Cerpen: Hujan di Kereta Malam

Cerpen: Hujan di Kereta Malam

Doni memasukkan kedua tangannya ke saku jaket untuk menghalau dingin. Sejak subuh hujan terus-terusan mengguyur bumi, membuat cuaca mendingin. Doni sampai harus minta pengemudi taksi online yang ditumpanginya tadi untuk mengecilkan AC. 

Sekarang kereta Taksaka Malam sudah berjalan makin jauh dari Gambir sejak Doni menaikinya tiga jam lalu. Masih empat jam lagi sebelum sampai di Stasiun Tugu.

Pendingin ruangan dirasakan Doni juga makin dingin, memaksa dia menarik resleting jaketnya sampai leher.

Doni memesan makanan dari restorasi menggunakan aplikasi WhatsApp. Dia berharap segelas teh panas dan nasi goreng bisa mengusir dingin lalu membuatnya lelap sepanjang perjalanan. Untungnya kursi di sebelah Doni kosong, jadi dia yakin akan bisa tidur tanpa terganggu teman seperjalanan yang mengajak ngobrol.

Nasi goreng datang, tapi belum sempat Doni menyuapnya ke mulut, seorang gadis berbaju putih mendadak duduk di kursi sebelah.

"Siapa, nih," Doni membatin tidak senang karena kedatangan orang tidak dikenal. Dia menyuap nasi gorengnya lalu menoleh ingin tahu siapa yang tiba-tiba duduk di sampingnya.

Perempuan berbaju putih lengan panjang itu tersenyum pada Doni. Doni membalas dengan anggukan sambil mengunyah.

"Maaf, Mas, saya numpang duduk disini sebentar, ya. Tempat duduk saya berisik ada rombongan bapak-bapak mengobrol keras," katanya.

"Anda dari gerbong mana?" tanya Doni.

"Belakang restorasi."

"Ohh." Doni melanjutkan makan sambil berharap gadis itu hanya beberapa menit saja menumpang di kursinya.

"Mas dari mana?"

Doni menoleh, "Saya?"

Perempuan itu mengangguk.

"Dari Jakarta mau ke Jogja," jawabnya setelah meneguk susu yang kehangatannya sudah lenyap dilibas dinginnya penyejuk kereta.

"Orang Jogja atau orang Jakarta?"

"Jakarta."

"Pergi sendirian?

"Iya."

"Ke Jogja mau dinas atau liburan?"

Doni menoleh lagi untuk melihat dengan jelas rupa perempuan yang menurutnya terlalu cerewet mengganggunya makan.

Perempuan itu menunduk, tahu diri bahwa dia mengganggu. Doni mendadak iba melihat perubahan sikap si perempuan yang mendadak menarik diri.

"Mau makan?" Doni menawarkan makanan alih-alih menegur seperti yang awalnya dia niatkan. Wajah perempuan itu agak pucat, membuat Doni makin kasihan.

"Atau teh panas? Saya pesankan teh panas atau coklat panas?"

Perempuan itu menggeleng lagi dan mengucapkan terima kasih.

"Silakan teruskan lagi makannya, Mas," sahut si perempuan.

Doni menghabiskan nasi goreng dan teh panasnya pelan-pelan. Dalam hatinya dia bertanya kenapa si perempuan tidak membawa tas tenteng atau telepon seluler atau buku bacaan untuk mengusir bosan di kereta.

Udara dingin seketika menerpa tubuh Doni. Kenapa AC kereta bisa sedingin kutub, keterlaluan! gumam Doni agak geram karena dinginnya sudah tidak bisa ditoleransi tubuhnya yang hampir gemetar kedinginan.

"Mas kedinginan?" tanya si perempuan lembut dan ramah. Bibir tipisnya yang pucat menyungging manis.

Doni gengsi untuk menjawab dia kedinginan, jadi dia menggeleng yakin.

"Mas sudah berkeluarga?" 

Doni menjawab belum dan dia yakin telah melihat si perempuan berbaju putih lengan panjang itu mendesah lega. 

Ke Jogja untuk liburan atau dinas?" tanya perempuan itu lagi.

"Dua-duanya, ada koordinasi dengan cabang untuk pergantian kepala kantor mereka yang baru. Setelah itu liburan sebentar nonton sendratari," jawab Doni sambil tangannya sibuk memesan coklat panas di nomor Whatsapp restorasi.

"Kalau begitu sekalian main ke rumah saya, ya, Mas."

Doni jengah.

"Anda saya pesankan teh panas, ya? Anda seperti sedang tidak enak badan, " tawar Doni yang langsung memesan lagi lewat Whatsapp, teh panas untuk si perempuan dan coklat panas untuknya.

"Mas, mau, ya, main ke rumah saya," pinta si perempuan. Dipegangnya tangan Doni supaya Doni setuju.

Doni merinding. Tangan perempuan ini dingin sekali, batin Doni, kenapa dia tidak pakai baju pelapis. Kemerindingan Doni bertambah karena dia grogi disentuh perempuan yang bukan mahramnya. 

“Mas namanya siapa?"

"Doni."

"Saya Masita. Mas Doni main ke rumah saya, ya. Saya tinggal sendirian, pengin kumpul lagi dengan bapak dan ibu.”

“Memang bapak-ibumu tinggal di lain kota?

Masita tertunduk lesu.

Bulu kuduk Doni tiba-tiba berdiri diterpa hembusan angin dingin di tengkuknya. Benar-benar kereta sialan, umpat Doni. Sudah tiga kali Doni naik Taksaka Malam, tapi baru kali ini AC-nya seperti freezer.

“Catat alamat saya ya, Mas,” bisik Masita. Doni kaget karena Masita berbisik sangat dekat ke telinganya. Doni tidak berani menolah, kuatir wajahnya mengenai wajah Masita. Masita kembali tegak di kursinya dan tersenyum.

"Pedukuhan Sariasri…”

“Sebentar saya catat dulu,” Doni mengambil telepon seluler dan membuka aplikasi notes, “Pedukuhan Sariasri, terus?”

