Mengukur Kefasihan Anak-anak Jawa Berbahasa Jawa

Mengukur Kefasihan Anak-anak Jawa Berbahasa Jawa

Bahasa Jawa saat ini masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh para keturunan suku Jawa yang tinggal di Malaysia, Singapura, Suriname, Belanda, Kaledonia Baru, dan Kepulauan Cocoa. Itu menjadikan bahasa Jawa sebagai salah satu bahasa yang paling banyak digunakan di dunia.

Akan tetapi, jumlah anak-anak suku Jawa di pulau Jawa yang menggunakan bahasa Jawa malah berkurang.

Oh, itu pasti karena orang tuanya sok keminggris, kan? Tiap hari ngomong Inggris. Babysitter dan pekerja rumah tangga nyarinya yang bisa bahasa Inggris. Anak belajarnya di sekolah bilingual. Jadinya lupa bahasa Jawa.

Bukan, itu di kota besar dan metropolitan. Apa di desa harus ikut-ikutan seperti itu? Ngg, kalau mampu, sih, boleh aja kayaknya, ya.

(sekolahnesia)

Admin Emper Baca kenal banyak pasangan suami-istri (40 tahun kebawah) asli suku Jawa, tapi tidak bicara bahasa Jawa kepada anak-anak mereka, padahal mereka bermukim di tanah Jawi dengan anak yang juga lahir di tanah Jawi.


Anak-anak mereka hanya tahu kosakata Jawa dari percakapan antar orang tua atau ketika nenek-kakek melakukan percakapan dengan sesama orang Jawa. 


Di Magelang, tempat Admin berada, karena wilayahnya dekat dengan keraton Yogyakarta, tiga tingkat bahasa Jawa masih digunakan dalam percakapan sehari-hari, tergantung dengan siapa kita bicara. Tingkatan percakapan itu juga masih kental dipakai di Semarang, Solo, dan Klaten.


Tiga tingkatan bahasa Jawa


Bahasa ngoko digunakan kepada orang yang kedudukan sama atau lebih rendah. Misal bos kepada karyawannya, majikan kepada pekerja rumah tangganya, atau kawan sepergaulan.


Kromo ngoko (kromo lugu/kromo madyo). Ini bahasa yang enggak halus, tapi juga gak kasar jadi bisa digunakan saat bicara dengan teman sepermainan, yang lebih muda, atau yang lebih tua, tapi sudah akrab banget.


Tingkat tertinggi adalah kromo inggil. Digunakan untuk bicara kepada sultan dan keluarganya, kepada orang yang dihormati, yang disegani, yang ditakuti, yang lebih tua umurnya, atau tua dari sisi kekerabatan. 

***

Pada rantai kekerabatan di Jawa, terutama Jawa Tengah, dikenal istilah "awu". Misalnya, Admin punya kakak laki-laki namanya Polan, tapi anak Admin umurnya lebih tua dari anak Polan. Anak Admin tetap harus memanggil anak Polan dengan sebutan Mbak atau Mas, bukan Adik. 


Kalau anak Admin jarang berkomunikasi dengan anak Polan yang membuat hubungan mereka tidak dekat, maka anak Admin menggunakan bahasa kromo ngoko kepada anak Polan, walaupun mereka bersepupu yang wajarnya bisa menggunakan bahasa ngoko.


Contoh penggunakan dalam tingkatan bahasa Jawa untuk kata "kamu atau Anda", yaitu:

  1. Pada ngoko yang dipakai adalah "kowe"
  2. Kromo ngoko menggunakan "sampeyan"
  3. Kromo inggil menggunakan "panjenengan"
Kata 'panjenengan' atau 'njenengan' juga dipakai dalam percakapan sehari-hari dengan orang yang dianggap akrab, tapi belum cukup akrab untuk disapa 'kowe' dan 'sampeyan'. Misal, di perkumpulan arisan, kelompok tani, paguyuban sekolah, atau tetangga.

Sementara "sampeyan" digunakan untuk memanggil orang yang lebih muda, namun masih dihormati oleh orang lebih tua yang mengenalnya.

Adakalanya orang yang lebih tua atau lebih muda saling menggunakan ngoko kalau hubungan mereka sudah sangat akrab, seperti suami-istri, kakak-adik, atau orang tua-anak. Percakapan seperti itu biasanya terjadi di dalam rumah tangga, atau antarkerabat yang hubungannya sudah amat akrab.

