1st Grade Moms Always Eager to Show Their "Self-Esteem"

1st Grade Moms Always Eager to Show Their "Self-Esteem"

As per my experiences facing lots of young mommies whose their kids are in first grade of school, I met my disclosure that they are very eager to show that they want to do anything to support their children at school. In some unusual way. Some want to compete each other, some are eager to make friends, and some are just do not care about other as long as they are having some fun.

Para emak yang anaknya baru masuk kelas satu SD cenderung bersemangat dalam hal mempersatukan kekompakan kelas, Kadang mereka memaksakan sarapan bareng antar-emak seminggu sekali. Kadang makan siang barena sepulang anak mereka sekolah. Kadang sepedaan bareng tiap Minggu. Kadang curhat bareng di depan gerbang sekolah diatas motor matic mereka,  

Soal curhat ini saya dua kali membuat blunder. Karena saya pikir si emak ini orangnya asyik dan bisa dipercaya, maka saya katakan padanya bahwa saya bukan tipe orang yang suka menghabiskan waktu sarapan, makan siang, dan sepedaan bareng emak-emak lain. Esoknya, tanpa mencermati alasan saya untuk tidak melakukan hal tersebut, si emak menyebarkan berita bahwa saya tidak suka gaul dengan emak-emak lain, Emak lain lalu menganggap saya sombong, belagu, dan lain-lainnya.

Alasan yang sebenarnya karena saya tidak bisa mengendarai motor. Sungguh merepotkan datang ke tempat yang tidak punya parkiran mobil hanya untuk sarapan dan makan siang tanpa makna hanya sekedar haha-hihi. Itu sih sudah sering saya lakukan zaman kuliah dan waktu kerja kantoran.

Tidak bisa mengendarai motor ternyata aib besar! Kenapa, sih, tidak belajar motoran aja? Manja banget apa-apa diantar suami. Jadi istri itu harus mandiri apa-apa sendiri termasuk naik motor sendiri.

Well, if I can drive why should I ride?

Jujur, di usia kepala 4 seperti saya ini, manghabiskan waktu hanya untuk bergaul dengan emak-emak lain sudah bukan main goal dalam hidup. Teman pun sudah pilih-pilih yang seirama dan sepemikiran, tidak lagi banyak-banyakin teman biar dibilang populer, 

Ilustrasi: Freepik

Meanwhile, sebagian besar emak-emak itu hanya kuliah sebentar lalu menikah. Banyak yang tidak merasakan dunia kerja apalagi hangout bareng kolega. Beberapa emak yang saya kenal baru berusia 28-29 tahun saat anak mereka masuk kelas 1 SD. Itu berarti mereka menikah di usia 21 tahun.

Jadi, dunia sekolah berarti juga dunia pergaulan bagi para emak ini. Disinilah mereka bisa mengekspresikan diri, melakukan apapun atas nama anak dan sekolah, dan mencari sahabat baru. Bagus juga, tapi saya melihat lama-lama mereka jadi berlebihan dalam mencari self-esteem ini. Mereka yang merasa punya kuasa karena dekat dengan wali kelas (dan kepala sekolah) lantas menggunakan kekuasaannya untuk mengubah kebijakan wali kelas dengan mengatasnamakan wali siswa yang lain.

However, semangat emak-emak ini kelak menurun ketika anak mereka di kelas 3 atau 4 seiring dengan pelajaran sekolah yang makin susah dan kegiatan anak-anak yang bertambah. Intensitas kumpul-kumpul berkurang. Kalaupun ada hanya mereka yang sudah bersahabat saja yang tetap sarapan, makan siangm atau sepedaan bareng. Emak lainnya mulai mengurangi kegiatan karena sadar ada hal lebih penting yang harus dilakukan daripada hanya haha-hihi dengan emak lain.

Kemudian mereka mulai heboh lagi saat merencanakan perpisahan anak-anak mereka yang akan lulus dari SD. Ada yang merencanakan perpisahan ke luar negeri (dulu waktu belum ada pandemi). Mengumpulkan sumbangan untuk cenderamata wali kelas dan merancang pesta perpisahan yang yahud.