Pramugari datang membawa teh dan coklat panas.

Masita menyebut alamat lengkap beserta nama kedua orang tuanya. Supaya lebih gampang mencari kalau pakai nama orang tua, kata Masita.

Setelah menaruh telepon selulernya di saku, Doni menyeruput coklat panasnya. Doni menguap lalu matanya terasa berat. Perut kenyang memang selalu bikin ngantuk.

Doni mendengar Masita berbisik lagi di telinganya. “Kalau mengantuk tidur saja, Mas. Saya juga mau pulang. Terima kasih banyak, Mas Doni."

Doni ingin berkata bahwa bila mau Masita boleh duduk di sini sampai Jogja, tapi matanya terlalu berat sampai-sampai kesadarannya punah. Dia jatuh lelap.

Matahari belum memancarkan semburatnya di Stasiun Tugu pukul 04.30. Doni membuka resleting jaketnya dan bangun dari kursinya untuk mengambil tas di bagasi rak atas. Dia yakin kalau tidurnya sangat nyenyak karena tidak menyadari dirinya sudah sampai di Jogja secepat itu.

Selasa sampai Rabu Doni disibukkan oleh pergantian kepala cabang kantornya yang sudah masuk pensiun, tapi belum punya pengganti. Doni juga harus mencari tahu kenapa turnover di cabang itu paling tinggi diantara cabang lain. 

Kepala keuangan cabang Jogja menawarkan kunjungan ke beberapa tempat wisata dan kuliner, tapi ditolak Doni. Dia cuma ingin menonton sendratari Ramayana yang sudah ada di jadwalnya sejak semula.

Kamis malam setelah menonton sendratari di Candi Prambanan, Doni teringat pada Masita. Dikeluarkannya telepon seluler untuk mencari lagi alamat rumah Masita. Setelah bertanya kepada staf kantor cabang dimana lokasi tempat Dukuh Sariasri berada, Doni memutuskan berkunjung ke rumah Masita keesokan harinya.

Karena tidak ingin membuat repot orang di kantor cabang, Doni pergi sendiri dengan memesan mobil sewaan dari hotel. Jarak dari Hotel Arjuna, tempatnya menginap, ke rumah Masita ternyata hanya 25 kilometer. Lebih dekat dari 

Mudah juga mencari rumah orang tua Masita. Doni langsung diantar sampai ke pintu rumah.

Ruang tamu orang tua Masita masih berantakan dengan separuh ruangannya tergelar karpet biru. Sebagian lagi dipenuhi tumpukan sampah bekas kotak snack. Kursi-kursi plastik masih tertumpuk di pekarangan, belum dikembalikan ke masjid.

"Mas Doni terakhir ketemu Masita kapan?" tanya ibu Masita sembari menyorongkan teh manis dan penganan di piring kecil ke hadapan Doni.

Doni menceritakan pertemuannya dengan Masita di kereta Senin malam lalu. Selama bercerita, Doni berharap Masita keluar menemuinya. Ibunya tidak bilang kalau Masita sedang kerja atau keluar rumah, berarti Masita ada di rumah, kan.

Masita tidak juga menampakkan batang hidungnya.

Pak Samat, bapak Masita, bergabung sambil membawa bingkai foto kecil dan menunjukkannya pada Doni.

"Mas Doni ketemu dengan Masita yang ini?"

Apa maksudnya dengan Masita yang ini, "Iya, Pak. Memang kenapa?"

Itulah masa dimana Doni merasakan kekagetan yang teramat sangat seumur hidupnya. Kamis malam tadi orang tua Masita mengadakan tahlilan untuk memindahkan makam Masita ke tempat yang baru. Tanah pekuburan tempat Masita bersemayam akan dijadikan jalan tol sehingga semua jasad harus dipindah.

“Makamnya kami pindah ke Desa Semulyo. Kami sudah beli tanah dan rumah di sana karena rumah ini juga termasuk yang kena proyek tol. Makam Masita besok akan dipindah ke pekuburan yang ada di sana," cerita Pak Samat.

"Sudah berapa tahun Masita meninggal, Pak?" tanya Doni.

"Baru seratus hari. Malam Jumat kemarin bareng waktunya kami tahlilan untuk seratus hari almarhumah dengan prosesi pindah makamnya.

Doni mengingat-ingat berita yang pernah dibacanya tentang munculnya orang kaya baru dari pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol Semarang-Jogja di Sleman. Ternyata jalan tol itu juga melewati tempat tinggal Masita di Magelang.

Ibu Masita menawarkan bila Doni ingin mengunjungi makam Masita yang langsung diiyakan olehnya.

Makam Masita belum diberi nisan. Hanya ada tonggak kayu bertuliskan nama Masita binti Samat Suraji sebagai penanda bahwa di bagian itu terdapat kepala si mayit. Taburan bunga-bunga mawar segar memenuhi pusaranya yang menguarkan wangi harum samar-samar.

Doni membacakan surah yasin di makam Masita dan bacaan-bacaan tahlil. Tubuh Doni tiba-tiba terasa dingin, tengkuknya seperti dihinggapi bulu-bulu halus yang membuatnya merinding. Persis seperti yang dirasakannya di kereta.

“Selamat tinggal, Masita," ucap Doni sambil memegang tonggak kayu di makam Masita. "Senang bisa mengenalmu. Semoga kau tenang. Saya pamit dulu, ya, Masita."

Cerita Anak Jenaka: Kisah si Warna-warni

Cerita Anak Jenaka: Kisah si Warna-warni

Kisah si Warna-warni
(Pengarang: Fathan Zafran Arkana)

Di Dusun Kramat ada yang unik, yaitu pasar Jumat Pahing yang diadakan setiap 35 hari sekali. Di sana saya dan adik membeli tiga ekor ayam. Satu warnanya kuning, satu merah, dan hijau. Kami merawat ayam tersebut dengan baik dan penuh kasih sayang. 