Berdasarkan observasi dan survei sosial Emper Baca, ada lima alasan makin banyak anak Jawa yang tidak berbahasa Jawa sebagai bahasa ibu


1. Sekolah menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Ada belasan ibu mengaku mereka bicara bahasa Jawa (ngoko dan kromo hinggil) kepada anak pertama mereka sejak bayi, tapi anak-anak mereka kemudian kesulitan memahami bahasa Indonesia ketika masuk TK karena hanya mengenal bahasa Jawa.


Maka pada anak kedua dan seterusnya, mereka memutuskan bicara bahasa Indonesia supaya ketika sekolah, anak sudah mengerti apa yang diajarkan gurunya.


Alhasil, sampai tulisan ini ditulis pada 26 Februari 2022, anak mereka yang berusia SD-SMP hanya bisa bahasa Indonesia dengan sedikit Jawa ngoko. Hal itu membuat anak-anak tidak menguasai kromo Inggil dan hanya bercakap alakadar dalam bahasa Jawa ngoko.


Meski begitu kita tidak boleh menyalahkan bahasa Indonesia. Anak bisa diajarkan bilingual (bicara dua bahasa) kalau orang tuanya mau mengajarkan.


Yuk baca juga: Asal Mula Anak Jaksel Ngomong Bilingual


2. Acara televisi menggunakan bahasa Indonesia. Anak-anak mereka telah terbiasa dengan bahasa Indonesia dibanding bahasa Jawa. Orang tua tidak ingin anak mereka bingung jika sehari-hari bercakap Jawa, tapi yang mereka tonton bahasa Indonesia.


Anak-anak mengerti bahasa Jawa jika orang tuanya bercakap-cakap dengan kakek-nenek atau tetangga di rumah, tapi jika anak-anak bercakap boso Jowo, tidak sefasih bahasa Indonesia. Mereka bahkan gagap.


3. Bapak-ibunya tidak menguasai kromo inggil. Kalau anak hanya tahu bahasa ngoko, nanggung, kata mereka. Daripada anak salah bicara kepada orang yang lebih tua, lebih aman anak-anak bicara bahasa Indonesia.


Yup, orang tua Jawa generasi milenial (usia 26-41 tahun) banyak yang tidak menguasai kromo inggil karena telah terbiasa dan sering menggunakan ngoko dan bahasa Indonesia. Belum lagi kesukaan para ibu menonton drama Korea membuat anak-anak perempuan menyukai bahasa Korea alih-alih bahasa Jawa.


Jadi, orang tua memlih untuk tidak mengajari bahasa yang tidak mereka kuasai.


4. Buku teks dan modul pelajaran bahasa Jawa menggunakan bahasa ngoko. Walau menganut tiga jenjang bahasa, buku teks dan modul yang beredar di Magelang tidak menggunakan kromo inggil. Semua dicetak dalam bahasa ngoko. 


Tapi, jangan dikira pakai ngoko lalu pelajaran bahasa Jawa jadi enteng. Tidak. Bahasa Jawa termasuk pelajaran paling susah setelah prakarya dalam bidang SBdP (Seni Budaya dan Prakarya). Indikatornya adalah banyak peserta didik dapat nilai B dan C dibanding nilai A.


Pada sekolah negeri berstatus unggulan, sekolah model, dan sekolah penggerak nilai A bisa diraih bila siswa mendapat nilai minimal 93 pada satu mata pelajaran. Sedangkan di swasta konversi A sudah bisa diraih pada nilai minimal 86.


Karena pelajaran bahasa Jawa dianggap susah, maka bukannya tumbuh keinginan berbahasa Jawa, mereka malah tambah tidak mau berbahasa Jawa dengan baik dan benar.


5. Bahasa Indonesia dianggap mampu membawa anak ke bahasa internasional daripada bahasa Jawa. Admin pernah menemui orang tua yang beranggapan bahwa dengan menggunakan bahasa Indonesia akan memudahkan anak belajar bahasa Inggris dan bahasa lain.


Dengan begitu jika anak akan keluar negeri untuk kuliah atau bekerja, lidahnya sudah luwes cas cis cus, tidak lagi kaku beraksen Jawa.

Heleh, heleh! Otak manusia tidak sesempit yang kita kira. Interpol saja menguasai lima bahasa asing selain bahasa Indonesia dan bahasa daerah, mosok kita nyerah sama bahasa Jowo.

***

Anak-anak Jawa masih bisa bicara ngoko alakadar kepada teman-teman sepergaulannya. Alakadar disini berarti hanya sebagai percakapan sehari-hari, bukan seperti geguritan (puisi Jawa) atau babad (kisah berbahasa Jawa, Bali, atau Sunda yang berkisah latar sejarah).


