Mi Ayam dalam Secangkir Cappuccino

Mi Ayam dalam Secangkir Cappuccino

Berdasarkan hasil pencarian yang masuk ke emperbaca.com di Google Search dan Bing yang memunculkan kata "cerpen romantis" maka emperbaca.com tuliskan cerpen yang bisa bikin hati jadi manis sekaligus meringis.

mi ayam dalam secangkir cappuccino

Berikut cerpen romantis manis berjudul Mi Ayam Dalam Secangkir Cappuccino. Seperti judul FTV, gak, sih? Mirip tidak apa-apa  yang penting enak dibaca dan tidak membosankan.

Mi Ayam dalam Secangkit Cappuccino

Cipto mematikan laptop dan memasukkan kedalam tasnya. Diperiksanya pesan WhatsApp di ponselnya untuk melihat apakah ada pesan dari Riana atau tidak.

Ada. Tercatat pesan itu datang lima belas menit lalu. 

Jangan terlambat ya nanti. Aku gak mau kelamaan nunggu.

Oke, oke. Memangnya kapan aku pernah terlambat? Cipto membatin. Dilihatnya jam di tangan kirinya, pukul lima sore. 

Meski janji temu dengan Riana masih satu jam lagi, tapi Cipto tetap pada niatnya semula untuk pergi tepat pukul 17.00 saat jam kantor selesai. Andai datang duluan pun dia tidak keberatan menunggu.

Cipto keluar dari ruangannya dan menyapa lima orang sales anak buahnya yang masih mengecek stok obat dalam daftar penjualan mereka. 

“Pulang tenggo, Mas?” tanya salah satunya. 

Cipto mengangguk.

“Tumben,” timpal yang lain.

 

"Ada urusan," jawab Cipto singkat.

 

Anak buahnya terkekeh saling melempar gurauan bahwa itu pasti urusan cinta. Kemudian ada suara yang mengatakan wajar karena Mas Cipto belum punya pacar. Yang lain menimpali kalau mereka harus syukuran kalau Mas Cipto benar punya pacar. 

 

Cipto tidak menjawab apa-apa dan hanya melempar senyum tipis, tidak menghiraukan gurauan-gurauan yang ditujukan padanya. Dia lalu keluar kantor menuju lift sambil menyampaikan sampai jumpa di hari Senin kepada para anak buahnya itu.

 

Jalanan di Jumat sore belakangan ini tidak semacet sebelum dibangun MRT, jadi Cipto masih bisa memacu sedannya merayapi jalan, tidak tersendat-sendat dan terhenti mendadak seperti siput tertabrak kura-kura. Cipto menyetel lagu pop kesukaannya yang mengalun merdu memenuhi kabin.

 

Tiga puluh menit kemudian Cipto sampai di Grand Indonesia. Dia sengaja mencari parkiran di basement yang lebih lapang. Ada pesan masuk di ponselnya, dari Riana.

 

Maaf, aku agak terlambat. Harus rapat mendadak. Klien complaint.

 

Cipto membalas bahwa dia tidak keberatan dan akan menunggu di CaffΓ© Milano, tempat temu janji mereka. Lalu emoji hati warna biru muncul dari balasan Riana.

 

Suasana di CaffΓ© Milano masih sepi. Cipto menyebut nama Riana sebagai pemesan tempat dan dia dibawa oleh pelayan ke meja dengan sofa melingkar berwarna krem. Dia memesan cappucino dan menangguhkan memesan makanan sampai Riana datang.

 

Ini tempat favorit Riana, katanya makanannya enak-enak. Adonan roti pizzanya renyah dan kenyal karena dimasak oleh chef asli Italia, beda dari pizza yang ada di Indonesia. Namun, yang paling disuka Riana adalah Smoke Salmon Burata yang dia bilang menu andalan kafe ini.

 

Apapun yang Riana suka, Cipto juga menyukainya walaupun lidahnya kurang menikmati citarasa makanan Italia.

 

Sebenarnya Cipto kenal Riana sejak SMP. Mereka pernah satu kelas dan beberapa kali mengerjakan tugas kelompok bersama. Riana anak yang ramah tiap mereka mengobrol dan bercanda tapi serius bila bicara soal pelajaran. 

 

Cipto juga sebenarnya pernah naksir Riana, tapi dia tidak pernah mengungkapkannya karena malu. Siapalah dia. Riana anak orang kaya, cantik, dan banyak cowok keren yang juga naksir padanya.

 

Mereka pisah sekolah ketika lulus. Riana ke SMA swasta dan Cipto ke sekolah negeri paling favorit se-Jakarta.


Saat di SMA Cipto juga naksir seorang perempuan teman sekelasnya karena punya pembawaan mirip Riana. Sayangnya, lagi-lagi dia malu mengungkapkan isi hatinya. Baru setelah kuliah dia melupakan Riana sepenuhnya.

 

Dunia ternyata memang sempit dan kalau jodoh katanya tidak kemana. Lima tahun setelah lulus kuliah, Cipto bertemu lagi dengan Riana di acara penandatanganan kontrak antara kantornya—distributor obat milik perusahaan farmasi terkemuka—dengan kantor Riana.

 

Riana ternyata mendirikan perusahaan komunikasi riset dan kantor Cipto memerlukan jasa konsultasi milik Riana untuk  branding produk penurunan berat badan.

 

Riana kuliah di Singapura lalu melanjutkan ke sekolah bisnis Harvard. Selepasnya dia bekerja di perusahaan milik seorang konglomerat Amerika selama tiga tahun lalu pulang ke Indonesia.

 

Lucunya, mereka baru dekat justru setelah kontrak kerjasama kantor Cipto dengan perusahaan Riana selesai.

 

Berawal dari bertukar nomor ponsel, ngopi bareng, bertukar pesan, bertemu, dan kali ini adalah pertemuan mereka yang ketiga dalam dua bulan terakhir, di kafe favorit Riana.

 

Musik instrumental di CaffΓ© Milano lamat-lamat terdengar makin keras seiring bertambah banyaknya orang yang datang.

 

Cipto memesan cappucinonya yang kedua. Riana belum juga datang dan lagi-lagi cuma mengirim pesan WhatsApp.

 

Maaf, setengah jam lagi aku sampai. Tunggu ya.

 

Cipto membalas singkat dengan huruf o dan k besar. Dia bersedia menunggu dan tidak merasa diremehkan meski harus menunggu hampir satu jam, karena Riana pantas untuk ditunggu.

 

Perempuan itu selalu memberi perhatian dengan cara tak terduga. Riana pernah mengirim makan siang untuk semua orang di kantor Cipto. Alhasil kepala cabang dan anak buahnya mengira dia sedang berulang tahun.

 

“Cipto, aku minta maaf, maaf banget, I’m very very late.” Riana akhirnya datang. Dia menghempaskan diri di sebelah Cipto kemudian memanggil pelayan dan memesan oglio olio Dan…

 

“Kenapa kamu gak pesan makanan?” tanyanya pada Cipto.

 

Cipto menggeleng, “Aku sudah kembung minum,” dia menunjuk dengan kepalanya dua cangkir cappucino di depannya.