Dunia sekolah bukan saja dunia yang menyenangkan bagi anak-anak, tapi juga masa-masa yang membahagiakan bagi sebagian orang tua.

PlayDoh dan Fun-Doh Buatan Sendiri Supaya Anak Tidak Main HP Melulu

PlayDoh dan Fun-Doh Buatan Sendiri Supaya Anak Tidak Main HP Melulu

Anak sering nonton YouTube atau main HP, tablet, dan komputer berjam-jam? Iya, soalnya itu yang paling gampang sih. Anak main gadget kitanya bisa ngapa-ngapain tanpa direcokin anak.

Well, itu klise ya. Selain mata bisa cepat minus, kebanyakan main gadget bisa bikin jiwa dan raga anak jadi tidak sehat, tidak kreatif, dan malas gerak. Itu menurut ayahbunda.co.id dan beberapa penelitian lain.

Nah, gimana kalau kita bikin lilin mainan aja. Buat dimainkan anak supaya mereka kreatif dan punya kesibukan, jadi tidak main gadget melulu.

Bahannya gampang :
Tepung (apa saja tapi lebih bagus terigu) 1 cangkir.
Garam 1,5 (satu setengah) sdm
Pewarna makanan
Air sedikit


Cara membuat :
Campur tepung, garam, pewarna makanan. Beri air sedikit-sedikit, aduk sampai kalis (tidak lengket di tangan). Remas-remas, tarik-tarik, gulung-gulung sampai warnanya mulus merata.
Bila masih terasa lengket tambahkan tepung, bila dirasa terlalu keras tambahkan air. Lilin buatan semdiri ini bisa disimpan dan dipakai berulang-ulang. Kalau mengeras tinggal tambah beberapa tetes air.

Takarannya bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan, yang penting garamnya seperempat dari takaran tepung supaya hasilnya tidak lengket ditangan.

Homemade PlahDoh siap dimainkan. Aman jika tidak sengaja termakan. Bisa dicetak menggunakan cetakan kue atau cetakan PlayDoh/Fun-Doh yang sudah ada.

Happy playing! πŸ™‹

Sistem Zonasi PPDB : Ketika Si Pintar Kalah Dari Si Miskin

Sistem Zonasi PPDB : Ketika Si Pintar Kalah Dari Si Miskin

Orang miskin tidak lagi dapat diskriminasi hanya karena mereka tidak punya uang. Mereka sudah diberi kemudahan hidup lewat SKTM. SKTM adalah Surat Keterangan Tidak Mampu yang diterbitkan kelurahan atas pengantar dari RT dan RW dimana orang miskin yang mengajukan SKTM itu tinggal.

Pemilik SKTM bisa dapat pengobatan gratis di Puskesmas dan rumah sakit daerah jika ia belum punya BPJS atau tunjangan kesehatan lain dari pemerintah. Ia juga akan dapat jatah beras dan diberi kemudahan masuk sekolah negeri.

Soal kemudahan masuk sekolah negeri ini –tiap tahunnya—  membuat polemik karena (calon) murid pemegang SKTM lebih diprioritaskan untuk masuk sekolah negeri unggulan meskipun nilainya dibawah mereka yang orangtuanya mampu.

Mereka yang tidak datang dari keluarga miskin ini yang merasa prioritas yang diberikan kepada pemegang SKTM sebagai bentuk ketidakadilan. Anak mereka yang sudah giat belajar dan mendapat nilai bagus tidak bisa diterima masuk sekolah negeri unggulan karena sekolah mengutamakan menerima anak yang rumahnya paling dekat dengan sekolah dan dari keluarga miskin daripada anak yang nilainya bagus. Ketidakadilan ini yang menjadikan banyak orangtua membuat SKTM agar anaknya diterima di sekolah negeri favorit, meskipun mereka kaya raya.

Kok orang kaya ngotot masuk negeri, swasta kan banyak yang bagus.

