bahwa YOLO sebaiknya digunakan untuk mencapai prestasi dan keilmuan semaksimal mungkin.

Pada situs Internet Public Library yang memuat ratusan makalah dan esai dari kalangan akademisi AS, banyak analisa mengatakan bahwa YOLO sebaiknya disemangati untuk mencapai aktualisasi diri yang jauh dari kata-kata bersenang-senang.

YOLO dan Agama Samawi

Agama samawi atau agama yang turun berdasarkan wahyu dan kenabian seperti Islam, Kristen, dan Yahudi hanya mengenal hidup sekali saja sebelum manusia ke surga atau neraka. 

Makanya, pak ustaz sering bilang, "Kita hidup cuma sekali, perbanyaklah beribadah." Ibadah bagi umat Islam termasuk ibadah kepada sesama manusia (hablumminannas), supaya semua yang kita lakukan bukan cuma bermanfaat di dunia, melainkan jadi bekal di akhirat.

Konsep yang sama juga dikenal penganut Kristen dan Yahudi. Semua kebaikan akan bermuara ke surga dan kejahatan pasti tersungkur ke neraka.

YOLO dan Reinkarnasi

 

Walau diyakini oleh penganut agama samawi, "hidup hanya sekali" tidak berlaku bagi penganut Hindu dan Buddha karena ajaran mereka meyakini manusia hidup berkali-kali melalui konsep reinkarnasi atau terlahir kembali.

Pada agama dan kepercayaan yang menganut konsep reinkarnasi, semua kebaikan dan kejahatan yang kita lakukan di kehidupan sekarang, akan dapat ganjarannya di kehidupan masa datang ketika kita terlahir kembali.

Bila saat ini kita sering mengalami kesulitan hidup, bisa jadi sebagai akibat dari banyaknya keburukan yang kita lakukan pada kehidupan yang lampau. Umat yang percaya reinkarnasi mengenalnya sebagai karmaphala. 

Maka amat wajar tidak ada umat Hindu dan Buddha di mana pun yang mencetus atau membahas soal you only live once.

***

Uniknya, YOLO dikenal cuma oleh dua golongan yang justru bertolak belakang. Yaitu, mereka yang tidak percaya adanya surga-neraka dan mereka yang betul-betul percaya bahwa manusia akan berakhir, kalau tidak di surga, ya, neraka.

Dendrophile si Pecinta Pohon dan Nemophile si Pecinta Hutan

Dendrophile si Pecinta Pohon dan Nemophile si Pecinta Hutan

Dendrophile adalah orang yang amat sangat menyukai pohon dan pepohonan. Sementara nemophile adalah orang yang sangat menyukai hutan.

dendrophile si pecinta pohon dan nemophile pecinta hutan

Menyukai pohon, tapi tidak suka hutan? Menyukai hutan, tapi bukan pohon? Bikin mumet. Walaupun habitat pohon ada di hutan dan hutan isinya banyak pohon, tapi keduanya tidak sama.

Hutan berisi beragam flora dan fauna. Si dendrophile cuma suka pohon, tidak mencintai semua yang ada dalam hutan.

Orang yang mencintai hutan dengan segala isinya, bukan cuma pohon, itulah si nemophile.

Asal Kata Dendrophile 


Dendro berasal dari bahasa Yunani kuno yang artinya tree friend atau teman pohon. Sedangkan phile artinya sangat menyukai atau punya kecintaan.

Bila bahasa Latin banyak digunakan untuk menyebut istilah-istilah ilmiah, bahasa Yunani kuno dipakai untuk istilah non-ilmiah.

Asal Kata Nemophile

 

Nemophile ini tidak ada hubungannya dengan ikan bernama Nemo yang terpisah dari ayahnya karena terjerat jaring. Nemo si pecinta hutan berasal dari kata Yunani kuno, nemos, yang artinya lover of a wood or grove alias si pecinta hutan.

Sedangkan phile berasal dari kata philia yang artinya sangat menyukai atau mencintai, sama dengan kata pada dendrophile.

Apakah orang yang hobi menanam dan merawat tanaman di pekarangan disebut Dendrophile juga?