 

Riana menunjukkan wajah bersalah disertai tatapan manja. “Maaf kamu kelamaan nunggu. Rapat tadi benar-benar mendadak karena karyawan baru salah kirim laporan ke klien,” Riana menggenggam tangan Cipto erat, meminta permakluman.

 

Cipto tersenyum, “Tidak apa-apa, aku ngerti. Tadi susah cari parkir?” katanya menutupi kegugupannya karena pertama kali bersentuhan fisik dengan Riana.

 

Riana menggeleng, “Aku naik ojek.”

 

Cipto tersedak, “Yang benar?!” 

 

“Cuma ojek yang bisa cepat sampai. Mobil kutinggal di kantor.”

 

Pesanan makanan dan minuman Riana datang dan dia melahapnya dengan cepat sampai Cipto mengira dia tidak makan berhari-hari.

 

“Lapar berat. Aku tadi belum makan siang,” sahut Riana lalu menyeruput jus semangka.

 

“Cipto, apa kamu punya perasaan terhadapku?” tanya Riana ketika dia selesai makan.

 

“Perasaan yang bagaimana?”

 

“Jatuh cinta.”

 

Cipto tidak langsung menjawab. Diseruputnya lagi cappucinonya. Dipandanginya wajah Riana yang berambut panjang itu. Mata Riana kelihatan bersinar dan berbinar.

 

“Jadi?” Riana mendesak.

 

“Apa?”

 

“Bagaimana perasaanmu terhadapku?”

 

“Aku suka padamu.”

 

Riana tidak puas, “Lalu?”

 

Cipto mengerti maksud Riana tapi tiba-tiba dia tidak yakin dengan perasaannya sendiri. Diseruputnya lagi cappucinonya sampai tetes terakhir.

 

“Kau tahu, aku menikmati setiap detik bersamamu. Aku juga menyukai semangatmu, kemandirianmu, dan semua perhatianmu untukku…” Cipto mengambil napas panjang alih-alih melanjutkan.

 

Riana duduk mendekat pada Cipto sampai tubuh mereka hampir saling menyentuh.

 

“Kau mau melanjutkan hubungan kita atau tidak?” ujar Riana.


Batin Cipto menggumam, hubungan yang mana? Kita belum pernah ada hubungan apapun. 

 

Tiba-tiba bayangan perempuan lain berkelebatan di benak Cipto. Perempuan yang dia kenal sebagai kerabat tetangganya.

 

“Cipto?”

 

“Ya?”

 

“Bagaimana?”

 

“Apanya?”

 

Riana menghela napas. Ditatapnya Cipto dalam-dalam, “Kau menyukaiku, menikmati waktu bersamaku, tapi tidak ingin melanjutkan hubungan denganku sebagai sepasang kekasih. Begitu maksudmu?”

 

Cipto tidak mampu menjawab.

 

“Maafkan aku, Riana.”

 

It’s alright. Terima kasih untuk waktumu, Cipto,” Riana mengecup pipi Cipto yang membuat wajah Cipto merona menahan malu dikecup di tengah keramaian CaffΓ© Milano.

 

“Oh ya, kau yang bayar tagihannya ya,” lanjut Riana yang lalu berdiri dan langsung menghilang dari pandangan Cipto.

 

Cipto merasa tak enak telah menyakiti hati Riana tapi sekaligus terpana pada sikap Riana yang tidak diduganya sama sekali.


Cipto membayar tagihan CaffΓ© Milano dan sesampainya di tempat parkir dia tidak langsung pergi. Cipto membuka menu kontak dan mencari nomor perempuan yang tadi muncul diingatannya. Perempuan manis dari kampung yang berkerabat dengan tetangganya yang punya butik.

 

“Eni? Hai. Kau pulang jam berapa? Boleh aku jemput? Kebetulan aku dekat dengan tempat kerjamu. Sekalian kita makan malam, ya. Oh, mi ayam dekat rumah? Oke. Aku ke tempatmu sekarang ya. Tunggu aku.”

 

Cipto memacu mobilnya sambil bersiul mengikuti lagu What a Wonderful World dari suara Ray Charles yang berkumandang di kabin sedannya.

Selalu Ada Jalan

Selalu Ada Jalan

Cerpen berjudul Selalu Ada Jalan ini dikarang oleh Inong Islamiyati Abdullah yang juga aktif menulis cerpen di blog publik Kompasiana. Kisah Yumna ini sederhana, tapi punya pesan moral yang kuat tentang perjuangan hidup dan motivasi pantang menyerah. Selamat membaca!

 

selalu ada jalan

Selalu Ada Jalan

Yumna berdiri menatap ke luar jendela ruang tamunya sambil sesekali memandangi selembar ijazah SMA miliknya. Matanya berkaca-kaca dan berulangkali dia menghela napas.

Sesekali pandangannya teralih pada hamparan kebun bawang merah yang berada di samping rumahnya. 
 
Dia menangis, teringat akan mimpi yang telah lama dia perjuangkan. Berkuliah dan jadi sarjana lalu bekerja di kota metropolitan demi memperbaiki ekonomi keluarga sekarang sirna. 

 

Sepekan setelah Yumna mendapat kabar bahagia kalau dia lolos sebagai penerima beasiswa S1, sang ayah meninggal dunia. Sosok pelindung, permata hati, dan tulang punggung keluarga itu telah pergi saat Yumna belum membalas semua jasa beliau. 


Kini gadis remaja itu tinggal berdua dengan sang ibu. Sebagai anak tunggal, Yumna tidak tega membiarkan sang ibu tinggal sendirian di desa. Sang ayah meninggalkan harta warisan sepetak petak kebun bawang merah seluas 500 meter per segi. 

 

Di sinilah Yumna merasa hidupnya berakhir, tetapi dia berusaha mengikhlaskan seluruh harapan dan mimpinya untuk jadi orang kantoran terpendam kembali. 

 

Air matanya mulai menetes karena dalam hati kecilnya Yumna masih merasa berat harus rela melepaskan semua impiannya. Padahal itu cuma impian sederhana guna kebaikan diri dan keluarganya.

 

“Yumna, kamu tidak apa-apa sayang?” seru Ibu sambil menepuk bahu gadis berkerudung itu. Dengan cepat Yumna menyimpan kembali lembaran ijazahnya. 

 

“Ah, tidak apa-apa Bu,” ujar Yumna berbohong. Namun, naluri seorang ibu sangat yakin kalau anaknya sedang tidak baik-baik saja. 

 

“Maafkan Ibu, Sayang. Ibu tahu kalau kuliah adalah impianmu sejak lama. Ibu minta maaf karena Ayah sudah pergi dan kau seperti terkungkung hanya berdua bersama Ibu."

 

Yumna tersenyum dan memeluk ibunya, “Yumna tidak apa-apa kok, Bu. Kebahagiaan Yumna adalah selalu bersama di dekat Ibu."

 

"Sekarang, yuk, Bu, kita kembali berkebun. Kita harus menjaga warisan Ayah yang berharga ini.” 