Ayam tersebut dikasih makan tiga kali sehari dan dijemur di matahari setiap hari serta diganti kardusnya jika sudah kotor. Ayam tersebut hanya mau makan sentrat karena masih kecil. Ayahku juga memberi vitamin dan tolak angin cair supaya ayam warna-warni itu tidak mudah sakit.

Kak, ayamnya keluar dari kandang!” kata adik.

“Sebentar, nanti saya taruh ke kandang lagi,” kataku.

Ayam kami memang lincah sampai sering keluar kandang. Ayam kami waktu masih kecil juga tidak mau makan nasi. Lalu agar ayamnya tidak mudah keluar kandang, ayah membuat kandang yang cukup besar untuk ayam tersebut sekaligus tempat makan dan minumya.

Tak terasa setelah empat bulan ayam tersebut tumbuh besah dan yang tadinya warnannya merah, kuning, dan hijau sekarang menjadi putih semua. Setelah besar ayam tersebut jadi doyan makan nasi.

Saat ayam kami sudah besar mereka suka berkokok pada pagi hari dan terkadang di siang hari. Ayam tersebut juga memiliki paruh yang tajam sehingga sakit jika dipatuk.

“Bu, makannya mana, Bu” tanyaku.

Ibu menjawab, “Makanan ayamnya sedang dibelikan ayah.”

“Oke, Bu.”

Kadang stok makanan ayam terkadang memang habis jadi harus membeli terlebih dahulu dan terkadang karena ayamnya kelaparan sampai mematuk kaki ibuku.

“Aww, sakit!” kata ibuku.

Lalu ayam kami terkadang juga mematuk ayahku. Begitulah ayam kami yang dulunya imut sekarang menjadi agak galak.

“Yah, ayamya mau diapain kok diikat?” tanyaku.

“Ayamnya mau disembelih untuk opor” jawabnya.

Lalu ayam pun disembelih untuk membuat opor ayam. Setelah opor ayam jadi aku makan opor dengan lahap karena aku suka opor. Setelah ayam disembelih kami sisakan satu ayam entah kenapa.

“Dek, makan dulu sudah siap,” kataku

“ Itu ayam yang Ayah sembelih bukan?” tanya adikku

“Iya,” kataku lagi

“Enggak mau, ah, enggak enak!” begitu kata adikku

Begitu kata adikku. Dia selalu tidak mau makan ayam yang disembelih. Tentu saja ayam yang disisakan ayah merasa kesepian di kandang sendirian. Ayamku suka heboh kalau ada tikus. Serta kalau ada petir atau gledek ayam tersebut kaget. Ayamku juga kadang kadang menerobos kandang entah ada apa dan jika ayam menerobos ini yang terjadi

“Ayah, ayamnya menerobos keluar!” kata adikku

“Sebentar ayah balikin ke kandang!”

 Terkadang heboh kalau ayam keluar kandang, tapi lama lama terbiasa dengan hal itu jadi sekarang hal tersebut merupakan hal yang wajar dan tidak dikhawatirkan lagi.

Cerpen: Nasi Padang

Cerpen: Nasi Padang

Cerita pendek berjudul Nasi Padang karangan Widya Sandra

     "Assalamualaikum!" Bapak pulang dan langsung menaruh kantong kresek yang nampak berat ke lantai dekat televisi.
     "Walaikumsalam," jawab Ibuku dari dapur. Dapur kami kecil, berdempetan dengan kamar mandi. 
Kami berbagi kamar mandi dengan tetangga. Kalau sedang di kamar mandi, kami harus mengunci pintu kamar mandi satunya yang kepunyaan tetangga. 
     Bang Bagas pernah lupa mengunci pintu itu saat sedang mandi. Tiba-tiba Pak Karyo tetangga sebelah masuk dan langsung disiram air oleh abangku yang kaget kedatangan tamu tidak diundang. Ibuku lalu duduk dan membuka kresek hitam itu. Wajahnya langsung berseri.
     "Nasi rames, Pak?" tanya ibu pada bapak. Bapak menyahut dan bilang kalau itu nasi padang.
     Aku langsung bangun dari kursi belajarku begitu mendengar 'nasi padang'. Kuhampiri ibu dengan maksud mengintip isi bungkusan itu.
 