Pecinta pohon hanya menyukai pohon saja, seperti pohon mangga, sawo, rambutan, bahkan pohon raksasa baobab dari Afrika. Namun, dia tidak tergila-gila dengan tanaman padi, kunyit, jagung, mawar, atau tanaman hias.

Orang yang menyukai bunga-bungaan, tanaman hias, dan tanaman obat disebut anthophile atau pecinta tanaman. 

Dendrophile akan menanam beragam jenis pohon bila dia punya pekarangan luas, sedangkan anthophile cenderung menanam dalam pot-pot atau membuat taman yang asri dan indah.

Anthophile juga bertangan dingin. Semua tanaman yang dirawat olehnya pasti subur walau tanpa pupuk.

Ciri Khas Dendrophile

 

1. Mengerti banyak jenis pohon dan karakteristiknya. Beberapa dendrophile seperti kamus berjalan yang sangat mengerti detail dari pohon yang ada di daerahnya.

2. Bangun pagi-pagi dan keluar rumah untuk menghirup aroma pohon yang kena embun.

3. Menganggap pepohonan sebagai keluarga sendiri yang dirawat dengan kasih sayang.

4. Sering bicara atau mengajak ngobrol pepohonan, terutama yang ditanam di pekarangan atau area rumahnya.

5. Selalu merasa nyaman dan tenang bila berada dekat pepohonan.

Ciri Khas Nemophile

 

1. Senang hikng dan trekking ke gunung. Bila tidak memungkinkan untuk pergi ke gunung, nemophile juga rajin menyambangi hutan kota atau tempat wisata alam di mana masih terdapat pepohonan beserta flora dan faunanya.

2. Mengenal jenis hutan yang ada di dunia dan tumbuhan serta hewan endemiknya.

3. Paham cara bertahan hidup di hutan dengan memanfaatkan sumber daya di hutan.

4. Senang berkemah di pinggir hutan.

5. Paling menentang jika diketahuinya ada penebangan liar atau eksploitasi hutan menjadi perkebunan yang mengakibatkan hilangnya habitat penghuni hutan.

***

Orang yang tadinya bukan pecinta pohon dan hutan bisa menjadi seorang dendrophile dan nemophile dari hasil interaksinya dengan banyak orang yang juga menyukai pohon dan hutan.

Kecintaan itu bisa juga datang dari pengalamannya ketika ada peristiwa yang berhubungan dengan pohon dan hutan.

Cafe Hopping, Awalnya Buat Kerja dan Ngerjain Tugas Kini Jadi Gaya Hidup Gabut

Cafe Hopping, Awalnya Buat Kerja dan Ngerjain Tugas Kini Jadi Gaya Hidup Gabut

Pernah pindah dari satu kafe ke kafe lain saat kafe yang kita tempati sudah ramai dan tidak enak lagi buat nongkrong? Lalu pindah ke kafe lain lagi saat kafe yang baru kita datangi kembali ramai dan tidak asyik lagi? Itu namanya cafe hopping. 

Awal Mula Cafe Hopping


Hopping dalam bahasa Inggris artinya melompat. Secara kiasan cafe hopping berarti "melompat" dari satu kafe ke kafe lainnya, 

Cafe hopping biasa dilakukan oleh mahasiswa yang mengerjakan tugas dan para remote worker. Remote worker adalah karyawan yang bekerja dari rumah karena kantor mereka berada di luar kota atau luar negara yang tidak memungkinkan mereka bekerja pulang-pergi.

Bacaan Lain: Hustle Culture dan Tipe Karyawan yang Senang Melakoninya

Terlalu sering bekerja di rumah menimbulkan kejenuhan, maka para remote worker mencari kafe yang sepi untuk bekerja sambil menyeruput kopi dan memakan kudapan. Kalau kafe itu sudah dianggap terlalu ramai untuk kerja, mereka akan mencari kafe lain yang lebih kondusif.

Hal sama berlaku untuk para mahasiswa yang mengerjakan tugas. Kadang mereka mengerjakan tugas di kafe untuk menghemat kuota internet karena di setiap kafe pasti menyediakan Wifi untuk pengunjungnya.

Siapa yang Memulai dan Dari Mana Tren Cafe Hopping?