Sekolah negeri di daerah berbeda dengan di kota-kota besar. Di daerah, sekolah negeri benar-benar punya kualitas yang bagus yang ditandai dengan mayoritas lulusannya yang tidak hanya pintar secara akademik, tapi mampu berpikir sistematis dengan kepribadian yang baik pula.

Lalu kenapa sekolah tidak lagi memperhatikan nilai bagus dan memprioritaskan anak yang rumahnya dekat dan pemegang SKTM?

Biang keroknya adalah peraturan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), atau Bentuk Lainnya yang Sederajat.  Dimana salah satu pasalnya mengatur tentang kewajiban sekolah untuk memberikan minimal 20 persen kursi di sekolahnya bagi siswa miskin yang berada di dalam zonasi.

Angka minimal 20% ini lumayan besar. Jika satu sekolah punya lima kelas yang masing-masing terisi 40 murid, maka 20% berarti 80 murid miskin yang bisa langsung diterima walaupun nilai mereka rendah.

Banyaknya murid yang kemampuan akademiknya rendah tentu berisiko bagi sekolah unggulan. Sekolah unggulan biasanya menerapkan standar proses belajar-mengajar yang tinggi, guru yang kompetensinya baik, dan hasil akhir yang tinggi pula. Murid yang kemampuan akademiknya pas-pasan akan menghambat murid lain yang kemampuan akademiknya bagus.

Dengan memiliki banyak murid yang akademiknya dibawah standar sekolah, maka akan menurunkan kualitas sekolah itu sendiri (dalam hal ini diukur melalui KKM—Kriteria Ketuntasan Minimal—)

Jadi, daripada memaksakan murid miskin yang kemampuan akademiknya pas-pasan, lebih baik arahkan saja mereka masuk SMK. SMK mengutamakan keterampilan, cocok untuk anak yang bakatnya non-akademis. Semua anak punya bakatnya masing-masing, jadi tidak semua anak harus sekolah di SMA yang memang mengutamakan nilai akademis.
Terpenjara di Sekolah

Terpenjara di Sekolah

Sekolah dasar swasta di Jakarta saya ketahui jam belajarnya sampai jam tiga atau empat sore lalu dilanjutkan dengan ekstrakulikuler sampai jam lima sore. Sabtu dan Minggu mereka libur. Pun demikian dengan beberapa sekolah negeri.

Sementara itu, di Amerika Serikat, yes USA, jam belajar SMP – SMA rata-rata mulai 07.30 dan berakhir pada 13.30 lalu dilanjutkan ekstrakulikuler sesuai minat siswa. Ada lima belas menit yang disediakan sekolah untuk jam istirahat pertama dan tigapuluh menit untuk istirahat makan siang. Ketika jam mata pelajaran berakhir ada istirahat lima menit sebelum memulai mata pelajaran berikutnya.

Lho, kok membandingkannya dengan Amerika sih? Jauh banget! Yaaa, orang kita kan masih Amerika-minded, apa-apa yang datang dari Amerika dianggap wow. Jadi sekalian saja perbandingannya dengan Amerika Serikat.

Karena sekarang saya tinggal di Magelang, bukan Amerika, maka kita lihat sekolah di sini. Semua sekolah, swasta dan negeri, punya jam belajar sampai Sabtu.  Pada SD – SMP Islam favorit (favorit ya, bukan unggulan), jam belajar mulai 7.00 sampai 15.30 WIB dari Senin – Sabtu. Resminya jam belajar sampai pukul dua siang lalu lanjut dengan materi agama Islam dan ekstrakulikuler. Jam belajar seperti ini cocok untuk anak yang kedua orangtuanya bekerja full time. Tapi buat saya, yang lebih mementingkan kecerdasan otak daripada nilai akademik, jam belajar seperti itu sungguh menyiksa anak.

Memang di sekolah mereka diajarkan banyak hal, kegiatan ekstrakulikulernyapun beragam dari hafizd Alquran, robotik, sampai mata pelajaran olimpiade MIPA.