     "Ada tiga bungkus, nih buat kamu," ibu menyorongkan bungkusan yang bernoda minyak kepadaku.
     "Satu bungkus?" aku tidak yakin ibu memberi sebungkus untukku sendiri.
     "Iya, Bapak belikan masing-masing sebungkus untuk kamu, Bagas, dan Ibu," celetuk Bapak mendahului ibu.
     Ibu segera mengambil piring, tapi dicegah oleh Bapak. "Aku sudah makan, yang sebungkus itu buatmu sendiri."
     "Ini banyak, lho, Pak, malah bisa buat makan bertiga," ujar Ibu.
     Bapak menggeleng sambil tersenyum, "Buatmu semua, aku sudah kenyang."
     Ibu tetap menyisihkan separuh nasi padang itu ke piring beserta ayam bakarnya, kemudian Ibu membuat es teh untukku.
     Bapak pasti lagi dapat banyak order. Beli nasi padangnya saja sampai tiga bungkus. Lauknya pun ayam. 
     Aku menjejalkan gundukan besar nasi dengan sambal hijau dan potongan kecil ayam ke mulut. Masya Allah, lezat! Tanpa ayam pun nasi dan kuah gulainya sudah sangat lezat dimakan. Aku mengunyah pelan-pelan supaya yakin ini bukan mimpi.
    Bang Bagas pulang dengan wajah lesu. Dia mengucapkan salam dan mengganti baju seragamnya.
    "Pak, uang praktikum harus dibayar paling lambat Jumat ini," lapor Bagas pada bapaknya. 
    Bang Bagas pernah bekerja sebagai tukang cuci mobil di bengkel, tapi oleh Bapak disuruh berhenti. Kata Bapak supaya Bang Bagas konsentrasi ke sekolah dan dapat nilai bagus.
    Bang Bagas memang pintar. Nilai-nilainya selalu tinggi dan dia pernah dapat juara pertama lomba membuat video dokumentar pendek antar-SMK. 
     "Makan dulu, Bang. Ini lezat sekali," kataku pada Bang Bagas.
     Bang Bagas tidak tertarik dengan makanan yang hampir tidak pernah dimakannya ini. Wajahnya masih lesu menunggu jawaban Bapak yang dia yakin akan dapat jawaban, "Nanti ya, uang Bapak belum cukup."
    Bapak duduk menggelosor di lantai sambil menikmati es teh yang disiapkan Ibu.
    "Berapa uang praktikumnya?" tanya Bapak.
    "Lima ratus ribu, Pak," jawab Bang Bagas.
     Bapak berdiri dan merogoh saku celananya untuk mengambil dompetnya yang gembung. Dikeluarkannya uang lima puluh ribuan dan dihitung di depan abangku. Bang Bagas terbelalak. Dia terbengong-bengong menerima tumpukan uang dari Bapak.
     "Kenapa? Kurang?" tanya Bapak melihat Bang Bagas yang membeku.
     "Eh, enggak, Pak. Cukup. Betul lima ratus ribu-- uang praktikumnya," Bang Bagas menjawab terpatah-patah.
     Betul, kan, Bapak lagi dapat banyak order. Biasanya Bapak cuma memberi Bang Bagas uang lima puluh ribu untuk dicicil ke sekolah. Sekarang Bapak langsung beri segepok uang.
     Setelah menaruh uang itu di lipatan bukunya, Bang Bagas duduk di sebelahku dan membuka bungkus nasi padangnya. 
     Persis sepertiku, Bang Bagas juga menjejalkan gundukan-gundukan besar nasi padang ke mulutnya.
     "Makan pelan-pelan, Bagas," tegur ibu sambil menaruh es teh ke depan Bang Bagas.
     Bang Bagas hanya nyengir dan terus mengunyah nasinya dengan cepat.
     Aku kekenyangan. Perutku rasanya bergejolak karena belum pernah makan sekenyang ini. Semoga nasi padang tadi membuatku kenyang sampai besok siang.
    Aku melanjutkan belajar tentang jenis bencana alam dan cara penanggulangannya. Semangatku bangkit. Perut kenyang ternyata bisa membawa kebahagiaan untukku. Teman-teman sekelasku pasti sering makan kenyang waktu sarapan. Soalnya mereka sering bercanda dan mengobrol seperti tidak pernah kehabisan tenaga. 
    Saat aku sedang menyiapkan buku pelajaran untuk sekolah besok, samar-samar kudengar Ibu dan Bapak saling berbisik.
     "Uang itu harus dikembalikan, Pak, itu namanya mencuri."
     "Dikembalikan kemana. Kalau lapor polisi nanti aku dikira pencurinya."
     "Astagfirullah al adzim."
     "Itu rejeki kita, Bu. Kalau bukan rejeki mana mungkin aku yang menemukannya. Dompet itu bisa ditemukan oleh orang lain, tapi aku yang menemukannya padahal dompet itu di trotoar."
      "Astagfirullah! Harus dikembalikan, Pak!
     Apa, sih, yang sedang dibicarakan Bapak dan Ibu. Γ„pa yang harus dikembalikan. Kalau trotoar aku mengerti karena Bapak selalu mangkal di trotoar menunggu order dari aplikasi ojeknya. Kenapa Ibu istigfar segala.
     Dan malam itu, Bapak pergi lagi, katanya mau kerja lagi. Kali ini tidak pamit ke Ibu. Wajah Ibu terus masam sampai aku tertidur karena kekenyangan.
Asmara Sebundar Bola

Asmara Sebundar Bola

Budi mematut-matut dirinya di depan cermin. Penampilan Budi rapi sekali. Tubuhnya menebarkan bau harum bagi hidung siapapun yang kebetulan lewat di dekatnya. Melihat penampilan Budi yang seperti itu, dari balik pintu kamar Budi yang terbuka, Ponaryo masuk dan tak tahan untuk tak berkomentar. 

Ilustrasi: Pokemon Fandom

“Rapi sekali seperti mau kondangan,”ujar Ponaryo sambil senyum-senyum.Yang ditanya diam saja namun menebarkan senyum lebar sambil menggeleng.

“Mau kencan,” jawab Budi singkat.

“Dengan siapa?” tanya Ponaryo penasaran.

“Perempuan cantik.”

Malam sudah menanjak tinggi waktu Budi mematut dirinya di cermin. Matahari sudah resmi berganti tugas dengan bintang dan bulan di malam minggu yang cerah ini. Keramahan sinar bulan membuat suasana di asrama yang penghuninya para pemain sepakbola ini terasa menyenangkan.

“Siapa perempuan cantik itu?” Ponaryo tambah penasaran.

“Amelia. Aku dikenalkan oleh sepupuku tiga bulan lalu. Tiga bulan waktu yang cukup untuk saling mengenal. Hari ini aku akan memintanya jadi pacarku,” Budi antusias. Nada suaranya sumringah bersemangat. “Doakan aku, ya.”

“Wah, senangnya! Moga kau berhasil merebut hatinya, Sob!” Ponaryo menepuk-nepuk pundak rekan setimnya itu bermaksud memberi dukungan.

“Kali ini benar-benar perempuan idamanku, Yo. Aku yakin bisa menjadikan dia sebagai pacarku,” Budi bersungguh-sungguh.

Ponaryo mengangguk-angguk sambil terus  mendukung sahabatnya itu. Seingat Ponaryo, selama tiga tahun ia bersama-sama Budi di Persemut FC, sudah tiga kali Budi patah hati. Sebetulnya bukan patah hati, sebelum Budi berhasil menjadikan wanita-wanita itu sebagai kekasihnya, dia sudah ditolak duluan.