Apa yang harus kita lakukan supaya bahasa Jawa tidak punah?


Bahasa Jawa tidak bakalan punah karena penuturnya masih banyak, bahkan di luar negeri. Jika mau khawatir, khawatirkanlah kromo inggil. Bila penutur kromo inggil makin sedikit, kelak bahasa Jawa halus itu punah juga. Yang tinggal adalah Jawa ngoko dan ngapak.


Bapak-bapak dan ibu-ibu harus mulai berbahasa kromo inggil di depan anak-anak dan menggunakannya kepada anak-anak mereka kalau tidak mau tingkatan tertinggi bahasa Jawa itu punah.


Sederhana, bukan?

Penulis Tidak Harus Membuat Buku, Ya?

Penulis Tidak Harus Membuat Buku, Ya?

Bila ada orang pandai menulis, tapi dia tidak menghasilkan satu karyapun dalam bentuk buku, apa dia bisa disebut penulis? 

Unsplash.com
Ya! Karena orang yang menyukai tulis-menulis, bekerja di bidang kepenulisan, dan menghasilkan karya tulis tetaplah seorang penulis.

Seorang penulis (dan pengarang) tidak perlu menghasilkan berlusin-lusin buku karena penulis bukan cuma menulis cerpen, puisi, dan novel. 

Orang yang menulis plot game, pidato, naskah iklan, penerjemah, penyunting, wartawan, dan membuat lirik lagu juga disebut penulis, tapi tidak harus membuat buku. 

Saya banyak menemukan penulis puisi, cerpen, dan novel menerbitkan sendiri karyanya melalui penerbit indie. Mereka membuat buku karena ingin karyanya abadi. Ada juga yang karena ingin dikenal sebagai penulis. Lainnya beranggapan kalau belum menghasilkan buku namanya bukan penulis.

Buku juga banyak dianggap sebagai bentuk pengakuan bagi seseorang agar bisa dianggap sebagai penulis. 

Pada banyak kelas menulis, hasil akhir yang harus dicapai oleh pesertanya adalah membuat buku. Entah bukunya enak dibaca atau tidak, yang penting menghasilkan buku. Kalau tidak, namanya bukan penulis.

Itu jargon sesat! Sekarang zaman sudah canggih, banyak pekerjaan yang 10 tahun lalu belum ada, sekarang dibutuhkan dan membutuhkan keahlian menulis. Pun tidak berarti orang yang pekerjaannya menulis harus membuat buku.

Analoginya mirip seperti penyanyi. Para penyanyi kafe, organ tunggal, wedding, atau gereja disebut penyanyi, tapi mereka tidak membuat single seperti penyanyi selebritis.

Mereka mahir bernyanyi dengan suara merdu, tapi tidak harus terkenal, membuat album dan single, manggung dimana-mana, dan jadi bintang tamu acara talkshow.

Penulis juga seperti itu. Orang yang mahir menulis tidak harus membuat buku. Dia bisa saja telah menjadi ghostwriter yang menulis buku dan diterbitkan atas nama orang lain.

Kata Ganti "Penulis" dan "Saya"

Kata Ganti "Penulis" dan "Saya"

Kata ganti atau pronomina adalah jenis kata yang menggantikan nomina atau frasa nomina. Contohnya adalah saya, kapan, -nya, ini. 

Fungsi dari pronomina adalah untuk menghindari pengulangan kata dalam satu kalimat. Pengulangan kata yang berlebihan dapat menyebabkan kalimat menjadi mubazir dan tidak efektif.

Sepengetahuan saya, kata ganti "penulis" digunakan pada zaman sebelum reformasi 1998. Penulis yang masih menggunakan kata ganti "penulis" untuk menyebut dirinya adalah birokrat, teknokrat, golongan priyayi, dan para pengarang era balai pustaka sampai angkatan 1980-an, yaitu Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Remy Silado, Pipiet Senja, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, atau Kurniawan Junaidi.

Zaman kuliah sarjana dulu, saya banyak mempelajari bahasa dan sastra karena kuliah di jurusan Ilmu Jurnalistik. Jadi kami tahu para kolumnis gaya hidup dan tren menggunakan pronomina "saya" daripada "penulis" agar lebih ngepop dan dekat dengan pembaca. 

Karena pronomina "penulis" sudah sangat jadul, jadi saya surprise saat menemukan banyak penulis konten menggunakan pronomina "penulis" daripada "saya", dan mereka masih muda-muda (dibawah 40 tahun).