Bagus sekali, bukan? Agama pintar, mata pelajaran umumpun pandai.

However, kegiatan anak hanya berkisar di sekolah dan bergaulnya dengan teman yang itu – itu saja. Apabila anak – anak saya minat dengan, misal, bermain piano atau biola atau olahraga lain yang tidak ada dalam ekstrakulikuler, bagaimana menyalurkannya? Jam belajar di sekolah sudah tidak memungkinkan mereka untuk berkegiatan di luar sekolah dan mengenal orang lain selain lingkup sekolah. Belum lagi kalau mereka harus mengerjakan PR, berarti jam belajar mereka bertambah. Kreativitas mereka hanya berdasarkan apa yang diatur oleh sekolah.

Kenyataan lain adalah, banyak ilmu yang dipelajari di sekolah kurang berpengaruh pada dunia kerja atau wirausaha.

Bila kurikulum pendidikan diubah dengan orientasi kekinian yang mengutamakan stimulasi bakat dan minat anak, mungkin saja jam belajar yang gila – gilaan itu berguna. Tapi itu tidak mungkin. Mustahil dalam satu lingkungan sekolah untuk mengakomodir satu persatu minat dan bakat anak didik yang jumlahnya ratusan. Maka solusinya adalah perpendek jam belajar di sekolah dan biarkan anak dengan bimbingan orangtuanya mengeksplorasi bakat dan minat mereka di tempat yang sesuai.

Coba lihat jam belajar di Amerika tadi. Itu negara maju tapi kenapa jam belajar di sekolahnya tidak segila di Indonesia? Itupun sekarang ini ada gerakan untuk memundurkan jam sekolah menjadi lebih siang (dengan jam pulang yang tidak berubah) agar anak – anak sekolah punya waktu tidur malam yang cukup.

Tapi, kenapa orangtuanya harus capek – capek membimbing dan mengajari anak lagi, kan sudah bayar ke sekolah?

Simple, itu anak kita, pendidikan anak terutama ada pada orangtuanya. Saat mereka bayi, balita, dan sebelum memasuki usia sekolah anak – anak lebih dulu bergaul dan berinteraksi dengan orangtuanya di rumah. Kecuali si orangtua super-duper sibuk dan hanya menyerahkan si anak kepada pengasuh berbayar, itu lain soal.

Anak cerdas dan pintar itu bukan diukur dari seberapa bagus nilai rapor mereka, tapi bagaimana mereka paham apa yang sedang mereka kerjakan ketika melakukan sesuatu.
Anak soleh juga bukan diukur dari berapa banyak hapalan Alquran mereka, tapi bagaimana mereka menghormati orang lain dan memperlakukan orang lain secara proporsional.
Cerita Kami Bertiga Tanpa Pembantu Rumah Tangga

Cerita Kami Bertiga Tanpa Pembantu Rumah Tangga

Banyak kerabat dan sahabat yang tidak percaya bahwa saya dan suami mengurus bayi tanpa baby sitter, pembantu, orangtua, dan mertua. Biasanya, yang lazim mereka tahu, setelah menikah pasangan pengantin baru akan tinggal di rumah mertua atau orangtua minimal untuk 1-2 tahun. Tapi sejak hari ke-4 pernikahan, saya sudah diajak suami untuk tinggal mandiri dari orangtua. Karena waktu itu belum ada bayi maka dirumah ya cuma ada saya dan suami. Setelah Fathan lahir barulah segalanya berubah. Tapi semua kehidupan pasti berubah, kan? Tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri.

Fathan lahir prematur lebih cepat 2 bulan dari perkiraan sehingga harus menghabiskan 2 minggu di RS. Setelah Fathan pulang ia harus dapat perawatan ekstra melebihi bayi yang lahir cukup bulan. Memang sih, saya dan suami tidak benar-benar sendiri waktu Fathan baru lahir. Ibu saya menginap 2 minggu di rumah kami lalu digantikan ibu mertua selama 2 bulan.