 

Ibu tersenyum lembut, “Yumna sayang, percayalah Tuhan pasti punya rencana yang terbaik untuk hamba-Nya. Ibu percaya bahwa suatu saat kamu sukses.” 


Ibu dan Yumna kemudian mengambil perlengkapan berkebun dari gudang dan mulai beranjak menuju kebun bawang. Mereka mencabut gulma dan rumput liar serta memeriksa bonggol-bonggol bawang merah.

 

Pekan depan bawang merah panen dan mereka bisa menjualnya ke pasar. Meskipun harga panen bawang merah tidak menentu, Yumna bersyukur karena dari sinilah mereka tetap bisa makan. 

 

Ayah sering bilang kalau kita tidak boleh meminta bantuan pada orang lain selama kita bisa berusaha sendiri. Tidak apa-apa hidup sederhana yang penting hati selalu bahagia.  


Terkadang jika ada beberapa bawang yang tidak laku terjual, ibu akan membuat bawang goreng karena takut jika dibiarkan begitu saja bawang-bawang tersebut akan membusuk. 

 

Yumna juga membantu ibunya memotong bawang tipis tipis sementara Ibu membumbui bawang. Kalau sedang tidak mereka sudah nikmat makan hanya dengan nasi bercampur bawang goreng saja.

 

“Ibu tahu tidak? Bawang goreng Ibu ini enak banget, lho, Bu. Bagaimana kalau kita jual juga? Yumna yakin banyak yang mau beli karena enak."


Ibu lalu tertawa kecil, “Kamu ada-ada saja. Kalau cuma bawang goreng di pasar juga banyak, Nak.” 

 

“Serius Bu! Yumna akan berusaha keras supaya bawang goreng ini laku terjual,” seru Yumna sembari berpikir cara memasarkan bawang goreng buatan ibunya. 

 

Yumna mencari informasi di internet dan belajar bagaimana cara menggoreng yang tahan lama. Dia juga belajar cara mengemas dan memasarkan barang agar banyak yang tertarik membeli.


Dengan tekad kuat, Yumna membantu ibunya menggoreng bawang dan memasarkannya lewat lokapasar. Yumna sudah tahu kalau bawang gorengnya tidak selalu laku banyak. Kadang ada yang tidak terjual sama sekali.

 

Meskipun begitu Yumna tidak pernah menyerah dan terus berusaha memasarkan bawang goreng buatan ibu dan dirinya.  

 

Agar bawang gorengnya bisa lebih dikenal, Yumna menawarkan sampel untuk dicicipi dan mencoba menjual bawang gorengnya di beberapa restoran dan rumah makan. Dari mereka juga Yumna mendapatkan saran tentang kemasan, bentuk, dan juga rasa bawang goreng miliknya. 

 

Saran tersebut Yumna lakukan supaya bawang gorengnya terus laku dan punya pasar yang luas. Perjuangan tidak pernah mengkhianati hasil. Dengan kerja keras, ikhtiar, dan doa dari sang Ibu, kini bawang goreng Yumna sudah dikenal orang. 

 

Bawang goreng buatan Yumna dan ibunya kini telah punya pilihan rasa original, pedas, dan campur teri. Usaha bawang goreng rumahan tersebut kini melesat hingga Yumna merekrut beberapa orang desanya untuk bekerja.

 

“Benar, kan, yang dulu Ibu bilang, kadang rencana Tuhan jauh  lebih indah daripada rencanamu. Ibu bangga padamu, Yumna. Ibu juga yakin, Ayahmu di atas sana juga akan sangat bahagia melihat keadaanmu sekarang.” 


Wajah di Antara Angin dan Matahari

Wajah di Antara Angin dan Matahari

Cerita pendek ini termasuk kisah aksi karena menggambarkan penyelamatan heroik penjaga pantai yang menolong wisatawan yang tenggelam di laut. Lebih banyak percakapan daripada narasi dan enak dibaca karena memicu adrenalin kita saat menikmati aksi demi aksi di pantai.

Selamat membaca dan jadi penjaga pantai!

Wajah di Antara Angin dan Matahari

Joni mengamati ada yang tidak beres di antara ratusan orang yang diamatinya sedang bermain air dan berendam di bibir laut yang menjorok ke pantai. Ada orang yang bolak-balik melihat ke arah pantai, ada yang seperti berteriak-teriak, dan ada yang bergegas menuju pantai.

cerpen wajah di antara angin dan matahari

Dia mencari dari balik teropongnya untuk memastikan ada orang tenggelam atau tidak. Ada!

Matanya mencari Tisa untuk minta bantuan, tapi Tisa terlalu jauh untuk dipanggil. Kerumunan orang dan deburan ombak juga membuat Joni urung karena sekeras apapun teriakannya, Tisa pasti tidak dengar.

 

Joni melongok ke dalam. Olav tidak kelihatan. Dia mungkin sedang di ruang persediaan mengecek loker obat-obatan. Rizky sedang patroli ke arah barat yang sama jauhnya dengan Tika.

 

“Olav, aku turun!” Joni berteriak ke arah ruang dalam berharap Olav mendengar dan menggantikannya menjaga pos.

 

Joni menuruni tangga landai, lari ke pantai, mencemplungkan diri, dan berenang ke arah orang yang tenggelam, enam puluh meter dari bibir pantai.

 

Makin dekat Joni menuju orang itu makin kelihatan bahwa yang sedang gelagapan di air ternyata perempuan. Jilbabnya menutupi wajah dan dia menyingkapnya sebelum berusaha mengambil napas.

 

Joni ingin cepat menarik tangan perempuan itu dari air supaya tidak lagi timbul-tenggelam dan paru-parunya kemasukan air, tapi diurungkan karena kuatir perempuan itu tidak ingin disentuh olehnya yang bukan mahram.

 

Dilemparnya papan pelampung ke arah si perempuan, tapi belum sempat meraih, perempuan itu tenggelam ke air. Kali ini tidak muncul lagi ke permukaan.

 

Joni mencari ke sekeliling, berharap si perempuan muncul entah dari sebelah mana.

 

Tiga detik berlalu,  Joni pun menyelam. Ketemu! Ditariknya tangan si perempuan yang, untungnya baru tenggelam di kedalaman lima meter, jilbabnya sudah lepas.

 

Diletakkannya tangan si perempuan ke atas papan pelampung dan Joni berenang menarik papan itu ke pantai.

 

Kerumunan orang menyemut di pantai ingin melihat keadaaan orang yang tenggelam. Seorang pria muda dan dua lanjut usia menunjuk-nunjuk dan berteriak memanggil si perempuan yang rupanya bernama Anisya.

 

Tisa mencebur diri ke air membantu menarik Anisya supaya cepat sampai ke darat.

 

Olav, yang sudah siap dengan oksigen portabel dan kotak P3K, segera menghalau kerumunan orang agar mundur dan memberi ruang supaya Anisya bisa ditolong tanpa terganggu.

 

Sepuluh menit kemudian setelah Olav memberinya oksigen,  Anisya sudah bisa berdiri dan berjalan dipapah suaminya.

 

Kerumunan bubar dan orang-orang meneruskan kembali keasyikan mereka di pantai yang berpasir halus warna hitam.