Walau istilahnya diambil dari bahasa Inggris karena mengacu pada kebiasaan remote worker dan mahasiswa yang mengerjakan tugas, tren cafe hopping ternyata muncul pertama kali di Kuala Lumpur, Malaysia. Tren itu kemudian menjalar ke Penang dan Johor kemudian ke seluruh negara bagian.

Sejak 2015, anak-anak muda Malaysia makin sering nongkrong bareng di kafe tanpa disambi mengerjakan tugas kuliah. Sambil nongkrong mereka mencari kopi dan makanan yang enak dari satu kafe ke kafe lainnya.

Tidak ada batasan berapa kafe yang didatangi dalam sehari. Selama masih ada duit, mau datang ke 10 kafe dalam sehari pun tidak masalah.

Tren di kalangan mahasiswa ini menjalar ke para pekerja kantoran Malaysia. Mereka mengikuti tren ini, terutama saat weekend, dengan rekan kerja. Dalam semalam mereka bisa mendatangi rata-rata 2-3. Ada juga yang sampai empat kafe.

Di Indonesia tren cafe hopping di kota-kota besar marak sejak 2019 sebelum terhenti karena pandemi. Sedikit berbeda dari di Malaysia, tren cafe hopping di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh pekerja kantoran daripada mahasiswa.

Cafe Hopping Vs Clubbing


Cafe hopping bisa dibilang mirip dengan clubbing. Para penyuka dugem (dunia gemerlap malam) sering pindah dari satu klub ke klub malam (night club) lain untuk berpesta sampai pagi. Itulah kenapa mereka dinamakan clubber dan aktivitasnya dinamakan clubbing.

Dua-duanya sama-sama butuh duit dan lebih seru dilakukan bersama orang yang juga suka cafe hopping dan clubbing.

Baca Juga:

  1. Tipe Karyawan Hustle Culture
  2. Lone Wolf si Individualis yang Sering DIkira Teroris

Walau banyak kafe yang menyediakan alkohol sama seperti klub malam, cafe hopping dipandang sebagai tren yang positif daripada clubbing. Ini karena cafe hopping tidak dilakukan sampai dini hari dan tidak identik dengan narkoba, seks bebas, dan mabuk-mabukkan seperti halnya clubbing.

Cara Seru Menikmati Cafe Hopping


Cafe hopping adalah salah satu cara asyik menghabiskan waktu kalau kita lagi gabut ditemani para bestie yang juga sama gabutnya. 

Ini cara cafe hopping yang efekif supaya seru dan tidak asal gabut.

1. Lakukan beramai-ramai. Makin ramai memang makin seru, tapi tidak berarti kita harus ajak belasan orang untuk cafe hopping.

Kalau nongkrong bareng belasan orang itu namanya arisan, bukan cafe hopping. Selain jadi arisan, kalau mengajak belasan orang, kamu harus menyewa tempat secara khusus di kafe itu supaya tidak mengganggu tamu lain dan memberi keleluasaan untuk pihak kafe menyediakan menu lebih banyak dari biasanya.

Ajak hanya bestie atau sahabat terdekat 3-4 orang saja cukup untuk melakukan cafe hopping.

2. Pilih cafe yang jaraknya dekat. Dekat dalam arti masih dalam satu mal, satu komplek perbelanjaan, atau kafe sekitar yang dekat rumah dan kantor.

Supaya kita tidak keburu kelelahan karena menghabiskan banyak waktu di jalan. Lelah bisa mengakibatkan bosan. Kalau sudah bosan, melakukan cafe hopping sudah tidak asyik lagi dan malah ingin melakukan aktivitas lain.

3. Kalau sempat, cari tahu dulu apa saja menu yang ada di kafe yang akan didatangi.

Rasanya buang-buang duit kalau ternyata manu di kafe yang kita datangi sama seperti menu di kafe sebelumnya. Jadi, lebih baik cari kafe yang menunya berbeda dengan kafe yang sudah kita datangi.

Mencari tahu menu lebih dulu bisa juga untuk mencegah risiko alergi bila ternyata kafe itu lebih banyak menyediakan menu boga bahari, sementara ada bestie yang alergi seafood.

4. Pilih makanan dan minuman berbeda. Hindari memesan menu yang sama dengan para bestie supaya kita bisa saling icip dan menambah rekomendasi menu pada preferensi pribadi.