Saat ibu mertua pulang kembali ke Muntilan umur Fathan sudah 3 bulan. Sudah lumayan ilmu yang kami dapat untuk merawatnya.

Salah satu yang termasuk melelahkan adalah memerah ASI. Karena lama di RS dan belum pernah menyusu, jadinya Fathan baru bisa menyusu langsung ke payudara saat usianya 3 bulan. Sebelumnya ia minum ASI Perah melalui botol dot. Selama 2 minggu sejak kepulangannya dari RS, Fathan harus diberi ASI tiap 2 jam sekali agar berat badannya cepat naik. Tak peduli pagi buta atau larut malam. Kalau sudah 2 jam sejak minum ASI terakhir maka ia harus diberikan lagi ASI berikutnya.

Untuk mencukupi kebutuhannya, maka saya harus memerah ASI 3 jam sekali, termasuk tengah malam. Sebenarnya ini bukan saran dokter, bidan atau siapapun. Hanya saja kami ingin memberikan ASI Eksklusif untuk Fathan sehingga apapun dilakukan supaya Fathan dapat cukup ASI. Alhamdulillah soal ASI Eksklusif ini suami yang paling menyemangati. Kalau yang lain sih paling bilang, "Minumin susu formula aja biar kenyang." Ada lagi menyarankan, "Kasih pisang aja biar beratnya cepet naik." Yeaa, itu mah jaman dulu bayi umur 2 minggu udah dikasih pisang. Sekarang no way lah ya. Lalu ada pula yang menyarankan, "Biasain minum sufor supaya gampang kalo diajak jalan-jalan." What?? Jalan-jalan kemana? Saya dan suami sepakat kalau Fathan belum setahun kami tidak akan mengajaknya kemana-mana kecuali silaturahim ke tempat keluarga. Itupun jarang-jarang, sangat jarang. Yang paling sering tentu jalan-jalan keliling komplek trus mampir jajan. Berhubung di Ciputat-Pamulang-BSD dsk belum ada Seven Eleven jadi ya mentok di Indomaret atau Alfamart aja deh.

Balik ke urusan ASI, berdasarkan kesimpulan AIMI, suami yang punya pengetahuan tentang ASI Eksklusif lebih besar dukungannya untuk keberhasilan istri memberi ASI Eksklusif untuk bayinya. Terbukti. Suami saya selalu membelikan dan memastikan kalau susu khusus ibu menyusui selalu tersedia. Juga membelikan vitamin peslancar ASI. Ia mengingatkan jadwal memerah ASI, ikut menemani tengah malam saat saya memerah ASI, sampai mengganti popok atau memberikan ASI Perah untuk Fathan kalau saya malas bangun malam-malam. Pokoknya kalau malam hari tiba suami yang ambil alih mengurus Fathan. Pernah Fathan bangun malam lalu begadang sampai subuh. Karena saya tidak kuat melek maka suami yang timang-timang, padahal paginya ia juga harus kerja lho.

Ketika Fathan berusia 6 bulan ia sudah harus makan makanan selain ASI. Karena itulah saya berhenti bekerja. Tiap pagi saya buatkan bubur sayuran campur telur ayam kampung, daging, atau keju. Selingannya biskuit atau buah. Kebetulan saya dihadiahi food processor dan segala macam keperluan masak-memasak makanan bayi oleh teman-teman kantor jadi lancar deh. Thanks much ya Achmad Pradipta, Ferlina Wirianti, lin Farentine Tanzil, Ivana Felicia, Astri Wijanarko, Ahmad Junaidi, Wiwid Safitri, and Suharti Raharjo! Ngg.. Kantor saya itu lokasinya di Singapura, jadi staf Indonesia semua kerjanya di rumah karena ga mungkin bolak-balik Jakarta-Singapura tiap hari. And the most touching moment adalah when I did exit interview with the office manager, dia bilang, "Yana, if your baby grown up and you have time to work, you can contact me or Dipta (Achmad Pradipta si country manager-red) to come back. We are glad to have you back." Kira-kira gitu kata si office manager yang namanya Narinder Kaur. Wow, many thanks, I really appreciated it :)