 

“Orang-orang yang tidak pakai baju renang sangat melelahkan ditolong,” ucap Joni pada Tisa ketika mereka berjalan kembali ke Pos Jaga 4.

 

“Mereka meronta-ronta?” tebak Tisa.

 

Joni menggeleng, “Baju mereka berat tubuh mereka ikutan berat, aku harus menarik mereka dengan tenaga ekstra.”

 

Tisa tertawa dan menepuk-nepuk pundak Joni.

 

“Kenapa?!”


“Berarti kau kurang latihan.”

 

Olav, yang berjalan di depan mereka, mempercepat langkahnya ke pos setelah menjawab handy-talkie yang diikat di baju renangnya.

 

Dia memanggil Rizky yang baru kembali dari patroli dan memintanya melakukan sesuatu.

 

Semenit kemudian Rizky keluar dan menaiki ATV sambil membawa dua tabung oksigen portabel.

 

“Mau dibawa kemana oksigen itu?’ kata Tisa pada Joni yang hanya dijawab Joni dengan gelengan dan bahu yang terangkat.

 

Di Pos Jaga 5, seratus lima puluh meter dari pos tempat Joni menyelamatkan Anisya, Bram sedang menekan dada seorang remaja.

 

Dua remaja rupanya kebablasan saat bercanda. Mereka bercipratan air lalu saling menenggelamkan kepala sampai yang satu pingsan dan yang satunya hampir kehabisan napas menelan air laut.

 

Seorang ibu menangis sambil berteriak Allahu Akbar meratapi si remaja yang pingsan. Lima remaja laki-laki bergantian mengusap air mata yang jatuh ke pipi mereka sambil sesekali memanggil pelan remaja pingsan yang ternyata bernama Arif.

 

Marni datang dan langsung memasang bag valve mask. Dipompanya kantung itu sepuluh kali lalu dilanjutkan lagi oleh Bram menekan dada si remaja.

 

Si remaja membuka matanya lalu batuk-batuk. Bram memiringkan badannya ke kiri agar air laut bisa keluar.

 

“Alhamdulilah, Arif!” seruan-seruan yang memanggil penuh syukur berkelebatan.

 

Bram minta Arif menjawab: ini tahun berapa, sedang dimana, dan siapa namamu, untuk memastikan Arif tidak mengalami cedera kepala.

 

Bram dan Marni lalu mengangkat Arif masuk ke pos untuk diperiksa tekanan darah dan kadar oksigennya.

 

Marni menyiapkan oksigen yang diterimanya dari Rizky dan memakaikan selangnya ke hidung Arif.

 

Sepuluh menit kemudian setelah Arif dapat baju ganti dan sudah kuat berjalan, dia dan rombongannya pulang meninggalkan pantai.

 

“Anak itu sedang henti napas waktu kau datang,” ujar Bram pada Marni.

 

“Apa kau sempat membantu napas mulut ke mulut?” tanya Marni agak kuatir.

 

“Hampir, untung kau cepat datang,” jawab Bram.

 

Marni lega. Bantuan pernapasan mulut ke mulut sudah sangat dihindari karena berisiko tinggi menularkan penyakit.

 

“Bram, Bram? Semua beres?” suara Olav terdengar di radio panggil yang tersemat dibahu Bram.

 

Bram memencet tombol kecil di radionya, “Beres. Sebentar lagi kuisi tabungmu ke pusat dan kukembalikan ke Pos 4,” jawab Bram sambil meneguk air mineral di gelas yang diisinya dari galon.

 

“Oke, Bram. Satu jam lagi Pos 4 ganti shift, tapi aku akan menunggumu andai kau belum datang.”

 

“Trims, Olav.”

 

Menit demi menit berlalu. Hari makin sore dan matahari hampir terbenam. Pantai berangsur-angsur sepi. Tidak banyak yang tinggal di pantai karena sunset tertutup awan tebal dan hanya memburatkan sinar oranye tipis.

 

Tisa, Joni, dan Rizky sudah meninggalkan Pos Jaga 4 karena shift mereka sudah selesai.

 

Olav sudah menerima dua tabung oksigen yang dikembalikan Bram. Seruput demi seruput wedang jahe yang masih mengepul dinikmatinya sambil menunggu dua orang tim jaga malam yang akan datang dua puluh menit lagi.

Status WhatsApp Sidiq

Status WhatsApp Sidiq

June membaca ulang percakapan WhatsApp yang telah berlangsung sejam lalu antara dirinya dengan Sidiq. Tiada kalimat buaian, apalagi rayuan, June menginginkannya setengah mati—tapi semua hanya tentang pekerjaan. 
 
cerpen baper

Manajer baru yang harusnya diangkat dari internal departemen. Kenaikan gaji Boy yang bocor yang nampaknya disengaja oleh Boy sendiri dengan membiarkan email di komputernya terbuka. Tidak ada lagi kopi dan teh di pantry untuk penghematan. Dan lain sebagainya yang boring dan ngapain diomongin di WhatsApp, menurut June. 
 
June dan Sidiq satu ruangan walaupun berbeda divisi. Itu sebab June berharap supaya percakapan di WhatsApp dengan Sidiq lebih pribadi, tidak urusan kantor lagi, kantor lagi. 
 
Sayang, harapan June tidak terwujud karena Sidiq lalu mengucapkan selamat beristirahat yang diakhiri dengan emotikon kiss, membuat June agak berbunga.
 
June menutup jendela percakapan Sidiq karena pesan dari Jeni, yang mengonfirmasi kehadirannya ke galeri, masuk ke WhatsApp.
 
Konfirmasi itu dijawab June dengan huruf o dan k.
 
Besok aku ajak adikku juga. Biar dia lihat dunia di luar kampusnya, tulis Jeni di WhatsApp.
 
Dia mau? Ketik Jeni.
 
Harus mau. Besok Sabtu mumpung dia libur. Kalau tidak, dia bakal bertelur di kampus saking semua waktunya habis di sana, balas Jeni.
 
June membalas dengan huruf o dan k lagi karena sesungguhnya bukan pesan dari Jeni yang dia harapkan. Toh kunjungan ke pameran di galeri sudah jauh-jauh hari mereka rencanakan, jadi tidak perlu konfirmasi lagi.
 
Selepas berbalas pesan dengan Jeni, June membaca ulang sekali lagi percakapannya dengan Sidiq. Ternyata Sidiq sedang online!
 
June sigap mengetik. Belum tidur?
 
Ditunggunya sedetik, dua detik, lima detik. Sidiq masih online, tapi belum membalas pesannya. Centangnya belum biru, yang artinya Sidiq sedang bercakap dengan orang lain.
Masih, balas Sidiq di detik ke-20.
 
Besok ada acara? Mau temani aku ke galeri seni rupa di Bojong?
 
June agak menyesali dirinya nekat mengajak Sidiq ke tempat yang belum tentu Sidiq suka.
 
Mau. Jam berapa? Kujemput atau ketemu di sana?
 
June terlonjak nyaris jatuh dari tempat tidurnya. Dia membaca sekali lagi balasan dari Sidiq, memastikan tidak salah baca.
 