Entah mereka kebanyakan baca kolom suratkabar era Menteri Penerangan Harmoko, atau kurang baca buku yang terbit era 2010-an, atau memang senang menggunakan pronomina "penulis" karena kesannya mungkin seperti profesional atau ala penulis jurnal ilmiah.

Tidak apa-apa, bebas aja. Menurut saya penulis konten muda haruslah punya cirinya sendiri yang tidak mengekor kemana-mana. Punya penulis atau pengarang idola boleh, tapi kalau mengikuti tumplek plek gaya idolanya rasanya kurang sedap juga, kan.

kata ganti penulis dan saya

Di sisi lain, penggunaan pronomina "penulis" membuat artikel jadi kurang enak dibaca. Misalnya pada kalimat, "Penulis ingin makan, tapi semua makanan di warung itu habis."

Kata "penulis" jika ditulis sebagai pronomina menjadi rancu dengan "penulis" sebagai bentuk kata. KBBI mengartikan penulis sebagai orang yang menulis.

Memang benar kata "penulis" pada kalimat di atas artinya menjadi "orang yang menulis konten yang ingin makan di warung, tapi makanannya habis". Namun, kalau dia menggunakan pronomina "saya" kalimatnya akan lebih enak dibaca.

"Saya ingin makan, tapi semua makanan di warung itu habis."

Jadi, kalau Anda ingin menulis konten, saya sarankan Anda gunakan kata ganti "saya" agar pembaca Anda yang muda-muda lebih mudah memahami apa yang Anda tulis.

Laksmi Pamuntjak, Fall Baby dan Pecut Untuk Pengarang

Laksmi Pamuntjak, Fall Baby dan Pecut Untuk Pengarang

Sebelum mengarang novel, Laksmi Pamuntjak telah lebih dulu dikenal sebagai kolumnis kuliner, film, sastra, musik klasik, dan politik di Majalah Tempo dan The Jakarta Post sejak 1994.

Novelnya yang berjudul Aruna dan Lidahnya diadaptasi jadi film dibintangi Dian Sastro dan Nicholas Saputra. Tetapi, menurut saya, konflik dan alur cerita versi filmnya justru lebih bagus daripada novelnya. Hemm~, mungkin karena faktor Dian dan Nicholas serta Oka Antara dan Hannah Al Rasyid.

Novel Aruna dan Lidahnya sukses membuat pembaca ngiler dan kelaparan selama membaca novel tersebut. Padahal tokoh utamanya, Aruna, bukanlah chef, koki, atau pakar kuliner melainkan epidemiolog (ahli wabah) yang sedang menyelidiki penyebaran flu unggas di Indonesia.

Sebelum Aruna dan Lidahnya, Laksmi telah menulis buku Jakarta Good Food Guide dan novel Amba.

Seperti pengarang lainnya yang punya spesialisasi, Laksmi juga nampak condong ke kuliner sebagaimana yang sering dia tulis dalam kolom di The Jakarta Post dan yang tertuang dalam situs pribadinya.

Tetapi, dia pun punya passion pada seni rupa maka terbitlah novel yang lebih rumit dari Aruna dan Lidahnya. Novel tentang seni rupa, politik, dan sosial dia beri judul Fall Baby.

Tanpa dia duga Fall Baby memenangkan penghargaan di Best Literary Work di ajang Singapore Book Awards 2020.

Jangankan Laksmi, penerbitnya pun terkejut karena mereka penerbit baru yang mulai menerbitkan buku tahun 2019.

Semua pengarang (cerpenis, novelis, penyair) punya kesempatan sama seperti Laksmi. Laksmi “baru” mengarang dua novel sebelum Fall Baby dan dia sempat merasa tidak percaya diri karena belum berpengalaman membuat novel.

Pun jika mahir berbahasa asing tulis saja karya dalam bahasa itu, meskipun menulis dalam bahasa yang bukan bahasa ibu tantangannya bisa dua kali lipat lebih besar.

Totalitas menyalurkan passion kuliner dan seni rupa yang Laksmi tuangkan ke dalam novel patut jadi inspirasi para pengarang pemula.

Tetapi kenapa dapat penghargaannya di Singapura? Karena Laksmi menulis Fall Baby memang dalam bahasa Inggris yang diterbitkan oleh penerbit Random Penguin House SEA. Pada Agustus 2020 Fall Baby telah terbit dalam terjemahan bahasa Indonesia dengan judul Kekasih Musim Gugur dan bahasa Jerman berjudul Herbstkind. 