Serba-serbi Ibu Menyusui dan Pornoaksi

Serba-serbi Ibu Menyusui dan Pornoaksi

breasfeeding using nursing apron
Sepanjang sewindu terakhir makin banyak ibu yang memberikan ASI eksklusif (bayi hanya minum ASI tanpa tambahan apapun selama 6 bulan pertama hidupnya) pada bayinya dikarenakan sadar bahwa zat antibodi dan gizi dalam ASI tidak bisa ditandingi susu formula paling mahal sekalipun. Selain itu ASI paling mudah dicerna dan diserap tubuh bayi. Kalau ada yang mengatakan ASI bisa menimbulkan bercak merah atau putih pada kulit muka bayi, itu tidak benar. Allah menciptakan ASI begitu sempurna jadi tidak mungkin ASI bisa membuat kulit iritasi. Yang benar adalah bercak muncul karena sisa kotoran yang kurang dibersihkan atau menumpuk tercampur udara kotor. Bercak muncul bisa karena si ibu punya alergi lalu makan makanan pemicu alergi pada bayi baru lahir (kacang-kacangan, susu sapi) sehingga muncul bercak pada wajah bayi.

Meski semangat pemberian ASI eksklusif makin gencar di kalangan ibu menyusui, namun masih banyak saja yang memadukan ASI dengan susu formula karena kuatir bayi tidak dapat asupan yang membuat perutnya kenyang. Hal ini terjadi terutama pada ibu menyusui yang masih tinggal serumah dengan orangtua atau mertua atau bekerja di luar rumah. Generasi tua pada dulu kala memang sudah memberikan pisang, bubur atau air gula sebagai penambah berat badan meski umur bayi baru 2 minggu. Padahal pemberian aneka rupa makanan ini bisa membuat bayi sembelit.

Ibu menyusui yang berniat memberikan ASI eksklusif sering goyah tekadnya karena dokter anak tempatnya berkonsultasi malah menganjurkan susu formula agar berat badan bayi cepat naik. Alhamdulilah saya berhasil menyusui eksklusif karena ganti dokter. Dokter lama sering merekomendasikan pemberian vitamin, sementara saya dan suami berpikir jika sudah ada asupan vitamin maka namanya bukan eksklusif lagi karena ada zat selain ASI masuk tubuh bayi kami. Akhirnya kami ganti dokter. Alhamdulillah dokter ini tidak pernah merekomendasikan vitamin atau sufor, bahkan setelah bayi kami selesai masa ASI eksklusifnya. Menurutnya bayi ASI memang tidak serta-merta mau minum sufor. Harus dilatih dulu. Kemudian asal si bayi mau makan makanan padat tidak perlu diberi vitamin. Kalau susah makan harus dicari dulu penyebab kenapa dia tidak mau makan. Vitamin adalah jalan terakhir mendongkrak nafsu makan.

Nebeng Orangtua vs Ngontrak Berdua

Nebeng Orangtua vs Ngontrak Berdua

Dua saudara saya sebentar lagi akan menikah tapi mereka masih bingung akan tinggal dimana setelah menikah nanti, apakah tetap bersama orangtua atau mertua atau pisah mandiri. Salah satu saudara untuk sementara waktu ingin tinggal di rumah kontrakan terpisah dari orangtua dan mertua sampai mampu membeli rumah sendiri. Tapi mertuanya tidak ingin anak gadisnya hidup susah di rumah kontrakan, maka sang calon mertua menawari pasangan itu tinggal di rumahnya. Lagipula daripada uang dipakai untuk bayar kontrakan lebih baik ditabung, begitu kata sang calon mertua.