Padahal Budi punya wajah yang tidak tampan. Sebagai atlet tentu badannya bugar nan atletis. Soal materi Budi juga tidak kekurangan. Ia salah satu penyerang subur di klub dan gajinya tergolong besar.

Perempuan mana yang tidak suka lelaki bertubuh atletis dengan uang berjejalan. Namun rupanya hal itu belum berlaku untuk Budi. Pada usianya sekarang yang merambat 27 tahun ia susah sekali mendapatkan perempuan yang jadi tempat curahan cintanya.

Padahal salah satu bintang Los Galacticos jaman rikiplik yang bernama Kaka saja sudah belasan kali gonta-ganti pacar sejak usianya 21 tahun.

Sebenarnya kisah cinta Budi tidak sedemikian merananya.

Satu saat lalu ada perempuan yang ditolak Budi karena ia bilang perempuan itu terlalu kaya dan cantik. Ada-ada saja. Nama perempuan itu Winny.

Setiap Budi bertanding di kota manapun Winny selalu datang demi mendukung Budi.

Rekan-rekan Budi di Persemut FC senang bila Budi berjodoh dengan Winny. Utamanya karena Winny bilang ayahnya akan menjadi memberi sumbangan besar kepada Persemut FC bila Winny menjadi istri Budi. Tapi sayang Budi menolak dengan alasan dirinya masih ingin konsentrasi membela Persemut FC meraih gelar juara.

Syukurlah ayah Winny yang jenderal bintang tiga itu tak memaksakan kehendak dan mengerti bahwa pernikahan Budi dan Winny tidak bisa dipaksa.

Sejak itu kabarnya Winny pergi keluar negeri dan bekerja disana. Sementara itu Budipun tetap dengan Persemut FC dan sempat dinominasikan sebagai pemain terbaik di Liga Bola Indonesia.

Menurut bisik-bisik yang beredar, Budi tidak mau punya istri yang asalnya dari status ekonomi sosial tinggi karena kuatir ketika berumah-tangga malah menginjak-injak dirinya sebagai suami. Entahlah bisik-bisik itu benar atau tidak, hanya Tuhan dan Budi yang tahu.

Sejak saat itu rekan-rekannya di Persemut FC mengatakan bahwa sulitnya Budi mencari pacar mungkin karena kutukan dari Winny. Budi cuma bisa tersenyum simpul kalau teman-temannya menggoda demikian, Dan malam ini Budi akan menemui Amelia untuk menyatakan cintanya.

”Mau kau ajak kemana dia?” tanya Ponaryo lagi.

”Ada lah, pokoknya makan malam romantis,” jawab Budi.

Tiba-tiba dari pintu kamar yang terbuka itu muncul Bambang yang menyeruak ingin tahu bau wangi apa yang menguat menganggu hidungnya.

”Siapa yang pakai parfum wangi sekali ini?” tanya Bambang. Ponaryo menunjuk Budi.

”Sudah ya. Aku sudah hampir telat, nih. Kasihan Amelia kalau dia yang datang duluan,” kata Budi sekaligus pamit. Ia keluar asrama dan menuju tempat makan malam yang diharapnya akan romantis.

Makan malam itu berlangsung di restoran sebuah hotel mewah. Budi melihat Amelia cantik sekali dengan riasan tipis. Hatinya berbunga-bunga dan rasanya matanya tak bisa lepas memandangi Amelia. Caranya tersenyum, caranya bicara, caranya makan, minum, semua menyenangkan untuk dilihat.

Pertama kali bertemu Budi sudah senang dengan Amelia. Gadis itu pintar, rendah hati, dan tidak suka kehidupan hura-hura.

Amelia lulusan sekolah tinggi seni tari dan sekarang mengajar di sebuah sanggar tari milik keluarganya yang sudah berusia puluhan tahun. Sungguh Budi merasakan sayang kepada Amelia.

Setelah hampir satu jam mereka berbincang sambil makan malam, Budi merasa sudah saatnya mengutarakan isi hatinya yang ia yakin Amelia punya perasaan sama.

“Aku sayang sama kamu. Mudah-mudahan kamu punya perasaan yang sama denganku. Apa kamu mau jadi pacarku?” tanya Budi usai  mengeluarkan isi hatinya pada Amelia. Batu besar yang selama ini mengganjal hatinya seolah lepas.

Amelia tersenyum tipis.

Gadis manis itu menyeruput kahlua coffee-nya dengan pelan. Kemudian terlihat ia menghela nafas. “Aku sudah tahu kamu akan bilang begitu, makanya aku mau kamu ajak kemari karena aku juga ingin mengatakan sesuatu,” jawab Amelia.

Tiba-tiba Budi merasakan ada firasat tidak enak dari ucapan Amelia itu. Tapi ditahannya semua perasaan agar raut mukanya tetap tenang. Amelia melanjutkan perkataannya lagi sambil memegang tangan Budi. 

“Maaf, aku tak mau jadi pacarmu. Aku mau pacar yang selalu ada di dekatku. Kalau aku jadi pacarmu, aku akan ditinggal terus karena kamu selalu keliling kota lain untuk bertanding. Belum lagi kalau kamu masuk tim nasional, kapan aku bisa bertemu kamu.”

Penolakan terang-terangan itu sungguh menusuk hati Budi.

Bagaimanapun seringnya ia ditolak wanita, tapi sungguh rasanya tetap tidak enak ditolak perempuan yang jadi idamannya. “Aku kan tinggal di kota ini, aku pasti akan sering menemuimu,” tegas Budi.

Amelia tersenyum lagi dengan manisnya. “Iya, tapi aku bukan tipe wanita yang suka ditinggal-tinggal.”

Susah payah Budi meyakinkan Amelia bahwa kecemasan yang dikatakan Amelia tadi bisa diatasi dengan mudah. Tapi rupanya Amelia tetap menolak cintanya mentah-mentah.

Perempuan cantik ini rupanya punya hati sekeras batu yang susah ditaklukkan. Semua usaha untuk meyakinkan Amelia selalu mentok terbentur pada batu itu.