Sidiq mau!
 
Jam 10. Ketemu di sana, ya. Soalnya enggak enak sudah janjian sama teman.
 
June mengetik sambil mengeluarkan aura rindu dan manja sekuat tenaga, berharap Sidiq merasakannya lalu dengan suka cita menawarkan untuk menjemput.
 
Aku akan ada di sana jam 10. Sampai besok, balas Sidiq.
 
“Cuma gitu aja?!” June memaki dalam hati, tidak puas.
 
Lalu Sidiq tidak lagi online. June masih ingin berbalas pesan dengannya, tapi tiga menit ditunggu Sidiq tidak juga online lagi. Maka dengan keteguhan hati June mengirim pesan lagi.
 
Memang kamu tahu tempat galerinya di Bojong sebelah mana? 
 
Tahu
 
Balasan dari Sidiq yang lebih singkat dari proklamasi kemerdekaan RI membuat June kecewa setengah mati, walau dia tahu kalau Sidiq memang sering menjawab singkat seperti itu.
 
June memberi emotikon bergambar senyum lagi kepada Sidiq. Tidak berbalas. Dia menggeser ke fitur Status untuk melihat apa yang dipos teman-temannya guna mengusir kecewa karena harapannya berlama-lama berbalas pesan dengan Sidiq tidak terwujud.
 
Ternyata ada status baru muncul dari Sidiq. Mata June membulat senang. Sidiq mengepos status berupa kartun perempuan dan kata-kata mutiara tentang wanita salihah yang jadi idamannya.
 
June ingin mengomentari, tapi gengsinya lebih tinggi dari rindunya, apalagi Sidiq tadi cuma menjawab alakadar. Bagaimana bila komentarnya malah tidak dibalas? 
 
Pukul sebelas malam June jatuh tertidur dengan ponsel terdekap di dadanya.
 
Sabtu pukul sepuluh pagi Sidiq datang lima menit lebih awal dari June, Jeni, dan adik Jeni. Dia menunggu berdiri di depan pintu galeri dan bersandar pada tiang besar. Tangan kirinya dimasukkan pada saku jeansnya sementara tangan kanannya memegang ponsel.
 
June senang bukan kepalang. Jantungnya bedebar dan mulutnya ingin terus menyunggingkan senyum. Persis remaja yang baru merasakan pengalaman cinta monyet dengan lawan jenis. 
 
Otot lengan Sidiq tampak kokoh dibalik kaos oblongnya, membuat June rasanya ingin bersandar.
 
Wajah Sidiq tidaklah tampan, tapi juga tidak jelek. Kulitnya putih. Meskipun tinggi badannya tidak termasuk kriteria lelaki idamannya, June menyukai pembawaan Sidiq yang tenang, senang bercanda, dan mudah bergaul dengan orang bermacam karakter. 
 
Sidiq orang paling lama yang bekerja di divisinya, yang terkenal punya turn over tinggi, karena yang lain hanya bertahan satu tahun saja bekerja dibawah direktur yang sulit. Sidiq menjadi tempat curhat para karyawan probie yang merasakan tekanan tanpa batas. Itu menjadikan Sidiq kepanjangan tangan para karyawan sekaligus orang kepercayaan direktur.
 
Setelah Sidiq dan Jeni saling berkenalan dan berbasa-basi tentang lalu lintas yang tumben-tidak-macet, mereka masuk ke galeri, diekori adik Jeni yang menggerutu tentang betapa tidak menariknya melihat batu-batu dipahat.
 
June melihat Sidiq tidak kesulitan menikmati seni pahat, bahkan yang oleh orang awam dianggap vulgar berupa patung putri duyung berkemben dengan lelaki yang nyaris telanjang. June agak tercengang. Andai Sidiq pura-pura menikmati, maka kepura-puraan itu sempurna.
 
Sementara adik Jeni juga tampak tertarik memandangi pahatan berbentuk lelaki bertubuh asimetris, walau setelahnya dia mengeluh betapa anehnya bentuk-bentuk seni yang ada di pameran itu.
 
Harapan June mengobrol selain urusan pekerjaan dengan Sidiq akhirnya tercapai.
 
Sidiq bertanya mengapa June menyukai seni pahat. June bertanya apa yang membuat Sidiq mau menemaninya ke pameran. 
 
Sidiq menanyakan berapa lama June bersahabat dengan Jeni. June menanyakan apakah Sidiq juga sering hangout bersama adiknya seperti Jeni atau tidak. 
 
Begitulah mereka bertukar tanya sembari melihat-lihat aneka bentuk pahatan kontemporer.
 
Pukul setengah satu siang Sidiq pamit meninggalkan pameran karena ada janji makan siang dengan orang lain.
 
June kecewa karena sebetulnya dia juga berencana mengajak Sidiq makan siang.
 
Sidiq dan June berpisah di depan galeri, betapapun June telah merayu dan berakting kesepian supaya Sidiq mau makan siang dengannya, tidak menggugah Sidiq.
 
Pekan berikutnya June hanya tiga kali berbalas pesan dengan Sidiq. Mereka tidak bertemu lagi di kantor karena Sidiq dipromosikan jadi asisstant vice president yang membuatnya pindah ruangan ke lantai 5.
 
June kemudian juga sibuk bersama tim humas untuk pembukaan kantor agen baru dan gathering bersama para wartawan. Pekerjaan yang menyita waktu di Makassar dan Palembang membuat June melupakan Sidiq sejenak.
 
Tiga pekan berikutnya, di kamarnya yang beraroma lavender, June berniat menanyakan kabar dan pekerjaan Sidiq di jabatan barunya, tapi June tergerak untuk lebih dulu menggeser fitur WhatsAppnya ke bagian Status sebelum menyapa Sidiq.
 
June hampir merasa jantungnya copot melihat status WhatsApp Sidiq berisikan foto dirinya sedang berdiri berhadapan dengan perempuan berjilbab ungu yang bajunya berwarna sama dengan Sidiq.
 
Jantung June sekarang copot betulan saat membaca keterangan foto “Bismillah. Melamarmu menuju keluarga sakinah insyaallah.”
 
Dilemparnya ponsel ke lantai dan June sesenggukan sambil menutup wajahnya dengan bantal.

Cerpen: Semangkuk Sup Hangat

Cerpen: Semangkuk Sup Hangat

Semangkuk Sup Hangat 

Pengarang: Inong Islamiyati

Aku suka sekali sup buatan ibu. Ibuku pandai memasak dan masakan ibu yang sangat aku sukai adalah sup sayur spesial. 

Aku ingat saat pertama kali makan sup spesial itu. Hari itu adalah hari kepergian ayah, aku menangis dalam selimut karena tidak percaya ayah telah pergi meninggalkan kami. Kakakku, Nara, berulang kali membujuk aku untuk makan, tapi aku tidak mau.

“Sudah, Nara, biar Ibu saja,” kata Ibu, “Nara tunggu di meja makan saja, ya."

Di atas meja sudah ada semangkuk sup sayur dengan tambahan makaroni dan sosis ayam. Hangat. Rasanya enak sekali. Aku sampai ingin menangis karena teringat Ayah sekaligus merasakan kelezatan yang penuh kasih sayang dari Ibu.

