Cerpen: Romansa Kambing Lima Puluh Juta

“Mau kemana lagi kita, Boy?’ tanya Randi sambil merebahkan punggungnya ke jok mobil. Sejauh ini Boy sudah membeli dua belas kambing dari enam tempat penjualan yang berbeda untuk dibagi-bagikan ke masjid dan panti asuhan. 

Randi sudah bosan dan lelah jadi dia berharap Boy menyudahi petualangan kambingnya, atau setidaknya mereka istirahat dulu menikmati kopi sore sebelum Boy mengajaknya entah kemana lagi.

“Ke rumah Sheren,” jawab Boy singkat.

Hampir sampai ke rumah Sheren ketika Boy berbelok dan memarkir mobilnya ke halaman ruko kosong yang dipenuhi kambing-kambing gemuk.
Randi mengekor Boy turun dari mobil dan menghela napas mengetahui Boy ingin beli kambing lagi. Kali ini Randi membiarkan Boy yang memilih-milih sendiri sedangkan dia bersandar pada mobil sambil melipat dua tangan ke dadanya.

Sesaat kemudian Boy sudah menggiring kambing tergemuk dan terbesar dengan tanduk panjang yang kokoh.

‘'Mau kemana, Boy!” teriak Randi melihat Boy berjalan ke luar area ruko meninggalkan mobilnya. Disusulnya Boy secepat mungkin.

“Tadi sudah kubilang kita ke rumah Sheren,” jawab Boy ketika Randi sudah berjalan disampingnya.

“Lalu kenapa kau bawa-bawa kambing?”

“Untuk Sheren,”

Randi terlonjak, “Buat apa?!”

“Buat Sheren, tadi sudah kubilang apa kau tidak dengar,” Boy menengok ke arah kanan dan kiri bermaksud menyeberang jalan.

“Maksudku buat apa kau beri kambing untuk Sheren?”

“Untuk hadiah kurban.”

Randi ingin bertanya lagi tapi diurungkannya karena tidak mau merusak suasana hati Boy yang mungkin berubah jika dicecar pertanyaan darinya.

Lima menit kemudian mereka sampai di rumah Sheren. Mereka dipersilahkan masuk oleh supir keluarga Sheren yang terheran-heran, tapi tak berani tanya, saat melihat kambing Boy.
S
keluar dari dalam rumah dan terkejut melihat Boy muncul mendadak di halaman rumahnya.

“Selamat Idul Adha, Sayang. Ini untukmu,” tanpa basa-basi Boy menyorongkan kambing ke arah Sheren, “maaf tidak diberi pita karena ini kambing jantan. Kalau diberi pita jadi banci.”

“Maksudmu apa ya, Boy?” tanya Sheren tidak yakin pada sikap aneh Boy.
 
Boy memamerkan gigi-giginya yang putih dan berkilau, “Ini kambing untukmu, Sayang. Silahkan diterima.”

Sheren mundur menjauh dan menolak mengambil kambing dari tangan Boy.

“Apa-apaan sih kamu, Boy? Buat apa kamu memberiku kambing?”

Sheren melongok ke kanan-kiri dan memanjangkan lehernya ke arah gerbang berharap menemukan kamera yang menyadarkannya bahwa ini prank.

“Kalau kamu berharap ini prank untuk konten, kamu keliru. Tidak ada kamera atau apapun karena yang aku berikan ini tulus bukan untuk mengerjai dan menjahilimu,” Boy maju lagi mendekati Sheren.

Sheren mundur dan sekali lagi melihat ke sekelilingnya berharap menemukan tanda bahwa dia memang sedang dijahili. Tapi yang dilihatnya hanya supir yang juga penasaran ada apa dibalik pemberian kambing itu.

Harapan Sheren musnah karena tidak ada tanda-tanda Boy melakukan prank terhadapnya.

“Tolong terima, Sayang. Tidak ada yang lebih indah dari berkurban di hari raya kurban ini,” bujuk Boy sambil maju lebih dekat kepada Sheren.

“Boy, stop!” Sheren mulai hilang kesabaran. 

“Kalau kamu maju lagi dan nekat memberi kambing padaku, kau tak usah jadi pacarku lagi!”

“Sheren, Sayang, kalau kau terima kambing ini lalu kau kurbankan ke masjid, kau akan dapat pahala. Aku memberimu hadiah dunia akhirat,  Sayang.”

Sheren murka, “Pergi, Boy! Bawa kambingmu dan jangan hubungi aku lagi! Kau sudah sinting!” Pergi, Boy!” Sheren mengangkat telunjuknya tinggi ke arah gerbang untuk mengusir Boy.

Boy pergi tanpa mengucap sepatah katapun. Dia menggiring kambing jantannya keluar rumah Sheren, bersama Randi yang membisu berjalan disampingnya.

Randi terus mengikuti Boy berjalan ke arah, yang Randi yakin, ke masjid berjarak lima ratus meter dari rumah Sheren.

“Kita berhasil, Ran,” kata Boy.

“Berhasil putus atau berkurban kambing?” 

“Dua-duanya,” Boy sumringah, “thanks bantuannya, sob!”

Sejak awal Randi sudah merasa dianggap sebagai asisten pribadi daripada teman kuliah. Boy memberi “uang terima kasih” tiap kali Randi membantunya membuat tugas kuliah, mengingatkan jadwal kuliah, atau membeli buku-buku yang diperlukan. 

Tiga bulan setelahnya Boy memberinya upah bulanan ditambah uang pulsa yang secara tidak langsung menyatakan, “Mulai saat ini kau bekerja padaku.”

Maka Randi sangat paham jika Boy memanggilnya dengan sebutan “sob”, berarti Boy sedang sangat bersuka cita.

Membeli banyak kambing senilai lima puluh juta untuk kurban dan sedekah memang membangkitkan suka cita. Tapi memutuskan pacar secara “jantan” menggunakan kambing jantan? 
Menurut Randi itu gila, dalam tanda kutip.

0 komentar

Posting Komentar