Menu yang berbeda-beda juga bisa menambah rekomendasi kita untuk dibagikan di media sosial atau review Google Maps kafe yang bersangkutan.

5. Split bill alias bayar masing-masing. Semua yang memesan makan-minum harus bayar sesuai kemampuan kantongnya.

Kalau tidak begitu cafe hopping malah jadi beban bagi yang diajak, kecuali ada bestie yang bersedia membayar seluruh tagihan.

***

Tidak punya budget, tapi ingin merasakan tren cafe hopping? Kamu bisa saja melakukan warteg hopping. 

Saat warteg hopping kita bisa nimbrung obrolan antarpengunjung. Biasanya yang diobrolkan adalah isu sosial atau pemerintahan yang sedang hangat.

Para pengunjung juga biasanya tidak keberatan untuk saling mengobrol walau tidak kenal dan tidak tahu nama masing-masing orang yang ikut ngobrol.

Kalau cafe hopping lebih seru dilakukan beramai-ramai, pada warteg hopping sendirian malah lebih asyik.

Hustle Culture dan Tipe Karyawan yang Senang Melakoninya

Hustle Culture dan Tipe Karyawan yang Senang Melakoninya

Para karyawan di Indonesia makin terjangkiti hustle culture, baik yang bekerja di start-up alias perusahaan yang baru merintis atau perusahaan yang sudah mapan.

Mereka sering membawa pekerjaan kantor ke rumah. Ciri-cirinya: 

  1. Cek email kerjaan dalam perjalanan pulang dari kantor ke rumah.
  2. Sampai rumah buka laptop lagi.
  3. Sebelum tidur cek email lagi dan mengerjakan beberapa pekerjaan yang perlu diperbaiki.
  4. Siklus cek email, buka laptop, dan mengerjakan pekerjaan kantor selalu berulang tiap hari, bahkan saat akhir pekan.
Membawa pulang pekerjaan kantor ke rumah dapat mengakibatkan stres dan mati rasa terhadap kebahagiaan lain karena para karyawan tidak punya kehidupan selain urusan kantor.

Bringing Work Home Vs Work From Home

Membawa pulang pekerjaan kantor ke rumah beda dengan bekerja dari rumah. Bekerja dari rumah artinya rumah selain sebagai tempat tinggal juga tempat kita bekerja. 

Kita tidak bekerja di kantor yang menggaji, tapi seluruh pekerjaan kita selesaikan di rumah. Istilah lain dari bekerja dari rumah adalah remote working.

Sedangkan membawa pekerjaan kantor ke rumah artinya kita masih uplek-uplekan dengan pekerjaan kantor saat sudah berada di rumah, bahkan saat kita harusnya sedang leyeh-leyeh nonton YouTube atau melakukan kesenangan di tempat lain.

Pada survey yang dimuat di Forbes, lebih dari 82% orang Amerika menyatakan tidak ada masalah jika mereka bekerja remote dari rumah dan tidak lagi harus ngantor.

Sangat mungkin di Indonesia juga begitu. Apalagi hustle culture ala Korea dan China sudah diterapkan secara masif dengan menciptakan persepsi bahwa karyawan yang pulang tepat waktu adalah karyawan kurang dedikasi dan pemalas.

Lembur tiap hari juga dikesankan sebagai hal wajar, bahkan bila si karyawan tidak dapat upah lembur yang sepadan.

Hustle culture bakalan terus subur selama tipikal karyawan dibawah ini mendominasi lingkungan kerja.

1. Workaholic


Menurut Psychology Today, jika Anda bekerja lebih dari 50 jam seminggu, tidak bisa mendelegasikan pekerjaan ke anak buah atau rekan, merasa nyaman jika larut dalam kesibukan, dan jarang memikirkan waktu untuk bersenang-senang, berarti Anda workaholic (gila kerja).

Workaholic adalah penyakit mental yang dipicu trauma masa kecil. Orang yang semasa kecilnya dituntut sempurna oleh orang tuanya bakal menjad perfeksionis di masa dewasa. Perfeksionis inilah yang menjadi awal seseorang jadi gila kerja.