“Nayla tenang saja, ya. Ayah justru akan sedih kalau Nayla sedih. Makan yang banyak dan belajar yang rajin supaya Ayah bangga. Bagaimana supnya? Enak, kan?” tanya Ibu.

“Iya, Ibu, enak sekali.”

Ibu adalah orang yang berharga bagiku dan Kak Nara. Ibu menghidupi keluarga kami dengan berjualan kue keliling dan menjadi buruh cuci-setrika baju para tetangga. 

Kami sebagai anak tentu tidak ingin mengecewakan Ibu. Berkat usaha keras ibu, Kak Nara berhasil lulus kuliah dan mendapat pekerjaan di BUMN terkenal. Kebetulan aku mendapat beasiswa untuk kuliah di kota yang sama dengan kantor Kak Nara bekerja. 

Kami sering mengajak Ibu untuk tinggal bersama, tapi Ibu selalu menolak.

“Kalian saja yang tinggal di kota. Ibu ingin menjaga rumah peninggalan ayah kalian ini. Lagi pula Ibu lebih senang di desa,” ujar Ibu dengan nada penuh keyakinan.

Akhirnya kami pergi meninggalkan Ibu. Saat libur kuliah atau long weekend, aku selalu menyempatkan diri pulang ke rumah Ibu. Setiap kali pulang, aku selalu rindu sup buatan Ibu. Sup hangat yang menyemangati aku. Walaupun aku selalu berusaha membuat sup itu sendiri, cita rasanya tidak seenak buatan Ibu.

Empat tahun berlalu, aku membawa kabar gembira kalau aku mendapat pekerjaan di perusahaan keuangan di Jakarta. Aku tidak sabar memberi kejutan untuk Ibu. Maka setelah berkemas aku pulang kampung. Seperti biasa Ibu memeluk aku erat dan mencium pipiku.

“Ibu sehat?” tanyaku sambil menaruh berbagai oleh-oleh di atas meja makan.

“Alhamdulillah sehat, Nak. Kamu belum makan ya? Makan sup buatan ibu dulu, ya. Tetapi, maaf Nayla sayang, Ibu mau istirahat sebentar. Hari ini Ibu lelah sekali,” kata Ibu.

“Iya, Ibu, tidak apa-apa," jawabku.

Aku memperhatikan Ibu dari belakang. Tampak punggungnya sudah agak membungkuk. Aku memperhatikan sekeliling dan tampak kalau rumah ini kurang bersih.

Yang mengejutkan, sup spesial buatan Ibu ini terasa hambar. Mungkin Ibu benar-benar lelah, bahkan untuk memasak sup saja beliau kelelahan.

Aku baru menyadari Ibu semakin menua. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkan Ibu sendirian? 

Seketika aku bimbang. Tetap mengambil pekerjaan di Jakarta atau kembali ke desa menemani Ibu. Ibu bilang Ayah pasti bangga kalau aku sukses, tapi kalau sukses itu diraih dengan membiarkan Ibu rasanya aku tidak sanggup.

Malam menjelang, Ibu yang sudah terbangun duduk bersamaku di ruang tamu.

“Kapan kamu wisuda, Nayla?”

“Minggu depan, Bu. Ibu bisa datang, kan?”

“Iya, Ibu akan datang. Ngomong-ngomong kamu nanti mau kerja apa, dengan nilaimu itu Ibu yakin kamu akan dapat pekerjaan bagus di kota.”

Aku menggeleng, “Nayla mau bekerja di sini saja, Ibu. Nayla mau bersama Ibu.”

“Kamu yakin,Nayla? Sayang, lho, nilaimu itu.”

“Bu, bagi Nayla pekerjaan manapun akan jadi yang terbaik bagi Nayla. Sekarang bagi Nayla yang penting adalah menjaga Ibu. Ibu sudah berjuang keras menghidupi Nayla dan Kak Nara. Biarkan Nayla sekarang yang merawat Ibu.”

Ibu memeluk aku dari samping. Hangat dan erat. Aku tidak menyesal menolak tawaran pekerjaan itu. Yang penting bagiku sekarang adalah menjaga Ibu. Karena Ibu telah memberikan aku kasih sayang yang hangat. Sehangat sup buatannya.

***

Inong Islamiyati tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan. Visinya saat ini adalah "life with a miracle".


Cerpen: Raden Mas

Cerpen: Raden Mas

Semua orang Jawa tahu kalau ada yang punya nama depan Raden Mas berarti termasuk bangsawan. Raden Mas muda yang sedang duduk tepekur di halaman rumahnya ini keturunan keluarga keraton Solo dari garis ayahnya.

Ibunya kebetulan juga masih berdarah bangsawan Bali. Jadi, darah Raden Mas mungkin berwarna biru kental, bukan sekedar darah biru.Raden Mas memandangi bergantian pohon pepaya, mangga, dan rambutan sambil menghisap rokok lalu menghembuskan asapnya sampai asap itu memendar dan hilang.

Tetangga satu dusunnya ada yang ketiban rejeki dapat duit ratusan ribu dari hasil beli kupon berhadiah. Raden Mas kepingin juga, apalagi warungnya sepi terus. Pembeli setianya cuma dua keponakan istrinya yang rumahnya sepelemparan batu dari warungnya.

Warung kecil Raden Mas menjual alat tulis, rokok, dan sembako. Menyediakan pula aneka minuman dan mi instan untuk santap di tempat. Tapi tidak setiap hari ada yang beli. Jadi waktu ada tetangganya yang cuma modal dua puluh ribu dapat untung jadi tiga ratus ribu, Raden Mas kepingin juga.

Kala menikmati bulan madu bersama istrinya, Raden Mas berbangga hati karena tidak keluar duit seperak pun waktu menikah. Mas kawin dibeli istrinya, seserahan disediakan ibu tirinya, katering dan sewa macam-macam untuk pesta diadakan oleh kakak dan adik istrinya.

Raden Mas juga bangga karena hampir semua keluarga mertuanya kagum padanya yang ningrat. Lebih kagum lagi pada kemampuannya mengobati orang yang kena ilmu hitam. 

Sayangnya, sekarang orang yang berobat padanya sudah tidak ada. Semua orang punya BPJS dan yang tidak punya pun memilih ke puskesmas atau mantri.

Meski yakin keluarga mertuanya masih kagum padanya dan mau melayani hajat hidupnya, tapi Raden Mas merasa perlu punya duit dari hasil usaha sendiri. Warung yang dia punya ini modal dari duit istrinya.

Maka pergilah Raden Mas ke orang yang menjual kupon berhadiah. Dibelinya empat kupon seharga empat puluh ribu yang uangnya diambil dari laci warung. Kalau tembus dia yakin bakal dapat lima ratus rib.

Sepulangnya dari beli kupon berhadiah, Raden Mas duduk tekun di warungnya. Dia merapalkan doa-doa dengan maksud supaya kupon yang dibelinya menang hadiah.