Maka tak ada jalan lain bagi Budi untuk sementara menerima keputusan penolakan itu. Lemas rasanya seluruh tulang. Otak di kepala seperti berganti menjadi kapas.

Budi sampai di asrama pukul sembilan malam. Di teras ia kebetulan bertemu dengan Ponaryo dan Bambang yang sedang main gitar. Melihat Budi pulang dengan langkah gontai mereka membatin kali ini mungkin Budi ditolak lagi.

“Kenapa?” tanya Bambang. Budi tetap lesu dan tak menjawab. Bambang dan Ponaryo saling berpandangan.

Tiba-tiba Budi mengambil bola yang ada di sudut teras. Dipegangnya bola itu sambil menerawang dalam benaknya membayangkan enaknya menjadi seperti Nurhidayat yang ditempel selebgram seksi, atau seperti para pemain bola di Eropa yang ganti pacar semudah ganti mobil. Sedangkan dia sendiri untuk mendapatkan seorang gadis saja susahnya setengah mati. Hatinya panas merana.

Lalu ditendangnya bola sekencang-kencangnya dengan sasaran tembok asrama.

Bola memantul dari tembok dan jatuh ketanah. Tapi tiba-tiba Budi merasakan urat betisnya menegang kencang. Budi meringis-ringis dan terduduk memegang betis.

Bambang dan Ponaryo segera menolong Budi. Hampir tuli telinga Bambang dan Ponaryo karena Budi dengan kerasnya melolong, “Aduuuuuhh!! Cintakuuu!”

Cerpen: Cappuccino dalam Semangkuk Mie Ayam

Cerpen: Cappuccino dalam Semangkuk Mie Ayam

Cipto mematikan laptop dan memasukkan ke dalam tasnya. Diperiksanya pesan instan di ponselnya apakah ada pesan dari Riana atau tidak. Ada. Tercatat pesan itu datang lima belas menit lalu.a

Jangan terlambat, ya, nanti. Aku gak mau kelamaan nunggu.

Oke, oke. Memangnya kapan aku pernah terlambat? Cipto membatin. Dilihatnya jam di tangan kirinya, pukul lima sore.

Meski janji temu dengan Riana masih satu jam lagi tapi Cipto tetap pada niatnya semula untuk pergi tepat setelah jam kantor selesai.

Toh dia tidak akan bisa cepat sampai karena jalanan pasti macet. Dia juga tidak keberatan menunggu andai datang lebih dulu dari Riana.

Cipto keluar dari ruangannya dan menyapa lima orang sales anak buahnya yang masih mengecek stok obat dalam daftar penjualan mereka.

“Pulang tenggo, Mas?” tanya salah satunya.

Cipto mengangguk.

“Tumben,” timpal yang lain.“

“Ada urusan,” jawab Cipto singkat.

Anak buahnya terkekeh saling melempar gurauan bahwa itu pasti urusan cinta. 

Kemudian ada suara yang mengatakan bahwa Mas Cipto belum punya pacar. Yang lain menimpali bahwa mereka harus syukuran kalau Mas Cipto benar punya pacar.

Cipto hanya tersenyum dan tidak menghiraukan gurauan-gurauan yang ditujukan padanya. Dia keluar kantor menuju lift sambil menyampaikan sampai jumpa di hari Senin, kepada para anak buahnya itu.

Jalanan di Jumat sore belakangan ini tidak semacet sebelum dibangun MRT, jadi Cipto masih bisa memacu sedannya merayapi jalan, tidak tersendat-sendat dan terhenti mendadak seperti siput tertabrak kura-kura. Cipto menyetel lagu pop kesukaannya yang lalu mengalun merdu memenuhi kabin.

Tiga puluh menit kemudian Cipto sampai di Grand Indonesia. Dia sengaja mencari parkiran di basement yang lebih lapang.

Ada pesan masuk di ponselnya, dari Riana.

Maaf aku agak terlambat. Harus rapat mendadak. Klien complaint.

Cipto membalas bahwa dia tidak keberatan dan akan menunggu di CaffΓ© Milano, tempat temu janji mereka. Lalu emoji hati warna biru muncul dari balasan Riana.

Suasana di CaffΓ© Milano masih sepi. Cipto menyebut nama Riana sebagai pemesan tempat, dan dia dibawa oleh pelayan ke meja dengan sofa melingkar berwarna krem. Dia memesan cappucino dan menangguhkan memesan makanan sampai Riana datang.

Ini tempat favorit Riana. Katanya makanannya enak-enak. Adonan dough pizzanya renyah tapi kenyal, beda dari pizza yang ada di Indonesia karena dimasak oleh chef asli Italia. Yang paling disuka Riana adalah Smoke Salmon Burata yang dia bilang menu andalan kafe ini.

Apapun yang Riana suka, Cipto juga menyukainya meskipun makanan Italia terasa aneh dilidahnya.

Sebenarnya dia kenal Riana sejak SMP. Mereka pernah satu kelas dan beberapa kali mengerjakan tugas kelompok bersama. Dan Riana anak yang ramah ketika mengobrol dan bercanda tapi serius bila bicara soal pelajaran.

Cipto juga sebenarnya pernah naksir Riana, tapi dia tidak pernah mengungkapkannya karena malu. Siapalah dia, sementara Riana anak orang kaya, cantik, dan banyak cowok keren yang juga naksir padanya.

Mereka pisah sekolah ketika lulus. Riana ke SMA swasta dan Cipto ke sekolah negeri yang dikenal punya murid yang pintar-pintar.

Saat di SMA Cipto juga naksir seorang perempuan teman sekelasnya karena punya pembawaan mirip Riana, tapi lagi-lagi dia malu mengungkapkan isi hatinya. Baru setelah kuliah dia melupakan Riana sepenuhnya.

Dunia ternyata sempit dan jodoh memang tidak kemana. Lima tahun setelah lulus kuliah, Cipto bertemu lagi dengan Riana di acara penandatanganan kontrak antara kantornya—distributor obat milik perusahaan farmasi terkemuka—dengan kantor Riana.