Orang yang gila kerja bisa menikah dan punya anak, tapi mereka akan menomorsatukan pekerjaan menit demi menit dan mengabaikan yang lain. Enggak heran kalau workaholic akhirnya jadi penyendiri dan lama-lama malah makin sulit melepas diri dari pekerjaanya.

2. Tidak Kuasa Menolak Bos


Survei lawas dari Pew Research Center pada 2008 membuktikan bahwa 22% orang di Amerika Serikat terpaksa membalas email saat libur atau cuti. Prosentase karyawan yang berkutat pada email kantor saat libur bertambah jadi 81% pada 2020. 

Menikmati libur dan cuti adalah hak karyawan, tapi banyak karyawan tidak berani membantah bila sang bos menyuruh mereka menyelesaikan pekerjaan selepas jam kantor.

Karena seseorang mau diperintah diluar jam kerja, bos menilai bahwa hal itu wajar terjadi kepada bawahannya. Lama-lama jadi hal biasa seorang karyawan membawa pulang kerjaan ke rumah walau saat di kantor dia sudah lembur berjam-jam..

3. Takut Kehilangan Pekerjaan


Orang-orang yang kapasitas dan pendidikannya kurang memadai punya kecenderungan takut dipecat karena beranggapan pekerjaan itu sudah jadi jalan rejeki.

Mereka akan bekerja segiat dan setekun mungkin karena buat mereka mustahil dapat pekerjaan lain jika mereka keluar dari kantor itu hanya karena diminta bekerja lembur tiap hari tanpa uang lembur.

Jadi, alih-alih menikmati libur, mereka akan kerja terus, bahkan yang diluar jobdesc. Rasa kuatir kehilangan pekerjaan lebih besar dari rasa lelah karena hustle culture.

4. Tidak Punya Keluarga dan Teman


Orang yang umurnya diatas 40 tahun dan belum berkeluarga cenderung menghabiskan waktu dengan banyak bekerja. Sahabat-sahabat yang menikah sudah sibuk dengan keluarga dan lingkaran pergaulan sesama orang tua.

Maka sulit bagi jomblowan dan jomblowati untuk bergaul dengan para bestie yang sudah punya kehidupan berbeda dari masa muda dulu.

Menghabiskan waktu untuk bersenang-senang sendirian juga menjemukan. Mencari teman baru belum tentu teman itu bisa dipercaya. Maka membawa pekerjaan ke rumah adalah hal paling masuk akal untuk mengisi waktu dan sepi.

Kadang mereka juga menghindari bertemu dengan keluarga besar karena risih ditanya soal jodoh, Alasan yang membuat mereka aman adalah tidak bertemu keluarga, kalau tidak ada yang mendesak, dengan alasan harus lembur saat weekend.

Hustle Culture di Jepang


Budaya kerja yang berlebihan makin marak di Korea Selatan dan China, tapi sudah ditinggalkan di Jepang. 

Kaum muda Jepang sudah menyadari dampak buruk hustle culture bagi kesehatan mental mereka, sehingga mereka  yang bekerja kantoran menolak bekerja belasan jam sehari seperti pada pendahulunya.

Banyak kaum muda Jepang berusia 25-30 tahun juga tidak lagi mengejar kerja kantoran sebagai karir. Mereka lebih suka bekerja sendiri membuka usaha, jadi freelancer, gamer, trader saham dan forex, atau pekerjaan lain yang tidak mengharuskan mereka bekerja rutin di kantor.

Keengganan kaum muda Jepang itu jadi salah satu sebab negara sakura makin kekurangan angkatan kerja sejak 2018.

Di Indonesia hustle culture banyak menimpa karyawan kantoran daripada buruh. Jam kerja buruh memakai sistem shift dan mereka harus dapat uang lembur berdasarkan UU Ketenagakerjaan. 

Bila diperlakukan tidak adil oleh perusahaan, buruh dapat mengadu ke serikat dan serikat yang akan memperjuangkan keadilan bagi si buruh.

Namun, karyawan kantoran justru sebaliknya. Bekerja rodi tanpa uang lembur dengan diberi doktrin bahwa karyawan yang baik adalah karyawan yang terus bekerja sampai akhirnya kena gangguan mental.