Rapalan demi rapalan meluncur deras dari bibirnya. Sampai istrinya pulang dari kantor pun dia masih merapal. Raden Mas berhenti merapal karena lapar. Dilahapnya udang goreng tepung beserta nasi panas yang disiapkan istrinya. Lalu kembali dia merapal doa-doa sampai tengah malam.

Hari yang dinanti pun tiba.

Raden Mas berjalan cepat-cepat ke rumah penjual kupon berhadiah yang kebetulan masih satu dusun dengannya. Di sana sudah ada lima orang yang juga menanti peruntungan. 

Benar saja. Rapalan doa-doanya jitu!

Raden Mas menang besar. Keempat kuponnya dapat hadiah dan ternyata dia bukan hanya dapat lima ratus ribu, tapi satu juta rupiah!

Girang betul Raden Mas sampai diajaknya lima orang yang ada dirumah penjual kupon itu minum kopi dan makan mi rebus di warungnya saat itu juga.

Namun, Raden Mas merasakan keanehan ketika sampai di warungnya. Dia memanggil pembantunya. Ditanyanya dalam bahasa Jawa ngoko dimana motornya kepada mbok pembantunya itu.

Pembantunya menjawab berulang-kali, "Nyuwun pangapunten, kulo wau nembe isah-isah piring wonten wingkeng, mboten midanget wonten swara motor," dengan wajah pucat takut kena damprat.

Raden Mas tambah mangkel campur lemas setelah mengetahui bahwa lima slop rokok dan dua renceng kopi instan di warungnya ikut lenyap. Mbok pembantu menangis sambil minta ampun sejadi-jadinya karena takut dituduh atau dianggap sekongkol dengan pencurinya.

Perasaan Raden Mas campur aduk. Dia sepenuhnya lupa pada duit satu juta rupiah yang menggembung di saku celana pendeknya.

Raden Mas duduk tepekur di halaman rumahnya sembari menunggu istrinya pulang kerja. Istrinya harus diberitahu bahwa motor yang dicicil dari gaji istrinya itu hilang digondol maling.

Cerpen: Bunga Tidur Bersama Morgan

Cerpen: Bunga Tidur Bersama Morgan

Mengingat banyak kata kunci (keyword) "cerpen romantis" yang datang ke emperbaca.com, maka untuk memenuhi "hasrat" warganet yang menggemari cerita romantis, emperbaca.com tuliskan cerpen berjudul Bunga Tidur Bersama Morgan

Dijamin sambil baca hatimu juga ikut berbunga-bunga. Cerpen ini bukan cerita Islami, juga bukan kisah cinta ala Korea dan Barat, jadi selamat menikmati!

Lita mematut diri didepan cermin untuk memastikan celana panjang twillnya yang berwarna khaki cocok dipadukan dengan kaos lengan panjang hijau. Lita sengaja menggerai rambutnya yang sebahu tanpa ikat rambut atau bandana supaya lebih santai untuk berangkat ke workshop pengembangan diri yang bernama The New You.

Nama yang konyol, sekonyol workshop itu sendiri. Lita tidak butuh dirinya jadi baru atau sesuatu yang baru untuk mengubah hidupnya. Hidupnya sudah nyaman dan enak dinikmati. Mengapa harus jadi new me?

"Lita! Sudah siap, belum?" Sudah waktunya berangkat!" panggil Mia dari bawah tangga. 

"Ya, sebentar," jawab Lita. Karena benar-benar tidak suka dengan workshop yang konyol itu, Lita hampir lupa kalau Mia menginap di rumahnya. Mialah yang memaksanya ikut. 

Kata Mia, Lita terlalu kaku sampai tidak pernah naksir-naksiran dengan laki-laki sepanjang usianya yang sudah 21 tahun. Itu karena Lita baperan, menurut Mia, jadi perlu ikut workshop untuk mengubah cara pandangnya terhadap dunia. Bah!

Lita menyeret kopernya turun dari kamar dengan enggan. Dia menemui Mia di ujung tangga.  Pipi sepupunya yang kuliah satu kampus dengannya itu tampak berkilat-kilat dibaluri shimmer senada dengan warna kerudung peraknya.

"Kau dandan?" tanya Lita.

Mia melewati Lita menuju ruang tamu sambil melenggang centil. "Iya, cantik, kan?" katanya sambil mengibaskan rok yang dibalas Lita dengan gelengan kepala.

"Buat apa dandan cuma buat workshop?"

"Buat menunjukkan kepribadianku yang cantik," jawab Mia yang lalu ikut menyeret kopernya dari ruang tamu ke carpot. Koper Mia lebih besar dari koper kabin Lita sehingga dia agak kesulitan mengangkatnya untuk dimasukkan ke bagasi mobil.

Setelah pamit kepada orang tua Lita, dua gadis itu berangkat ke wisma milik Kemenakertrans di Lembang, tempat workshop diselenggarakan.

Butuh lebih dari tiga jam perjalanan dari Jakarta karena Mia menolak Lita mengemudikan sedannya. Lita bisa membahayakan nyawa karena selalu ngebut, sementara Lita menganggap Mia terlalu lambat, padahal transmisi matic sangat mudah dikendarai daripada manual.

Wisma itu bersih. Meskipun belum ramai, sudah ada serombongan mahasiswa berjaket almamater krem yang sedang memilih kamar. Mia dan Lita menempati kamar paling pojok yang menghadap ke arah kolam ikan besar.

"Kamar mandinya tidak ada toilet?! Lalu di mana kita harus kencing dan buang air besar?!" Lita terperanjat setengah geram mengingat dia sering bangun tengah malam untuk buang air kecil.

Mia mengangkat bahu, "Mungkin di luar ada toilet," katanya sambil mengeluarkan isi koper untuk dirapikan ke dalam lemari.

Lita keluar kamar. Tidak ada petunjuk atau papan yang menunjukkan letak toilet. 

"Mas, toiletnya sebelah mana, ya?" tanya Lita pada seseorang berkaus seragam biru yang dia kenali sebagai panitia workshop.

Lelaki berseragam biru itu menunjukkan arah toilet yang terletak di belakang aula pertemuan.

Kenapa toiletnya jauh banget, Lita mengumpat dalam hati. Tiba-tiba matanya membelalak dan mulutnya memekikkan sebuah kata, "Morgan?!" 

Lelaki berkaus biru itu membalas, "Ya? Ada yang bisa dibantu?"

"Kamu petugas workshop?""

Lelaki yang dipanggil Morgan itu mengangguk, menunjukkan ID Card didadanya yang bertuliskan nama "Morgan" diatas kata "Panitia".

Lita ingin bertanya lagi, tapi kandung kemihnya hampir bocor. Dia lari ke arah yang ditunjukkan Morgan untuk menuntaskan hajatnya.

Beruntung bagi Lita yang tidak perlu mencari keberadaan Morgan selepasnya ke toilet. Lelaki itu berada sendirian di aula sedang mengetikkan sesuatu di laptop.

"Morgan," panggil Lita setengah ragu setengah penasaran, "Boleh saya tanya sesuatu?"

Morgan tersenyum, "Gimana rasanya punya nama yang sama dengan eks personil boyband SMASH?" Morgan seolah membaca pikiran Lita. Dia berdiri, bersedekap, kemudian tertawa. "Aneh, ya?"