Riana ternyata mendirikan perusahaan komunikasi riset. Cipto memerlukan jasa konsultasi milik Riana untuk branding produk penurunan berat badan.

Riana kuliah di Singapura lalu melanjutkan ke sekolah bisnis Harvard. Selepasnya dia bekerja di perusahaan milik seorang konglomerat Amerika selama tiga tahun lalu pulang ke Indonesia.

Lucunya mereka baru dekat justru setelah kontrak kerjasama kantornya dengan perusahaan Riana selesai.

Berawal dari bertukar nomor ponsel, ngopi bareng, bertukar pesan, bertemu, dan kali ini adalah pertemuan mereka yang ketiga dalam dua bulan terakhir, di kafe favorit Riana.

Musik instrumental di CaffΓ© Milano lamat-lamat terdengar dan mulai mengeras seiring dengan bertambah banyaknya orang yang datang.

Cipto memesan cappucinonya yang kedua. Riana belum juga datang, hanya pesan darinya yang muncul.

Maaf setengah jam lagi aku sampai. Tunggu, ya.

Cipto membalas singkat dengan huruf o dan k besar. Dia bersedia menunggu dan tidak merasa diremehkan meski harus menunggu hampir satu jam, karena Riana pantas untuk ditunggu.

Perempuan itu selalu memberi perhatian dengan cara tak terduga. Riana pernah mengirim makan siang untuk semua orang di kantor Cipto. Alhasil kepala cabang dan anak buahnya mengira Cipto sedang berulang tahun.

“Cipto, aku minta maaf, maaf banget, I’m very very late.” Riana datang, duduk di sebelah Cipto, memanggil pelayan, dan langsung memesan spaghetti oglio olio.

“Kenapa kamu gak pesan makanan?” tanyanya pada Cipto.

Cipto menggeleng, “Aku sudah kembung minum,” dia menunjuk dengan kepalanya dua cangkir cappucino di depannya.

“Maaf kamu kelamaan menunggu. Rapat tadi benar-benar mendadak karena karyawan baru salah kirim laporan ke klien,” Riana menggenggam tangan Cipto erat, meminta permakluman.

Cipto tersenyum, “Tidak apa-apa, aku ngerti. Tadi susah cari parkir?” katanya menutupi kegugupannya karena pertama kali disentuh oleh Riana.

Riana menggeleng, “Aku naik ojek.C

Cipto tersedak, “Yang benar?!”

“Cuma ojek yang bisa cepat sampai. Mobil kutinggal di kantor.”

Pesanan makanan dan minuman Riana datang dan dia melahapnya dengan cepat sampai Cipto mengira dia tidak makan berhari-hari.

“Lapar berat. Aku tadi belum makan siang,” sahut Riana.

“Cipto, apa kamu punya perasaan terhadapku?” tanya Riana ketika dia selesai mengunyah suapan terakhirnya.

“Perasaan yang bagaimana?”

“Jatuh cinta.”

Cipto tidak langsung menjawab. Diseruputnya lagi cappucinonya. Dipandanginya wajah Riana yang berambut panjang itu. Mata Riana kelihatan bersinar dan berbinar.

“Jadi?!” Riana mendesak.

“Apa?”

“Bagaimana perasaanmu terhadapku?”

“Aku suka padamu.”

Riana tidak puas, “Lalu?”

Cipto mengerti maksud Riana, tapi tiba-tiba dia tidak yakin dengan perasaannya sendiri. Diseruputnya lagi cappucinonya sampai tetes terakhir.

“Kau tahu, aku menikmati setiap detik bersamamu. Aku juga menyukai semangatmu, kemandirianmu, dan semua perhatianmu untukku…” Cipto mengambil napas panjang alih-alih melanjutkan.

Riana duduk mendekat pada Cipto sampai tubuh mereka hampir saling menyentuh.

“Kau mau melanjutkan hubungan kita atau tidak?"

Batin Cipto menggumam, hubungan yang mana? Kita belum pernah ada hubungan apapun.

Tiba-tiba bayangan perempuan lain berkelebatan di benak Cipto. Perempuan yang dia kenal sebagai kerabat tetangganya.

“Cipto?”

“Ya?”

"Bagaimana?”

“Apanya?” 

Riana menghela napas. Ditatapnya Cipto dalam-dalam, “Kau menyukaiku, menikmati waktu bersamaku, tapi tidak ingin melanjutkan hubungan denganku sebagai sepasang kekasih. Begitu maksudmu?”

Cipto tidak mampu menjawab karena Riana sudah mengatakan apa yang sebenarnya Cipto rasakan.

“Maafkan aku, Riana.”

“It’s alright. Terima kasih untuk waktumu, Cipto,” Riana mengecup pipi Cipto yang membuat wajah Cipto merona menahan malu dikecup di tengah keramaian CaffΓ© Milano.

“Oh ya, kau yang bayar tagihannya, ya,” lanjut Riana yang lalu berdiri dan langsung menghilang dari pandangan Cipto.

Cipto merasa tak enak karena tampaknya dia telah menyakiti Riana, tapi sekaligus terpana pada sikap Riana yang tidak menuntut karena perasaannya diabaikan.

Sesampainya ditempat parkir Cipto tidak langsung pergi, tapi mencari nomor perempuan yang tadi muncul diingatannya. Perempuan manis dari kampung yang bekerja di butik. 


“Eni? Hai. Kau pulang jam berapa? Boleh aku jemput? Kebetulan aku dekat dengan tempat kerjamu. Kita makan malam. Mie ayam dekat rumah? Oke. Aku ke tempatmu sekarang, ya. Tunggu aku.”

Cipto memacu mobilnya sambil bersiul mengikuti lagu What a Wonderful World dari suara Ray Charles yang berkumandang di kabin sedannya.

***

For Puji Suripto, died in June 2021 due to Covid-19. May you rest in peace, my old friend.

