Cerpen: Nasi Padang

Cerita pendek berjudul Nasi Padang karangan Widya Sandra

     "Assalamualaikum!" Bapak pulang dan langsung menaruh kantong kresek yang nampak berat ke lantai dekat televisi.
     "Walaikumsalam," jawab Ibuku dari dapur. Dapur kami kecil, berdempetan dengan kamar mandi. 
Kami berbagi kamar mandi dengan tetangga. Kalau sedang di kamar mandi, kami harus mengunci pintu kamar mandi satunya yang kepunyaan tetangga. 
     Bang Bagas pernah lupa mengunci pintu itu saat sedang mandi. Tiba-tiba Pak Karyo tetangga sebelah masuk dan langsung disiram air oleh abangku yang kaget kedatangan tamu tidak diundang. Ibuku lalu duduk dan membuka kresek hitam itu. Wajahnya langsung berseri.
     "Nasi rames, Pak?" tanya ibu pada bapak. Bapak menyahut dan bilang kalau itu nasi padang.
     Aku langsung bangun dari kursi belajarku begitu mendengar 'nasi padang'. Kuhampiri ibu dengan maksud mengintip isi bungkusan itu.
 

     "Ada tiga bungkus, nih buat kamu," ibu menyorongkan bungkusan yang bernoda minyak kepadaku.
     "Satu bungkus?" aku tidak yakin ibu memberi sebungkus untukku sendiri.
     "Iya, Bapak belikan masing-masing sebungkus untuk kamu, Bagas, dan Ibu," celetuk Bapak mendahului ibu.
     Ibu segera mengambil piring, tapi dicegah oleh Bapak. "Aku sudah makan, yang sebungkus itu buatmu sendiri."
     "Ini banyak, lho, Pak, malah bisa buat makan bertiga," ujar Ibu.
     Bapak menggeleng sambil tersenyum, "Buatmu semua, aku sudah kenyang."
     Ibu tetap menyisihkan separuh nasi padang itu ke piring beserta ayam bakarnya, kemudian Ibu membuat es teh untukku.
     Bapak pasti lagi dapat banyak order. Beli nasi padangnya saja sampai tiga bungkus. Lauknya pun ayam. 
     Aku menjejalkan gundukan besar nasi dengan sambal hijau dan potongan kecil ayam ke mulut. Masya Allah, lezat! Tanpa ayam pun nasi dan kuah gulainya sudah sangat lezat dimakan. Aku mengunyah pelan-pelan supaya yakin ini bukan mimpi.
    Bang Bagas pulang dengan wajah lesu. Dia mengucapkan salam dan mengganti baju seragamnya.
    "Pak, uang praktikum harus dibayar paling lambat Jumat ini," lapor Bagas pada bapaknya. 
    Bang Bagas pernah bekerja sebagai tukang cuci mobil di bengkel, tapi oleh Bapak disuruh berhenti. Kata Bapak supaya Bang Bagas konsentrasi ke sekolah dan dapat nilai bagus.
    Bang Bagas memang pintar. Nilai-nilainya selalu tinggi dan dia pernah dapat juara pertama lomba membuat video dokumentar pendek antar-SMK. 
     "Makan dulu, Bang. Ini lezat sekali," kataku pada Bang Bagas.
     Bang Bagas tidak tertarik dengan makanan yang hampir tidak pernah dimakannya ini. Wajahnya masih lesu menunggu jawaban Bapak yang dia yakin akan dapat jawaban, "Nanti ya, uang Bapak belum cukup."
    Bapak duduk menggelosor di lantai sambil menikmati es teh yang disiapkan Ibu.
    "Berapa uang praktikumnya?" tanya Bapak.
    "Lima ratus ribu, Pak," jawab Bang Bagas.
     Bapak berdiri dan merogoh saku celananya untuk mengambil dompetnya yang gembung. Dikeluarkannya uang lima puluh ribuan dan dihitung di depan abangku. Bang Bagas terbelalak. Dia terbengong-bengong menerima tumpukan uang dari Bapak.
     "Kenapa? Kurang?" tanya Bapak melihat Bang Bagas yang membeku.
     "Eh, enggak, Pak. Cukup. Betul lima ratus ribu-- uang praktikumnya," Bang Bagas menjawab terpatah-patah.
     Betul, kan, Bapak lagi dapat banyak order. Biasanya Bapak cuma memberi Bang Bagas uang lima puluh ribu untuk dicicil ke sekolah. Sekarang Bapak langsung beri segepok uang.
     Setelah menaruh uang itu di lipatan bukunya, Bang Bagas duduk di sebelahku dan membuka bungkus nasi padangnya. 
     Persis sepertiku, Bang Bagas juga menjejalkan gundukan-gundukan besar nasi padang ke mulutnya.
     "Makan pelan-pelan, Bagas," tegur ibu sambil menaruh es teh ke depan Bang Bagas.
     Bang Bagas hanya nyengir dan terus mengunyah nasinya dengan cepat.
     Aku kekenyangan. Perutku rasanya bergejolak karena belum pernah makan sekenyang ini. Semoga nasi padang tadi membuatku kenyang sampai besok siang.
    Aku melanjutkan belajar tentang jenis bencana alam dan cara penanggulangannya. Semangatku bangkit. Perut kenyang ternyata bisa membawa kebahagiaan untukku. Teman-teman sekelasku pasti sering makan kenyang waktu sarapan. Soalnya mereka sering bercanda dan mengobrol seperti tidak pernah kehabisan tenaga. 
    Saat aku sedang menyiapkan buku pelajaran untuk sekolah besok, samar-samar kudengar Ibu dan Bapak saling berbisik.
     "Uang itu harus dikembalikan, Pak, itu namanya mencuri."
     "Dikembalikan kemana. Kalau lapor polisi nanti aku dikira pencurinya."
     "Astagfirullah al adzim."
     "Itu rejeki kita, Bu. Kalau bukan rejeki mana mungkin aku yang menemukannya. Dompet itu bisa ditemukan oleh orang lain, tapi aku yang menemukannya padahal dompet itu di trotoar."
      "Astagfirullah! Harus dikembalikan, Pak!
     Apa, sih, yang sedang dibicarakan Bapak dan Ibu. Γ„pa yang harus dikembalikan. Kalau trotoar aku mengerti karena Bapak selalu mangkal di trotoar menunggu order dari aplikasi ojeknya. Kenapa Ibu istigfar segala.
     Dan malam itu, Bapak pergi lagi, katanya mau kerja lagi. Kali ini tidak pamit ke Ibu. Wajah Ibu terus masam sampai aku tertidur karena kekenyangan.

0 komentar

Posting Komentar