"Err..." Lita bingung harus menimpali atau tidak karena yang ditanya sudah tahu apa yang akan ditanya. Bukan cuma namanya, kok bisa, sih, wajahnya juga mirip banget, batin Lita.


"Kenapa bisa jadi panitia workshop?"


"Kenapa tidak?" Morgan duduk lagi dan melanjutkan urusan pada laptopnya. Lita ingin pamit kembali ke kamarnya, tapi Morgan keburu menanyainya.


"Namamu siapa?" tanyanya sembari mengurutkan daftar hadir.


Lita menjawab namanya dengan lengkap kemudian menyebut nama lengkap Mia.


"Punya pacar?"


"Heeh...?!" Lita terperanjat ditanyai perkara pribadi macam itu oleh orang tak dikenal yang nama dan wajahnya mirip selebriti.


Morgan kembali tersenyum melihat Lita yang salah tingkah.


“Kalau Mia itu siapa?"


"Sepupu."


"Lebaran kemarin pulang kampung?"


Lita menggeleng, "Tidak punya punya kampung," merasa dirinya mulai santai dan ingin terus ngobrol dengan Morgan. "Kamu pulang kampung?"


“Enggak, mama-papaku yang kesini, ke Bandung,” jawabnya singkat.


"Mama-papamu tinggal di mana?"


"Singkawang."


Lita membelalak lagi, "Kok sama kayak Morgan SMASH?!"


"Aku juga Morgan."


Lita jadi bingung sekaligus gugup. Dia terus-terusan meyakinkan dirinya kalau ini bukan prank dan tidak ada kamera dipasang diam-diam untuk merekam reaksinya bertemu dengan orang yang mirip Morgan. Jangan-jangan dia Morgan betulan yang pura-pura jadi orang lain untuk acara jahil di YouTube.


Mata Lita jelalatan mencari kemungkinan letak kamera disembunyikan.


“Kita selfie, yuk! Mana handhonemu?” Lita masih gugup dan tidak menyadari permintaan Morgan. Morgan harus minta dua kali kepada Lita untuk mengambil ponselnya.


"Di kamar, aku tidak bawa HP."


"Ya sudah, pakai handphoneku saja," kata Morgan mengeluarkan ponsel dari saku celananya.


“Sini, Lita. Smile!” Morgan menyorongkan tubuhnya agar lebih dekat ke Lita.


Lita mendekat dan berdiri di samping kiri Morgan sampai dia menyadari bahwa Morgan ternyata tidak setinggi yang dia kira. 


Bukankah Morgan punya tinggi 178 senti? Kenapa mataku bisa setinggi dagu Morgan? Lita baru sadar kalau yang disebelahnya bukan Morgan SMASH, cuma mirip saja. Jadi tinggi badannya berbeda dengan Morgan yang asli.

Nyatanya, bukan Morgan yang lebih pendek, dirinyalah yang meninggi karena celana twill yang dikenakannya sekarang jadi memendek diatas mata kaki. Perhatian Lita teralihkan karena memperhatikan tingginya dengan tinggi badan Morgan yang nampak hanya selisih beberapa senti saja.

"Sekali lagi, ya. Smile!" seru Morgan lebih kencang, membuat Lita mengembalikan perhatiannya ke kamera ponsel. 

Lita makin gugup dan berusaha menjaga jarak ketika Morgan mencondongkan kepalanya yang membuat kepala mereka hampir berdempeten. Wangi segar parfum Morgan yang beraroma citrus dan bergamot menguar lembut di hidung Lita, membuat Lita sedikit menikmati kedekatan fisiknya dengan Morgan.

"Berapa nomor WhatsAppmu? Kukirim fotonya sekarang," kata Morgan.

Lita menyebut deretan 12 angka nomor selulernya. "Boleh nanti fotonya aku posting di Instagram?" Lita bersemangat membayangkan aneka komentar yang diterimanya ketika memajang foto dirinya dengan Morgan. 

Morgan menjawab dengan sekali anggukan lalu dia menyandarkan tubuhnya ke pinggir meja. Dipegangnya ponsel dengan dua tangan untuk membuka aplikasi WhatsApp. Wajahnya yang tadinya cerah tiba-tiba murung dan keningnya berkerut.

"Ada apa, Morgan?"

"Bassistku ketinggalan pesawat, dia tidak bisa sampai Bandung tepat waktu. Kami harus tampil tanpa bassit atau..." Morgan menatap Lita dalam-dalam.

"Atau apa?"

Morgan melonjak, "Kamu bisa menggantikan dia jadi bassist sementara! Ayo ikut aku!" Morgan mengulurkan tangan dan memberi isyarat agar Lita segera ikut dengannya.

Jadi bassist? Apa aku bisa main bass? Sejak kapan aku bisa memainkan gitar bass?

Dalam waktu setengah jam, Morgan tidak lagi mengenakan seragam kaus birunya. Sekarang dia memakai jaket hitam tanpa dalaman dan celana hitam. Rambutnya disisir keatas dan berwarna keunguan. 

Lita juga sudah memegang bass dan sedang diperkenalkan oleh Morgan kepada penonton yang berteriak-teriak memanggil nama Morgan dan bandnya.

Morgan berdiri sangat dekat sehingga wangi citrus bercampur bergamot dari tubuhnya lagi-lagi mampir ke hidung Lita, membuatnya terlena sekaligus bergairah. Adrenalin dalam otaknya memacu darahnya mengalir lebih cepat dan pada akhirnya dia bisa memainkan bass mengikuti tempo anggota band yang lain.

"Tepuk tangan lagi buat Lita!" teriak Morgan kepada penonton setelah lagu pop-rock yang mereka bawakan berakhir.

"Thanks, Lita. You're the best!" Morgan berbisik ke telinga Lita. Hembusan napas Morgan yang beraroma mint dan wangi parfum segarnya membuat Lita tidak ingin beranjak dari sisi Morgan.

Suara teriakan penonton yang memanggil nama Morgan dan Lita makin keras, tapi lamat-lamat hanya satu suara yang didengar Lita. Suara yang amat dikenalnya. Dalam lirih suara itu memanggil-manggil namanya.

“Lita? Lita, bangun. Kita sudah sampai di tempat workshop," Mia menggoyang-goyang pelan tubuh Lita.

Lita berhasil mencapai setengah dari kesadarannya, tapi belum bisa membuka mata karena separuh nyawanya masih tertinggal dalam lenaan bunga tidur bersama Morgan.

Suara Mia menerobos ke telinga Lita lagi, "Ayo bangun. Kau tidur atau pingsan? Susah sekali dibangunkan."

"Apa Morgan ada di sana juga?" kata Lita lesu sambil memandangi wisma, masih bersandar rendah di kursi penumpang.

"Morgan siapa? Ayo ambil koper. Sudah ada rombongan mahasiswa, mungkin peserta lain sudah datang semua."

Lita memejamkan matanya lagi, berharap bunga tidurnya bersama Morgan datang terus dan berlanjut walau nyatanya dia sama sekali tidak bisa main bass.