Sang gadis juga nampaknya keberatan kalau hidup di rumah kontrakan karena berarti ia harus mengerjakan sendiri urusan dari membayar tagihan listrik, air, telepon, sampai iuran sampah dan keamanan dilingkungan rumah. Belum lagi kebutuhan dapur dan mandi seperti beras, sabun cuci, gula dan lainnya, sampai urusan cuci-setrika-bebenah rumah. Hmm, kedengerannya kok ribet banget ya. Saya dan suami kan berdua kerja kantoran, mana sempat ngurus rumah. Kalo gitu nebeng orangtua dulu deh. Begitu pikir calon istri saudara saya. Akhirnya saudara saya itu mengalah dan nanti setelah menikah akan tinggal bersama mertuanya.

Benar memang, kalau setelah menikah tinggal dengan orangtua/mertua, tiap hari terasa seperti bulan madu karena pagi berangkat kerja bareng, pulang sore sama-sama. Mau makan malam diluar atau di rumah terserah saja. Apalagi sudah ada pembantu gajian orang tua yang mengurus pekerjaan rumah. Tiap weekend bisa plesiran berdua atau kumpul dengan teman-teman. Lebih lagi kalau sudah punya bayi, sehari-hari kita bisa fokus di kantor karena bayi kita dijaga orangtua sehingga tidak perlu capek ganti popok, memberi ASI, memandikan, mengganti bajunya atau sekedar menggendongnya sepanjang hari.

Eits, tampak luar memang lebih mudah hidup di rumah orangtua. Memang menyenangkan buat kita tapi buat pasangan kita, mereka mengakui atau tidak, pasti menderita beban mental. Idealisme rumah tangga tidak bisa dibangun karena harus mengikuti pola rumah tangga mertua. Kitapun tidak bisa bebas ngapa-ngapain karena harus tunduk pada "aturan" orangtua. Apalagi jika kita punya anak yang dititipkan pada orangtua, anak itu akan diasuh mengikuti pola orangtua, bukan kita sndiri. Sungguh sayang kebanyakan kita menitipkan anak untuk diasuh orang lain pada masa golden age 0 sampai 2 tahun, dimana pembentukan sel-sel otak, kerpibadian, dan karakter tumbuh maksimal. Jika si anak kurang mendapat "nafkah batin" seperti kasih sayang dan nilai-nilai spritual, maka ketika besar nanti si anak akan tumbuh menjadi pribadi yang "apa adanya". Sayang bukan?!

Rumah Tangga Tanpa Pembantu? Jangan Ragu

Rumah Tangga Tanpa Pembantu? Jangan Ragu

"Sekarang susah cari pembantu ya."
Begitu keluhan ibu-ibu rumah tangga di banyak kesempatan. Mereka saling menyesalkan betapa langkanya pembantu rumah tangga yang tidak mainan HP, pacaran, dan bawa lelaki ke rumah.

Ya memang begitulah faktanya. Sebagaimana saya pernah menulis bahwa distribusi pembantu sekarang dikuasai banyak mafia berkedok yayasan atau agen, tumbuhnya ekonomi di banyak daerah juga salah satu penyebab susahnya mencari pembantu yang cekatan, jujur, dan tidak neko-neko.

Namun sebelumnya saya ingin menyentil banyak orang yang mengubah istilah pembantu rumah tangga (PRT) menjadi asisten rumah tangga (ART), saya tetap menggunakan kata "pembantu" karena kalau asisten (asal kata assist>assistance>assistant>membantu) berarti dia punya kewenangan, walau tidak besar, untuk mewakili atau berbicara atas nama majikan saat si majikan berhalangan. Maukah Anda kalau si mbak mengurus pembayaran sekolah anak, listrik, telepon, atau kartu kredit sementara Anda asyik shopping di mal? Jika Anda menjawab ya berarti Anda belum paham hidup berumah tangga. Dengan demikian istilah pembantu rumah tangga lebih tepat jika Anda perlu orang untuk bersih-bersih, mencuci, menyetrika dan lainnya. Anda boleh menyebut ART jika Anda mau bergantian dengan si mbak mengurus rumah, tapi jika Anda menyerahkan sepenuhnya urusan tetek bengek memasak, menyapu-mengepel lantai, mencabut rumput di pekarangan juga membersihkan debu dan kotoran didalam rumah dan lainnya maka Anda baiknya menyebutkan dengan PRT.