Cerpen: Romansa Kambing Lima Puluh Juta

Cerpen: Romansa Kambing Lima Puluh Juta

“Mau kemana lagi kita, Boy?’ tanya Randi sambil merebahkan punggungnya ke jok mobil. Sejauh ini Boy sudah membeli dua belas kambing dari enam tempat penjualan yang berbeda untuk dibagi-bagikan ke masjid dan panti asuhan. 

Randi sudah bosan dan lelah jadi dia berharap Boy menyudahi petualangan kambingnya, atau setidaknya mereka istirahat dulu menikmati kopi sore sebelum Boy mengajaknya entah kemana lagi.

“Ke rumah Sheren,” jawab Boy singkat.

Hampir sampai ke rumah Sheren ketika Boy berbelok dan memarkir mobilnya ke halaman ruko kosong yang dipenuhi kambing-kambing gemuk.
Randi mengekor Boy turun dari mobil dan menghela napas mengetahui Boy ingin beli kambing lagi. Kali ini Randi membiarkan Boy yang memilih-milih sendiri sedangkan dia bersandar pada mobil sambil melipat dua tangan ke dadanya.

Sesaat kemudian Boy sudah menggiring kambing tergemuk dan terbesar dengan tanduk panjang yang kokoh.

‘'Mau kemana, Boy!” teriak Randi melihat Boy berjalan ke luar area ruko meninggalkan mobilnya. Disusulnya Boy secepat mungkin.

“Tadi sudah kubilang kita ke rumah Sheren,” jawab Boy ketika Randi sudah berjalan disampingnya.

“Lalu kenapa kau bawa-bawa kambing?”

“Untuk Sheren,”

Randi terlonjak, “Buat apa?!”

“Buat Sheren, tadi sudah kubilang apa kau tidak dengar,” Boy menengok ke arah kanan dan kiri bermaksud menyeberang jalan.

“Maksudku buat apa kau beri kambing untuk Sheren?”

“Untuk hadiah kurban.”

Randi ingin bertanya lagi tapi diurungkannya karena tidak mau merusak suasana hati Boy yang mungkin berubah jika dicecar pertanyaan darinya.

Lima menit kemudian mereka sampai di rumah Sheren. Mereka dipersilahkan masuk oleh supir keluarga Sheren yang terheran-heran, tapi tak berani tanya, saat melihat kambing Boy.
S
keluar dari dalam rumah dan terkejut melihat Boy muncul mendadak di halaman rumahnya.

“Selamat Idul Adha, Sayang. Ini untukmu,” tanpa basa-basi Boy menyorongkan kambing ke arah Sheren, “maaf tidak diberi pita karena ini kambing jantan. Kalau diberi pita jadi banci.”

“Maksudmu apa ya, Boy?” tanya Sheren tidak yakin pada sikap aneh Boy.
 
Boy memamerkan gigi-giginya yang putih dan berkilau, “Ini kambing untukmu, Sayang. Silahkan diterima.”

Sheren mundur menjauh dan menolak mengambil kambing dari tangan Boy.

“Apa-apaan sih kamu, Boy? Buat apa kamu memberiku kambing?”

Sheren melongok ke kanan-kiri dan memanjangkan lehernya ke arah gerbang berharap menemukan kamera yang menyadarkannya bahwa ini prank.

“Kalau kamu berharap ini prank untuk konten, kamu keliru. Tidak ada kamera atau apapun karena yang aku berikan ini tulus bukan untuk mengerjai dan menjahilimu,” Boy maju lagi mendekati Sheren.

Sheren mundur dan sekali lagi melihat ke sekelilingnya berharap menemukan tanda bahwa dia memang sedang dijahili. Tapi yang dilihatnya hanya supir yang juga penasaran ada apa dibalik pemberian kambing itu.

Harapan Sheren musnah karena tidak ada tanda-tanda Boy melakukan prank terhadapnya.

“Tolong terima, Sayang. Tidak ada yang lebih indah dari berkurban di hari raya kurban ini,” bujuk Boy sambil maju lebih dekat kepada Sheren.

“Boy, stop!” Sheren mulai hilang kesabaran. 

“Kalau kamu maju lagi dan nekat memberi kambing padaku, kau tak usah jadi pacarku lagi!”

“Sheren, Sayang, kalau kau terima kambing ini lalu kau kurbankan ke masjid, kau akan dapat pahala. Aku memberimu hadiah dunia akhirat,  Sayang.”

Sheren murka, “Pergi, Boy! Bawa kambingmu dan jangan hubungi aku lagi! Kau sudah sinting!” Pergi, Boy!” Sheren mengangkat telunjuknya tinggi ke arah gerbang untuk mengusir Boy.

Boy pergi tanpa mengucap sepatah katapun. Dia menggiring kambing jantannya keluar rumah Sheren, bersama Randi yang membisu berjalan disampingnya.

Randi terus mengikuti Boy berjalan ke arah, yang Randi yakin, ke masjid berjarak lima ratus meter dari rumah Sheren.

“Kita berhasil, Ran,” kata Boy.

“Berhasil putus atau berkurban kambing?” 

“Dua-duanya,” Boy sumringah, “thanks bantuannya, sob!”

Sejak awal Randi sudah merasa dianggap sebagai asisten pribadi daripada teman kuliah. Boy memberi “uang terima kasih” tiap kali Randi membantunya membuat tugas kuliah, mengingatkan jadwal kuliah, atau membeli buku-buku yang diperlukan. 

Tiga bulan setelahnya Boy memberinya upah bulanan ditambah uang pulsa yang secara tidak langsung menyatakan, “Mulai saat ini kau bekerja padaku.”

Maka Randi sangat paham jika Boy memanggilnya dengan sebutan “sob”, berarti Boy sedang sangat bersuka cita.

Membeli banyak kambing senilai lima puluh juta untuk kurban dan sedekah memang membangkitkan suka cita. Tapi memutuskan pacar secara “jantan” menggunakan kambing jantan? 
Menurut Randi itu gila, dalam tanda kutip.