Unik ya, pengarang Indonesia, menulis novel aslinya dalam bahasa Inggris lalu novel tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Untuk soal seni rupa ini Laksmi melakukan riset seni rupa kontemporer kepada Djoko Pekik, I Gusti Ayu Kadek Murniasih, S. Sudjojono, bahkan sampai ke Jerman.

Ya, pengarang memang harus melakukan riset untuk apapun yang dia tulis. Imajinasi saja tidak cukup. Andrea Hirata pun memerlukan waktu sampai dua tahun hanya untuk riset novel Guru Aini.

Riset pustaka kecil-kecilan bisa ditemukan lewat Google. Untuk keperluan riset mendalam dan detail  butuh kontak dengan ahlinya atau minimal dengan orang yang paham akan hal tertentu. Ini jugalah mungkin yang membedakan penulis dengan pengarang.

Seorang pengarang harus mencari sendiri data yang dia perlukan, sedangkan penulis bisa menggunakan data yang sudah tersedia di hadapannya.

Novel Fall Baby merupakan lanjutan kisah dari novel Amba. Tokoh utama Fall kisah bernama Srikandi atau biasa dipanggil Siri. Siri adalah anak Amba dan Bhisma yang lahir diluar nikah. 

Siri mengalami berbagai pergolakan sejak dari Jerman sampai Indonesia. Mulai dari pertemuan dengan ayah kandungnya sampai pamerannya di Jakarta yang ditolak karena dinilai melanggar norma susila.

Inspirasi Laksmi Pamuntjak bukan hanya ditujukan untuk penulis fiksi saja namun juga pecut untuk guru, dosen, wirausahawan, dan profesi lain untuk terus menulis apapun yang jadi hasrat dan kesukaannya.

Belajar Bahasa Inggris Lewat Gambar

Belajar Bahasa Inggris Lewat Gambar

Ini kumpulan tabel, gambar, dan grafis untuk belajar Bahasa Inggris secara singkat. Sebenarnya ini untuk si boy, tapi karena dia sekarang lebih tertarik sama matematika, fisika terapan, kimia dasar dan lain sebagainya itu, jadi saya taruh disini saja. Padahal hampir semua teman sekelas si boy itu les English tapi dia belum mau. Tapi kalo emak dan bapaknya lagi ngobrol "rahasia" pake English dia ngerti aja. Kadang nyeletuk nimpalin. Heuh.













PUEBI Pengganti EYDβ€”Tukang Nulis Harus Tahu

PUEBI Pengganti EYD—Tukang Nulis Harus Tahu

Zaman sekolah dulu kita sering dapat tugas mengarang cerita menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)? Well, bye-bye EYD, sekarang kamu sudah tidak kami pakai lagi. Kami sekarang pakai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).

Ejaan yang Disempurnakan (EYD) dalam bahasa Indonesia sudah digunakan sejak 1972 dan resmi berakhir pada 26 November 2015.

Dibuatnya PUEBI menggantikan EYD, menurut Peraturan Menteri Dikbud Nomor 50 tahun 2015 karena :
  1. Adanya berbagai kemajuan dalam berbagai bidang ilmu, termasuk Bahasa Indonesia juga berubah lisan dan tulisannya.
  2. Memantapkan fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
Perbedaan EYD dan PUEBI :
  1. Penambahan huruf diftong. Diftong adalah vokal yang berubah kualiasnya. Dalam sistem tulisan diftong biasa dilambangkan oleh dua huruf vokal. Kedua huruf vokal itu tidak dapat dipisahkan. Bunyi /aw/ pada kata "harimau" adalah diftong, sehingga <au> pada suku kata "-mau" tidak dapat dipisahkan menjadi "ma·u" seperti pada kata "mau". Huruf diftong yang ditambahkan ke PUEBI adalah ‘ei’ seperti dalam kata survei.
  2. Penggunaan huruf tebal. Huruf tebal pada PUEBI dipakai untuk menegaskan bagian tulisan yang ditulis miring serta untuk menegaskan bagian-bagian karangan, seperti judul buku, bab, atau subbab.
  3. Penggunaan huruf kapital. Sekarang unsur julukan ditulis dengan awal huruf kapital.
PUEBI sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang sekarang sudah dicetak dalam edisi kelima.

Selain versi cetak, kita bisa mengaksesnya secara daring melalui kbbi.kemdikbud.go.id.
Anda yang hobi menulis dan mendapat uang dari menulis, yuk ah, kita ikut PUEBI ini supaya kemampuan Bahasa Indonesia kita makin mantap.