Beberapa kawan saya yang hidup di luar negeri pernah berbagi cerita. Mereka sewaktu tinggal di Indonesia mau apa-apa tinggal perintah dilayani pembantu, tapi ketika hidup di luar negeri, boro-boro tinggal perintah, semua harus dikerjakan sendiri. Kalau didiamkan ya tidak selesai-selesai, malah menumpuk. Kenapa demikian? Karena upah pembantu di luar negeri sangat mahal, sekitar 80 - 100 dolar perjam, jadi kalau bukan orang kaya ya harus bisa mengurus rumah tangga tanpa pembantu. Ekonomi mereka, untuk ukuran orang barat, bukan termasuk kaya raya.

Berburu Pembantu

Berburu Pembantu

Mencari PRT (Pembantu Rumah Tangga) sejak  tahun 2000-an memang susah. Kalau zaman ibu saya dulu pembantu loyal sekali kepada majikannya. Satu pembantu bisa mengabdi di rumah majikan selama belasan tahun, bahkan sampai usianya sepuh. Sekarang boro-boro belasan tahun, betah setahun saja sudah bagus.

Alkisah, meskipun saya kerja di rumah tapi pekerjaan saya tetap punya jam kerja dan deadline susah ditebak kapan datangnya. Untuk itulah saya harus fokus selama jam kerja berlangsung. Sementara itu, karena telah punya bayi maka mengerjakan pekerjaan rumah tangga terasa berat. Belum lagi harus begadang mengurus si kecil. Akhirnya sayapun mencari pembantu.

Suami saya mencari lewat pamannya di Purworejo. Sang pamanpun minta tolong kerabat dan kenalannya untuk mencari calon PRT ke pelosok kampung. Namun sayang, tidak ada satupun yang mau jadi PRT karena mereka lebih suka bekerja di pabrik atau menjadi penjaga toko.

Kemudian ada kandidat lain, usianya 15 tahun lulusan SMP tidak melanjutkan ke SMA kerena tidak ada biaya. Si anak mau jadi PRT di rumah saya namun orangtuanya tidak mengizinkan karena jauh. Orangtuanya hanya mengizinkan jika ia bekerja di (paling jauh) Jogya.

Melahirkan Prematur 31 Minggu

Melahirkan Prematur 31 Minggu




Banyak orang bertanya kenapa saya melahirkan prematur di usia kandungan 31 minggu (usia melahirkan normal adalah 37 - 40 minggu). Tak jarang yang mengira saya kecapekan atau habis jatuh sehingga pecah ketuban dini dan melahirkan prematur. Padahal saya sama sekali tidak kecapekan. Saya kerja di rumah dengan aktivitas bebenah rumah banyak dilakukan suami. Tiap weekendpun kami jarang keluar rumah kecuali untuk belanja keperluan bulanan. Orangtua saya mengira karena saya sering naik motor, padahal jarang sekali, kalaupun naik motor selalu sama suami dan dia mengemudikannya lambat-pelan-selamat.

Kronologinya begini, Minggu dinihari, 19 Februari pukul 01.00 WIB sewaktu akan tidur tiba-tiba saya merasa keluar cairan dari kemaluan. Tidak terasa seperti air seni, tiba-tiba keluar begitu saja. Saya dan suami mengira itu ketuban yang bocor. Tapi karena hanya sedikit saya dan suami mengira kandungan masih baik-baik saja. Pukul 02.00 WIB panggul dan pinggang mulai terasa pegal dan ngilu. Waktu subuhpun tiba dan saya sholat sambil duduk karena tidak kuat kalau harus berdiri, pinggang dan pinggul terasa ngilu. Pukul 08.00 WIB kami ke bidan untuk minta obat penguat kandungan. Tadinya kami akan ke RS Buah Hati Pamulang tempat biasa kontrol kehamilan,  namun karena dokter Rohati tidak praktik hari Minggu maka kami memutuskan ke bidan saja karena tidak ada pikiran bahwa saya akan melahirkan.